Wakil Menteri, Menteri Muda, dan Menteri Negara dalam Kabinet di Indonesia
Jabatan wakil menteri sudah ada sejak Bung Karno. Melihat aturan pengangkatannya, dapat disimpulkan, kementerian yang mendapat wakil menteri tersebut sedang memiliki beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus.
Sejumlah 12 wakil menteri diangkat oleh Presiden Joko Widodo untuk memperkuat Kabinet Indonesia Maju, Jumat, 25 Oktober 2019. Berbagai pendapat kemudian bermunculan, menghubungkannya dengan politik bagi-bagi kekuasaan. Apa dasar pengangkatan seorang wakil menteri dalam sebuah kementerian?
Dalam sejarah kabinet di Indonesia, keberadaan wakil menteri bukan hal yang baru. Sejak era Perjuangan Kemerdekaan, di Kabinet Presidensial, terdapat dua wakil menteri yang dibentuk oleh Presiden Soekarno, yakni Wakil Menteri Dalam Negeri Harmani dan Wakil Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin.
Selanjutnya, jabatan wakil menteri juga muncul di Kabinet Sjahrir I. Terdapat dua wakil menteri dalam kabinet ini, yakni Wakil Menteri Dalam Negeri Harmani dan Wakil Menteri Keamanan Rakyat Abdul Moerat.
Istilah wakil menteri tidak muncul pada Kabinet Sjahrir II, tetapi muncul istilah menteri muda yang ada di hampir semua kementerian. Terdapat 10 kementerian di kabinet ini yang memiliki menteri muda.
Istilah wakil menteri kembali muncul di Kabinet Sjahrir III dengan 12 wakil menteri di hampir setiap kementerian.
Selanjutnya, istilah wakil menteri tak lagi digunakan sepanjang Orde Lama hingga Orde Baru. Walaupun kadang bermakna lain, muncul istilah lain yang hampir serupa, yakni menteri muda. Muncul pula istilah menteri negara dengan berbagai variasinya. Apakah sama dengan istilah wakil menteri?
Menteri Muda
Istilah menteri muda mulai digunakan di Kabinet Sjahrir II. Masih pada era Perjuangan Kemerdekaan, istilah ini dapat ditemui di beberapa kabinet, yakni Kabinet Amir Sjarifuddin I, Kabinet Amir Sjarifuddin II, dan Kabinet Burhanuddin Harahap.
Pada era selanjutnya, Demokrasi Parlementer, istilah menteri muda muncul di Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dilanjutkan di Kabinet Kerja I pada era Demokrasi Terpimpin. Setelah lama tak digunakan, istilah menteri muda kembali digunakan di Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan V pada era Orde Baru. Istilah menteri muda terakhir digunakan di Kabinet Persatuan Nasional pada era Reformasi.
Dalam kabinet-kabinet yang disebutkan di atas, penggunaan istilah menteri muda kebanyakan mengikuti sebutan menteri tertentu yang juga dibentuk dalam kabinet. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan istilah menteri muda memiliki makna yang hampir sama dengan penggunaan istilah wakil menteri.
Menteri negara
Selain istilah menteri muda, muncul juga istilah menteri negara dalam berbagai kabinet. Secara umum, istilah menteri negara merupakan sebutan resmi bagi semua menteri di bawah presiden. Hal itu diatur dalam UUD 1945 Pasal 17 yang menyatakan, ”Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.” Penjelasan tentang menteri negara tersebut berarti bahwa setiap menteri dapat disebut sebagai menteri negara.
Akan tetapi, dalam beberapa kabinet sejak era Perjuangan Kemerdekaan hingga era Reformasi, istilah menteri negara tak digunakan untuk menyebut semua menteri dalam sebuah kabinet. Artinya, penggunaan istilah menteri negara hanya diperuntukkan bagi beberapa menteri dengan tugas-tugas khusus.
Salah satu contoh paling awal penggunaan istilah menteri negara dapat dilihat di Kabinet Hatta I pada era Perjuangan Kemerdekaan. Saat itu, terdapat satu menteri yang menyandang istilah menteri negara, yaitu Menteri Negara Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan 15 menteri yang lain tidak menyandang istilah menteri negara. Hal tersebut menimbulkan berbagai kemungkinan penafsiran mengingat UUD 1945 Pasal 17 telah menegaskan bahwa semua menteri merupakan menteri negara.
Pada kabinet-kabinet selanjutnya, penggunaan istilah menteri negara juga seakan menunjukkan sebuah tugas khusus di luar menteri yang selama ini sudah ada, misalkan dalam Kabinet Hatta II, terdapat tiga menteri yang memiliki sebutan menteri negara tanpa perbedaan kekhususan bidang, yakni Menteri Negara Sukiman Wirjosandjojo, Menteri Negara Djuanda, serta Menteri Negara J Leimena. Sedangkan 14 menteri yang lain di kabinet tersebut tidak menyandang istilah menteri negara dalam penyebutannya.
Penggunaan istilah menteri negara dalam sebuah kabinet terus terjadi hingga era Reformasi, meliputi Kabinet Moh Natsir, Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Kabinet Djuanda/Karya, Dwikora I, Kabinet Dwikora II, Kabinet Ampera II, Kabinet Pembangunan I hingga Kabinet Pembangunan VII, Kabinet Reformasi Pembangunan, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong, Kabinet Indonesia Bersatu I, dan Kabinet Indonesia Bersatu II.
Secara umum, penggunaan istilah menteri negara dalam beberapa kabinet di atas menunjukkan bahwa menteri tersebut merupakan menteri yang nomenklatur kementeriannya tidak secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 ataupun menteri yang ruang lingkup nomenklatur kementeriannya tidak disebutkan dalam UUD 1945.
Hal tersebut dapat dipahami salah satunya dari aturan yang muncul belakangan, Perpres Nomor 9 Tahun 2005. Aturan tersebut menjelaskan (Bab IV) bahwa kementerian negara merupakan unsur pelaksana pemerintah yang dipimpin oleh menteri negara yang berada di bawah Presiden.
Di era Reformasi, terdapat landasan UU Nomor 39 Tahun 2008 yang menunjukkan bahwa sebutan kementerian negara dan menteri negara merupakan sebutan resmi bagi semua kementerian dan menteri. Akan tetapi, sebutan ”negara” bukan merupakan keharusan sehingga cukup dengan sebutan kementerian atau menteri bidang tertentu saja.
Ketika terjadi perubahan nomenklatur sebutan departemen menjadi kementerian melalui Perpres Nomor 47 Tahun 2009, istilah menteri negara semakin tak digunakan. Yang tetap dibedakan dengan jelas adalah kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan ataupun ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945 dan yang tidak.
Kelompok kementerian yang terakhir ini merupakan kementerian yang mengurusi urusan pemerintah dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.
Era reformasi
Setelah melewati 34 kabinet, baru pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali muncul jabatan wakil menteri. Bedanya, para wakil menteri pada masa ini tidak masuk dalam jajaran kabinet.
Mulai pada era Presiden Yudhoyono, jabatan wakil menteri mendapatkan dasar hukum dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Dalam Pasal 10 disebutkan, ”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.” Dengan demikian, alasan pengangkatan wakil menteri terutama adalah beban kerja.
Ukuran beban kerja yang dimaksud tidak dijelaskan secara teperinci. Oleh karena itu, pengangkatan seorang wakil menteri dalam suatu kementerian bukanlah suatu keharusan, tergantung ada tidaknya beban kerja lebih yang perlu diatasi. Mengingat bahwa wakil menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, presiden-lah yang menentukan perlu tidaknya suatu kementerian memiliki wakil menteri.
Oleh karena itu, jumlah wakil menteri di era Presiden Yudhoyono dan Jokowi berubah-ubah dalam setiap kabinet. Di era Kabinet Indonesia Bersatu II, terdapat 17 kementerian yang memiliki jabatan wakil menteri. Jumlah tersebut kemudian turun menjadi hanya tiga kementerian pada era Kabinet Kerja dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Hanya dua kementerian dari 17 kementerian di Kabinet Indonesia Bersatu II yang tetap memiliki wakil menteri dalam Kabinet Kerja, yakni Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan. Satu wakil menteri tambahan yang ada di Kabinet Kerja adalah wakil menteri ESDM.
Beban kerja
Terkini, Presiden Joko Widodo mengangkat 12 wakil menteri yang akan membantu 11 kementerian dalam Kabinet Indonesia Maju. Terdapat satu kementerian yang mendapatkan dua wakil menteri, yakni Kementerian ESDM.
Dengan melihat aturan terkait pengangkatan wakil menteri, dapat disimpulkan bahwa ke-11 kementerian yang mendapat wakil menteri tersebut sedang memiliki beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus. Sebaliknya, ketika beban kerja tersebut kemudian telah menurun, bisa jadi tak lagi diperlukan jabatan wakil menteri dalam kementerian tersebut.
Selain beban kerja suatu kementerian sehingga memerlukan bantuan wakil menteri, salah satu kemungkinan alasan penambahan 12 wakil menteri tersebut berkaitan dengan rencana Presiden Joko Widodo menyederhanakan jenjang eselon pegawai negeri sipil. Penambahan para wakil menteri tersebut dapat ditangkap sebagai kompensasi atas penyederhanaan kepangkatan.
Alasan di atas perlu disampaikan mengingat penambahan wakil menteri berarti juga bertambahnya postur pegawai dalam suatu kementerian. Padahal, Presiden Joko Widodo berniat menyederhanakan birokrasi dalam pemerintahannya. Oleh karena itu, satu-satunya alasan penambahan pos wakil menteri, di luar memang beban kerja yang dianggap berlebih, adalah kompensasi kecil atas upaya pemangkasan birokrasi besar-besaran.
Yang pasti, pengangkatan para wakil menteri tersebut memberikan tambahan kekuatan untuk mewujudkan visi presiden yang sempat diucapkan dalam pidato pelantikan, Minggu, 20 Oktober 2019: ”Membuat masyarakat menikmati pelayan, menikmati pembangunan.”
Efektivitas penambahan 12 wakil menteri dalam 11 kementerian Kabinet Indonesia Maju baru dapat dilihat setelah mereka semua bekerja. Pembuktiannya dapat dilihat sepanjang lima tahun ke depan. Selamat bekerja, Kabinet Indonesia Maju! (LITBANG KOMPAS)