Potret Kesehatan dan Pendidikan Penyintas Bencana
Para penyintas bencana Palu dan Lombok di tenda pengungsian atau hunian sementara selain rentan terkena penyakit, juga masih berjuang menempuh pendidikan dengan beragam kondisi lapangan.
Hidup di tenda pengungsian atau hunian sementara membuat penyintas bencana Palu dan Lombok tak lepas dirundung masalah kesehatan dan pendidikan. Selain rentan terkena penyakit, para penyintas juga masih berjuang menempuh pendidikan dengan beragam kondisi lapangan.
Lebih dari satu tahun sejak bencana melanda wilayah Palu dan Lombok, masih ada penyintas yang hidup di tenda pengungsian dan hunian sementara. Walau sarana kesehatan, dan sanitasi telah tersedia, namun keluhan kesehatan penyintas dan penyakit pascabencana masih menjadi cerita di lokasi-lokasi hunian sementara.
Temuan tersebut muncul dari hasil survei Kompas terhadap 200 responden pada 22-29 Oktober 2019 di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, serta Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Keluhan penyakit paling dominan yang dialami pengungsi di Lombok adalah gangguan pencernaan (75 persen) kemudian disusul gangguan penglihatan. Derita di sekitar tenda pengungsi juga pernah diwarnai munculnya wabah penyakit pada September 2018 lalu.
Pemerintah Kabupaten Lombok Barat menetapkan status kejadian luar biasa malaria atau KLB malaria di wilayahnya. KLB malaria ditetapkan berdasar temuan meningkatnya jumlah penderita pada periode Agustus-September 2018, tepat setelah gempa melanda Pulau Lombok, Juli 2018.
Potret kondisi kesehatan penyintas hampir sama dengan di Sulawesi Tengah. Namun bedanya tidak terjadi kejadian luar biasa penyakit tertentu. Situasi penyakit Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi pada Oktober 2018 didominasi infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA dan diare akut.
Laporan Kementerian Kesehatan RI tertanggal 28 Oktober 2018 yang berjudul “Kondisi Puskesmas dan Rumah Sakit di Sulteng Pusat Krisis Kesehatan” menunjukkan bahwa ISPA dan diare akut mendominasi penyakit yang diderita korban bencana di Sulawesi Tengah.
Temuan survei Kompas menegaskan kondisi penyintas di Sulawesi Tengah. Keluhan penyakit paling dominan yang dialami pengungsi di Palu dan Sigi adalah gangguan pernafasan (80 persen), diikuti gangguan mata.
Penyakit pascabencana
Sebetulnya, bukan hanya gangguan pernafasan yang dialami para penyintas. Berbagai jenis penyakit muncul pascabencana. Saat awal terjadinya bencana, penyakit yang banyak ditemukan adalah luka traumatik, ortopedi atau tulang dan bedah. Kondisi ini berhubungan erat dengan kejadian bencana akibat tertimpa reruntuhan bangunan.
Berselang dua bulan setelah bencana, jenis penyakit yang muncul berganti antara lain penyakit infeksi menular, yaitu ISPA dan diare (Kompas, 8/11/2018). Ancaman kesehatan juga muncul karena penyebaran virus dan bakteri dari jenazah korban dan bangkai hewan yang mulai membusuk.
Pengungsi rentan terhadap ISPA karena mereka tidur di tenda dengan kebersihan yang tidak terjaga maksimal. Debu dan kotoran dapat terhirup sehingga menimbulkan penyakit. Penyakit juga timbul dari fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) yang tidak layak, timbunan sampah, serta mampatnya saluran air pembuangan.
Berbeda dengan Lombok yang endemik malaria, ancaman kesehatan warga terdampak bencana di Palu dan sekitarnya pada masa awal mengungsi adalah minimnya fasilitas MCK yang memadai.
Kondisi sarana sanitasi saat ini sudah jauh lebih baik dari pada setahun lalu. Temuan Litbang Kompas menunjukkan bahwa di Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat, fasilitas sanitasi dan kesehatan cukup memadai. Kendati demikian, tempat pembuangan sampah di Lombok masih perlu dibenahi.
Ketersediaan pembuangan sampah adalah yang paling rendah. Sebesar 39 persen responden di Lombok menyatakan bahwa tempat sampah belum cukup tersedia. Fasilitas sanitasi lainnya yakni penyediaan air bersih, sarana MCK, penerangan dan akses obat-obatan P3K dipandang cukup oleh para pengungsi.
Menurut pengakuan pengungsi di Palu dan Sigi, penyediaan peranti P3K masih perlu ditingkatkan. Hanya 40 persen responden yang menyatakan ketersediaannya memadai. Sarana penerangan (93 persen) dan sarana MCK (90 persen) adalah dua fasilitas terbaik yang dirasakan oleh pengungsi di Palu dan Sigi.
Perilaku kesehatan
Selama dalam masa pengungsian, warga terdampak bencana secara terus-menerus membutuhkan pelayanan kesehatan. Litbang Kompas mengukur melalui survei dengan pertanyaan “Dalam tiga bulan terakhir, pihak manakah yang paling rutin memberikan layanan/pemeriksaan kesehatan gratis di lokasi pengungsian?”
Menurut jawaban pengungsi, terdapat tiga pihak yang turut memberikan layanan kesehatan pada pengungsi. Pihak tersebut adalah puskesmas, rumah sakit, dan swasta. Pihak swasta terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), badan keagamaan, serta lembaga donor luar negeri.
Pengungsi di wilayah Lombok mengaku bahwa pihak swasta (36 persen) yang paling banyak memberi perawatan kesehatan gratis dalam tiga bulan terakhir. Sebesar 22 persen responden mengaku dilayani oleh Puskesmas dan 3 persen dilayani rumah sakit.
Temuan di wilayah Sulawesi Tengah, Puskesmas menjadi andalan pengungsi untuk memeriksakan kesehatan (52 persen). Sebesar 28 persen pengungsi mendapat pelayanan kesehatan gratis dari swasta dan 2 persen dari rumah sakit.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa puskesmas dan pihak swasta menjadi tulang punggung perawat kesehatan para pengungsi. Penyediaan layanan kesehatan gratis memudahkan pengungsi. Fasilitas ini paling banyak membantu para penyintas mengakses layanan perawatan kesehatan.
Dalam kondisis darurat, peran serta pihak swasta dapat melengkapi memadainya fasilitas kesehatan selain yang disediakan pemerintah. Penanganan bencana membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
Berjuang tetap sekolah
Selain kesehatan, pendidikan adalah salah satu hal yang utama bagi peserta didik yang terdampak bencana. Saat terjadi bencana di Lombok dan Palu, berdasar kalender akademik berada pada waktu tengah semester ganjil. Karenanya, pemulihan aktivitas belajar mengajar menjadi salah satu prioritas supaya para siswa di lokasi terdampak bencana tidak tertinggal materi pendidikannya.
Berselang waktu satu tahun setelah bencana, aktivitas pendidikan tetap dilangsungkan dengan beragam kondisi lapangan. Berdasar temuan dari survei Litbang Kompas, peserta didik saat ini bersekolah di tiga jenis lokasi. Mereka bersekolah di sekolah lama yang menempati gedung lama, sekolah lama dengan menempati gedung baru, dan sekolah sementara yang ada di pengungsian.
Pelajar di Lombok, sebagian besar kembali bersekolah di gedung lama yang selesai direnovasi. Sebesar 60 persen siswa dari tingkat pendidikan TK, SD/sederajat, SMP/sederajat, dan SMA/sederajat menempati gedung sekolah lama. Siswa yang bersekolah di institusi pendidikan lama namun menempati gedung baru sebesar 24 persen.
Siswa terdampak bencana Lombok yang bersekolah di sekolah sementara di pengungsian sebesar 7 persen. Sebesar 5 persen siswa bersekolah di sekolah baru dan terdapat 4 persen yang berhenti bersekolah. Jadi secara umum, pelajar terdampak bencana di Lombok mayoritas kembali menempati sekolah lama.
Sedangkan siswa di Palu dan Sigi, menyebutkan masih bersekolah di gedung lama (40 persen). Kondisi ini hampir berimbang dengan siswa yang bersekolah di institusi lama dengan menempati gedung baru (37 persen). Namun, masih ada sebagian siswa di Palu dan Sigi yang belajar di hunian sementara (10 persen).
Walaupun menghadapi beragam kondisi lapangan, hasil survei memberikan gambaran semangat belajar bagi peserta didik yang terkena bencana. Anak-anak penyintas bencana tetap belajar, meski berada di tempat sementara atau darurat.
Fasilitas pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu fokus utama pemerintah dalam proses rehabilitasi bencana. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR melakukan perbaikan fasilitas pendidikan yang rusak karena bencana. Sejumlah 572 fasilitas pendidikan di Lombok telah selesai dibenahi. Fasilitas pendidikan yang paling banyak diperbaiki berada di Kabupaten Lombok Utara dengan jumlah 248 unit.
Fasilitas sekolah di lokasi terdampak bencana di Sulawesi Tengah yakni di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Parigi Moutong juga telah dibenahi oleh Kementerian PUPR.
Berdasar data yang dirilis pada Oktober 2019, sebanyak 83 fasilitas pendidikan telah rampung direhabilitasi dan dibangun. Sejumlah 42 di antaranya adalah gedung sekolah dari berbagai jenjang pendidikan, dan 41 unit gedung madrasah. Gedung sekolah dan madrasah paling banyak dibangun dan direhabilitasi di Kabupaten Donggala dengan jumlah 36 sekolah dan madrasah.
Hingga saat ini, pembangunan dan perbaikan fasilitas pendidikan masih terus dilanjutkan. Secara umum, kondisi pengungsi di Lombok dan Sulteng berangsur membaik. Namun, korban bencana tidak dapat dibiarkan menjadi pengungsi berlama-lama. Pembangunan hunian tetap sebagai pengganti tempat tinggal lama yang telah rusak atau hilang perlu segera diwujudkan, sekaligus juga untuk menjaga kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)