Yang Dibutuhkan untuk Menggantikan China sebagai Basis Produksi
Sulit bagi negara mana pun di dunia menggantikan posisi China sebagai basis produksi karena efisiensi produksi di China tidak terlawan. China juga memiliki jaringan produksi yang sangat baik di semua sektor industri.
Perang dagang Amerika Serikat-China masih alot. Ini mendorong niat merelokasi pabrik dari China untuk menghindari tarif yang dikenakan AS. Akan tetapi, relokasi ini tidak akan mudah. China menjalankan kebijakan lanjutan guna mengamankan perekonomiannya untuk membuat pabrik bertahan.
Permainan kurs menjadi salah satu pilihan yang telah dilakukan China agar ekspornya tetap berdaya saing. Kurs yuan pada 17 April 2018 berkisar pada angka 6,23 yuan per dollar AS. Kurs dipatok pada kisaran 7,2 yuan per dollar AS di akhir 2019.
Ini akan membuat harga produk China relatif kompetitif meski dihantam dengan tarif. Victor Shih, seorang profesor politik ekonomi dari University of California, San Diego, mengatakan, devaluasi kurs merupakan opsi menarik bagi China untuk menampik tarif. China juga akan menghambat relokasi dengan mengendalikan aliran modal keluar. Shih menambahkan, bahkan milyuner sekalipun akan sulit mengalokasikan dana ke luar negeri.
Chen Xin, profesor dari Shanghai Advanced Institute of Finance (SAIF), mengatakan, China bisa mengenakan kontrol aliran modal secara ketat. ”Ini efektif mencegah aliran uang,” kata Chen. Setidaknya ini adalah langkah yang pas dalam jangka pendek, lanjut Chen.
China akan mengamankan perekonomiannya dari gerogotan sanksi tarif. ”Dalam jangka panjang, perang dagang ini akan memaksa China melakukan reformasi yang akan dipercepat,” lanjut Chen.
Para analis juga mengatakan China akan melonggarkan sejumlah kebijakan dalam bulan-bulan mendatang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mendorong relokasi selektif
China bersikap selektif soal relokasi. China hanya akan mendorong relokasi sejumlah industri besar untuk mengurangi kelebihan kapasitas produksi domestik dan mendukung ambisi rencana pembangunan infrastruktur global, inisiatif China, One Belt One Road. Beijing kurang mendukung pengalihan sektor manufaktur ke seberang, apalagi untuk produk yang bernilai tambah tinggi.
Baca juga: Indonesia Tak Masuk Radar, Kalah dari Negara Lain di ASEAN
Liang Ming, Direktur Institute of International Trade, Chinese Academy of International Trade and Economic Cooperation, sebuah lembaga milik Departemen Perdagangan China, juga menolak ide bahwa perusahaan-perusahaan China sedang terdorong meninggalkan China.
”Beberapa perusahaan memang sudah pindah. Jika pindah, mereka menghadapi risiko jika AS-China mencapai kesepakatan,” kata Liang, seperti dikutip kantor berita Reuters pada 27 Juni. Pindah kembali ke China akan berbiaya mahal, demikian Liang menambahkan.
Kementerian Perdagangan China pada 11 Juli mengumumkan tidak ada penarikan mundur investasi asing secara besar-besaran dari China. Pada 8 Juli, Trump melalui akun Twitter-nya menyatakan, tarif telah menyebabkan efek besar berupa keinginan perusahaan-perusahaan melakukan eksodus dari China. ”Ribuan perusahaan sedang hijrah,” demikian Trump.
Posisi tak tergantikan
Ucapan Trump tidak berdasar. Amati tulisan Jeff Crawshaw, Direktur Operasional Asia at Sourcing Allies, yang tinggal di Ningbo, Zhejiang. Perusahaan ini menawarkan jasa bagi perusahaan global yang ingin berbisnis di China terkait sektor manufaktur.
Crawshaw menuliskan, sulit bagi negara mana pun di dunia menggantikan posisi China. Memang benar, Thailand, Vietnam, dan Malaysia proaktif mendorong relokasi ke negara masing-masing. Akan tetapi, biayanya tidak murah untuk relokasi walau sejumlah pemanis ditawarkan.
”Sebagai seorang yang telah bekerja sebagai seorang agen di China selama beberapa tahun, saya sependapat bahwa relokasi keluar dari China tidak mudah. Saya tidak mengatakan mustahil, tetapi bisnis asal Barat harus siap dengan mata rantai produksi yang jauh lebih kompleks di luar China dan tentu juga lebih mahal,” demikian Crawshaw.
Crawshaw hendak mengatakan efisiensi produksi di China memang tidak terlawan negara mana pun. Bayangkan bahwa pabrik itu wajib memiliki jaringan produksi ke belakang dan ke depan. China memiliki jaringan produksi yang baik, tidak hanya dalam satu sektor industri, tetapi juga dengan keseluruhan industri.
Sistem produksi di China mirip ban berjalan dengan segala kemulusan dan kesempurnaan. ”China memiliki sistem produksi yang perfek tidak hanya di dalam satu jenis industri, tetapi juga dalam keseluruhan kluster manufaktur. Kegiatan pabrikan saling berkaitan, contohnya tekstil dengan sistem yang terkonsentrasi,” demikian Crawshaw.
Dia memberikan contoh Sock City, sebutan bagi sebuah kota yang khusus memproduksi kaus kaki. Terletak di Datang, sebuah wilayah di kota Zhuji, Provinsi Zhejiang. Provinsi ini menghasilkan 30 persen kaus kaki dari seluruh produksi global. ”Anda akan menemukan pabrik-pabrik terkait berada di salah satu kluster khusus, mulai dari mesin-mesin pemintal kapas benang, bahan kaus kaki,” kata Crawshaw.
Mengirim barang ke pelabuhan mirip mengirim barang ke langit.
Kluster serupa tersedia untuk produksi baja pencetak dengan segala kelengkapan jaringan produksi di Provinsi Zhejiang, Jiangsu, dan Guangdong. ”Keberadaan kluster seperti ini menaikkan daya saing manufaktur China, tidak ada jaringan pabrik di mana pun di dunia ini yang bisa mengimbangi,” demikian Crawshaw.
Kluster-kluster ini membentuk zona-zona manufaktur. Zona ini tersambung mulus lewat jaringan infrastruktur, yang bahkan negara maju mana pun tidak bisa menyamainya. Sistem industri China memang ditata sedemikian rupa dan mulus menuju pasar ekspor. Aktivitas mereka tersambung mulus dengan bagian kepabeanan, kargo, dan jasa terkait.
India, Vietnam, dan negara-negara di ASEAN lain tidak memiliki sistem seperti ini. Ambil India sebagai contoh, negara ini memang mencoba membentuk zona manufaktur. Akan tetapi, begitu barang keluar dari zona ini, akan dihadapkan dengan sarana jalan yang macet luar biasa. ”Mengirim barang ke pelabuhan mirip mengirim barang ke langit,” demikian Crawshaw mencontohkan.
Inilah yang membuat Boston Consulting Group dalam laporannya pada Desember 2018 mengatakan, China menjadi pusat gravitasi sektor manufaktur global di masa depan.
Korporasi AS memohon
Korporasi global pun menyatakan demikian, termasuk asal AS. Crown Crafts Inc, sebuah perusahaan AS yang bermarkas di Louisiana, menganalisis belasan negara sebelum memutuskan pemindahan pabrik pembuat selimut bayi dari China. ”Sulit menemukan negara yang bisa bersaing dengan China,” kata Randall Chestnut, CEO Crown Crafts Inc.
Oleh karena itulah, lebih dari 100 perusahaan AS meminta Departemen Perdagangan AS menghapuskan tarif impor asal China karena mereka tidak menemukan lokasi pemindahan produksi yang pas dengan China.
Maka, jika Trump atau Navarro mengatakan tarif telah membuat korporasi berniat pindah, termasuk pindah ke AS, ini adalah sebuah kalimat tak berdasar.
Zoom Telephonics Inc, sebuah perusahaan asal Boston, AS, menjual televisi impor asal China lewat Amazon.com Inc, Best Buy Co, dan lewat usaha eceran lainnya. ”Saya kira tidak seorang pun yang telah memindahkan produksi ke AS,” kata Frank Manning, CEO perusahaan, meski tarif telah membuat perusahaan berdarah-darah secara keuangan.
Rekannya berpendapat sama. ”Jika kami memindahkan pabrik ke AS, pasti sangat mahal,” kata John Hoge, salah seorang pemilik Sea Eagle Boats Inc yang memproduksi 85 persen semua produknya di China, seperti kayak, kano, dan perahu penangkap ikan.
Hoge menambahkan, jaringan manufaktur serta pemasok di China membuat perusahaan dan pesaing memiliki kelengkapan lingkungan, yang tidak ditemukan di negara lain. Berbagai kelengkapan itulah yang dibutuhkan negara lain jika ingin menggantikan China sebagai basis produksi. (Bersambung)