Pebisnis Tetap Yakin di Tengah Proteksionisme Perdagangan
›
Pebisnis Tetap Yakin di Tengah...
Iklan
Pebisnis Tetap Yakin di Tengah Proteksionisme Perdagangan
Pebisnis Indonesia optimistis prospek bisnis tumbuh baik ke depan di tengah proteksionisme perdagangan. Mereka mencari celah dengan membangun jaringan bisnis berkelanjutan, pemasok, dan penyedia bahan baku domestik.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pebisnis Indonesia dan internasional tetap optimistis prospek bisnis tumbuh baik ke depan di tengah maraknya proteksionisme perdagangan. Mereka mencari celah dengan membangun jaringan bisnis berkelanjutan, pemasok, dan penyedia bahan baku domestik.
Langkah tersebut dilakukan melalui pembukaan pasar baru serta pengenalan dan layanan produk baru. Selain itu, para pebisnis juga mengoptimalkan kanal perdagangan elektronik atau e-dagang. Poin-poin itu merupakan hasil survei HSBC bertajuk ”Navigator: Now, Next and How for Business” yang diterima Kompas, Selasa (5/11/2019). Survei tersebut mengukur sentimen dan harapan dunia bisnis di 35 pasar di seluruh dunia.
Survei itu juga untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi perusahaan di seluruh dunia, melihat rencana investasi para pebisnis serta cara mereka mengambil keputusan-keputusan penting, melakukan berbagai perubahan, dan mengembangkan bisnis.
HSBC menyurvei 9.131 perusahaan internasional dengan omzet minimal 1,75 juta dollar AS dan batas korporasi sebesar 16,5 juta dollar AS. Sebanyak 150 perusahaan dari Indonesia menjadi bagian dari sampel penelitian ini.
Deputi Direktur Commercial Banking PT Bank HSBC Indonesia Anurag Saigal mengatakan, lebih dari setengah perusahaan Indonesia yang disurvei masuk kategori ”Navigator”. Hal itu menunjukkan, mereka mengharapkan penjualan tumbuh 15 persen atau lebih pada tahun berikutnya.
Responden Indonesia juga percaya diri atas prospek bisnis masa depan mereka. Sembilan dari sepuluh perusahaan Indonesia optimistis tentang pertumbuhan dibandingkan dengan setahun lalu. ”Optimisme pebisnis Indonesia berada di atas rata-rata Asia Pasifik. Negara yang mendekati tingkat optimisme Indonesia adalah Bangladesh dengan 74 persen dan India dengan 72 persen,” lanjutnya.
Optimisme pebisnis Indonesia berada di atas rata-rata Asia Pasifik. Negara yang mendekati tingkat optimisme Indonesia adalah Bangladesh dengan 74 persen dan India dengan 72 persen.
Menurut Anurag, para pengambil keputusan dari perusahaan Indonesia optimistis terhadap prospek jangka pendek, menengah, dan panjang. Sebanyak 54 persen responden memperkirakan penjualan mereka tumbuh 15 persen atau lebih mencapai 61 persen. ”Optimisme pengambil keputusan perusahaan Indonesia itu jauh lebih tinggi dari rata-rata global (22 persen) dan Asia Pasifik (19 persen),” ujarnya.
Proteksi perdagangan
Survei itu juga menyebutkan pandangan pebisnis dunia tentang perdagangan internasional. Hampir semua kalangan bisnis (97 persen) berharap prospek bisnis internasional lebih baik. Sebanyak 45 persen responden menyatakan sangat positif akan hal itu.
Pebisnis Indonesia yang menyatakan perdagangan internasional akan mendatangkan kesempatan bisnis untuk lima tahun ke depan sebanyak 96 persen, menghadirkan inovasi (95 persen), meningkatkan pendapatan (96 persen), efisiensi (94 persen), dan menopang ketenagakerjaan (94 persen).
”Optimisme pebisnis Indonesia itu lebih tinggi ketimbang persentase global. Manfaat yang diharapkan di Indonesia beragam, mulai dari manfaat langsung (kesempatan baru dan efisiensi), manfaat untuk pekerja (pendapatan dan perekrutan kerja), hingga manfaat bagi konsumen (inovasi),” tutur Country Head Global Trade and Receivable Finance PT Bank HSBC Indonesia Dandy Pandi.
Responden global yang menyatakan perdagangan internasional akan mendatangkan kesempatan bisnis untuk lima tahun ke depan sebanyak 79 persen, menghadirkan inovasi (80 persen), meningkatkan pendapatan (70 persen), efisiensi (78 persen), dan menopang ketenagakerjaan (73 persen).
Menurut Dandy, lebih dari 85 persen kalangan bisnis di Indonesia memandang proteksionisme sedang marak di negara tempat mereka beraktivitas bisnis. Angka pertumbuhannya cukup signifikan per tahun dari 55 persen pada 2017 hingga 71 persen pada 2018.
Lebih dari 85 persen kalangan bisnis di Indonesia memandang proteksionisme sedang marak di negara tempat mereka beraktivitas bisnis. Angka pertumbuhannya cukup signifikan per tahun dari 55 persen pada 2017 hingga 71 persen pada 2018.
Kendati begitu, mereka berpendapat, proteksionisme juga lebih memberikan keuntungan. Mereka mengatasi dampaknya dengan berfokus pada kanal digital, pemangkasan biaya, mengubah portofolio, mengambil (bahan baku) dari pemasok lokal, meningkatkan kualitas produk dan layanan, serta membuka pasar baru.
”Dengan pergeseran yang terjadi di tingkat regional dan domestik, semakin banyak perusahaan mengadopsi teknologi digital dan menciptakan ekosistem untuk mendukung perubahan itu. Sangat penting agar pebisnis di Indonesia mengikuti perkembangan zaman dengan menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi operasional, meningkatkan penjualan, dan menemukan mitra strategis yang tepat,” kata Dandy.
Survei HSBC pun menunjukkan perusahaan-perusahaan juga berfokus pada penjualan daring. Responden menilai hal itu merupakan cara menangkal proteksionisme (40 persen) dan menggunakannya sebagai strategi untuk mengurangi risiko geopolitik (39 persen).
”Iklim politik global saat ini juga mengharuskan perusahaan menilai kekuatan dan keandalan rantai pasokan mereka. Mengamankan pasokan bahan baku dan energi adalah kuncinya,” ucap Dandy.
Untuk itu, lanjut Dandy, perusahaan fokus pada keuangan, berinvestasi lebih banyak di sektor teknologi, serta mengembangkan kerangka kerja berkelanjutan. Khusus sektor manufaktur Indonesia, perlu fokus pada rantai pasokan yang dapat dilacak (traceable supply chain).