Bercorak dekora-magis, lukisan Widayat dikenal dengan aura ”greng”-nya. Suatu pengalaman rasa yang mengajak penikmat lukisan Widayat, seperti mengikuti ”Magical Mistery Tour”, meminjam lagu Beatles.
Oleh
Frans Sartono
·6 menit baca
Menikmati lukisan Widayat, kita seperti diajak menjelajah alam dongeng negeri antah berantah. Negeri yang hadir saat mata dan imajinasi kita berinteraksi dengan karya Widayat. Bercorak dekora-magis, lukisan Widayat dikenal dengan aura greng-nya. Suatu pengalaman rasa yang mengajak penikmat lukisan Widayat seperti mengikuti ”Magical Mistery Tour”, meminjam lagu Beatles.
Coba nikmati lukisan Widayat berjudul ”Bangau” (1975), ”Hutan Larangan” (1986), ”Ribuan Burung” (1972), ”Flora dan Fauna” (1974), atau ”Pulau dengan Danau dan Marga Satwa” (1974). Semua lukisan tersebut dibuat dengan cat minyak di atas kanvas berukuran rata-rata sekitar 100 x 200 cm.
Lukisan-lukisan tersebut menjadi bagian dari 100 karya yang ditampilkan di pameran H Widayat Centennial Celebration: 100 Works for 100 Years, di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, 26 Oktober 2019 sampai 23 Maret 2020.
Lewat lukisan ”Bangau” yang berukuran 110 x 200 cm, kita diajak memasuki hutan gelap, remang, temaram, tetapi tidak seram. Di hutan itu bagikan tidak ada perbedaan antara malam, pagi, petang, atau siang. Waktu menggenang abadi antara gelap dan terang. Di sana berdiri pohon teduh kukuh, rindang besar, di mana puluhan bangau bertengger.
Di sana ada telaga hitam di tengah pelukan lebat hutan. Fantasi kita bebas menyelusup, menyibak gelap hutan, memanjat dahan-dahan kukuh, atau bercanda dengan bangau-bangau putih di keremangan rimba. Ada sesuatu yang menggedor perasaan kita.
Tentu setiap kepala menangkap impresi berbeda dari lukisan tersebut. Akan tetapi, itulah setidaknya bentuk interaksi saat mata kita menatap karya Widayat. Ada sesuatu yang lebih dalam dari apa yang tertangkap mata. ”Karya Widayat mempersilakan kita memasuki dunia magis,” kata Joanna Lee, kurator pameran dalam rangka seratus tahun Widayat.
Widayat, kata Lee, menerbangkan penikmat lukisannya ke negeri dongeng ke alam fantasi dari imajinasinya. Penikmat, lanjut Lee, seperti anak-anak lagi, terserap dalam apa yang sedang mereka saksikan, dan untuk sementara daya kritis-analitis mereka tertahan.
”Yang terlihat bukan burung-burung yang manis, tetapi ada yang lebih di balik apa yang terlihat. Sesuatu yang greng,” kata Oei Hong Djien yang memajang seratus karya Widayat koleksinya.
Dekora magis
Ada yang menyebut lukisan Widayat bercorak dekora-magis atau magic decorative. Dekoratif dalam karya Widayat, menurut Joanna Lee, bukan sekadar indah atau dalam istilah Hong Djien bukan sekadar yang manis-manis, tetapi ada unsur lain, yaitu magis. Perpaduan di antara kedua unsur itulah mungkin yang menghadirkan greng-nya.
Greng dalam bahasa Jawa bisa diartikan sebagai sensasi, getaran rasa kuat, yang hadir saat seseorang berinteraksi dengan suatu obyek. Sebagai misal, saat kita menyentuh obyek beraliran listrik atau berinteraksi dengan apa pun yang membuat raga, jiwa, dan hati kita tergetar.
Dalam hal karya Widayat, Joanna Lee membahasakannya sebagai karya dengan electrifying intensity, karya yang berdaya sengat, yang menyetrum, yang greng. Kritikus seni Agus Dermawan T menggambarkan greng sebagai lukisan-lukisan yang memiliki optimasi ekspresi, teknik perwujudan, getaran, serta keluasan imajinasi dan fantasi.
Dalam katalog, dikutip bagaimana Widayat beribarat tentang perbedaan lukisan dahsyat dan lukisan manis. Lukisan dahsyat atau excellent itu ibarat cerutu yang mantap sedap, sedangkan lukisan manis-manis itu ibarat rokok alus yang ringan. ”Pak Widayat sering mengatakan karya yang baik itu harus greng,” kata Hong Djien.
”Bentuk, warna, komposisi, semuanya dengan secermat-cermatnya ditangkap oleh Widayat sebagai ekspresi pikiran dan jiwanya,” kata OHD.
Dalam pembahasaan Muhammad Agus Burhan, rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, karya Widayat mempunyai aura yang ia sebut sebagai ekspresif, arkais. Ekspresi yang sedemikan besar yang bisa dilihat dan dirasakan yang secara populer dikenal sebagai greng itu.
”Ekspresi itu dibangun dari berbagai macam karakter, komposisi, dan harmoni yang kemudian kita kenal sebagai personal style,” kata Agus Burhan dalam pembukaan pameran di OHD Museum, 26 Oktober 2019.
Widayat berasal dari pelukis yang mempunyai tendensi naturalis yang kemudian berkembang ke arah abstraksi dengan beragam tema. Dalam pameran di OHD Museum, disodorkan 100 karya yang terbagi dalam tujuh tema. Tema tersebut adalah abstrak, flora dan fauna, kehidupan sehari-hari, mitologi, ikan, wajah dan topeng, serta karya dalam kertas dan patung.
”Dalam hal inilah Widayat disebut sebagai orang kreatif yang bisa mengungkapkan berbagai macam rasa estetik yang diwujudkan dalam karya. Dia punya inventiveness dalam personal style,” kata Agus Burhan yang pernah menjadi mahasiswa Widayat dan kemudian menjadi asistennya di ISI, Yogyakarta.
Dalam rangka 100 tahun Widayat, digelar pula pameran GRENG di Bentara Budaya Yogyakarta, pada 22-30 Oktober 2019. Juga pameran ”The Legacy of Widayat” di Museum Haji Widayat di Mungkid, Jawa Tengah yang juga berlangsung pada Oktober 2019 hingga Maret 2020. Pameran tersebut mengajak kita untuk merayakan ke-greng-an karya Widayat (1919-2002 ).
Pejuang liris
Widayat lahir di Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang diperkirakan pada tahun 1919 dan meninggal di Jakarta pada 22 Juni 2002. Angka 100 tahun dalam pameran dihitung dari tahun kelahiran sampai tahun 2019 ini. Ibu Widayat adalah seorang pembatik yang berpengaruh dalam kerja kesenimanannya.
Pada awalnya, Widayat melukis pemandangan dengan gaya mooi indie untuk konsumsi turis di Bandung. Sempat bergabung sebagai prajurit TNI yang ditugaskan di Sumatera Utara, ia ditugaskan sebagai pembuat karya propaganda.
Widayat menjadi mahasiswa angkatan pertama di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dan lulus pada 1954. Dia mengajar di almamaternya selama 34 tahun. Ia mendirikan Museum Haji Widayat pada 1994 di Mungkid, kota kecil di sebelah timur Magelang.
Bagi Oei Hong Djien, Widayat mempunyai tempat tersendiri karena Widayat yang mendorongnya untuk mendirikan museum. ”Tidak ada gunanya mempunyai koleksi lukisan begitu banyak kalau Anda tidak memperlihatkannya ke publik,” kata Widayat seperti dikutip Dokter Oei dalam sambutan pembukaan pameran di OHD Museum.
Agus Burhan menyebut Widayat sebagai salah seorang pejuang liris dalam seni rupa Indonesia modern. Lirisisme merupakan periodisasi setelah paradigma estetik humanisme kerakyatan menyurut.
Disebut Burhan, setelah era Orde Baru, muncul variasi ekspresi dari seniman dengan gaya personal yang lebih menekankan pada nilai-nilai liris. Mereka memberi reaksi personal pada berbagai hal, termasuk pergulatan hidup.
”Dalam hal ini Widayat bisa dikatakan sebagai bagian dari satu ungkapan besar lirisisme yang sedang berkembang,” kata Agus Burhan dalam sambutan pembukaan pameran.
Hong Djien menempatkan Widayat dalam deretan tokoh penting seni rupa modern Indonesia selain Affandi, Soedjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio. Setiap kali berbicara tentang Widayat, ia tidak pernah lupa menyebut kata greng sebagai semacam mantra yang melekat pada semua karya Widayat.
Dalam sambutan pembukaan pemeran di OHD Museum, Oei Hong Djien hampir kelupaan mengucapkannya. Ia sudah menutup sambutan dalam bahasa Inggris. Para undangan pun sudah bertepuk tangan. Sejurus kemudian, Oei Hong Djien segera buru-buru menambahkan. ”You know Widayat’s term.I will end this (speech) with salam. Salam Greeng...!!”