Wayang kulit adikarya budaya lisan nonbendawi warisan peradaban manusia ini tidak ditinggalkan. Masih ada anak-anak belia yang menyukai wayang sepenuh hati dengan mendalang.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·4 menit baca
Wayang kulit kini memang bukan lagi favorit bagi kebanyakan generasi muda, apalagi anak-anak. Namun, adikarya budaya lisan nonbendawi warisan peradaban manusia ini tidak lantas ditinggalkan. Masih ada anak-anak belia yang mencintai wayang sepenuh hati. Tak hanya menonton, mereka bahkan mendalang.
Festival Dalang Cilik Nasional 2019 di Solo, Jawa Tengah, bagaikan embusan angin sejuk di siang hari kala puncak kemarau. Sebanyak 23 anak dari berbagai daerah tampil mendalang.
Mereka yang terbagi dalam dua kelompok umur, yaitu 11 anak berumur 8-11 tahun dan 12 anak di kelompok umur 12-15 tahun, berkompetisi mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam mendalang. Mereka tampil dengan durasi waktu 30-40 menit.
Terasa makin menyejukkan karena aksi mereka ditonton teman-teman sebayanya. Festival ini diadakan Pemerintah Kota Solo, Selasa-Rabu (5-6/11/2019) di Pendhapi Ageng, Balai Kota Solo. Tidak hanya anak-anak, pentas wayang ini juga ditonton masyarakat umum.
Yusuf Prada Mulya (9), siswa Kelas IV SD Negeri Sekip 2 Solo, Jawa Tengah, tampil membawakan lakon Bima Bungkus. Bima Bungkus menceritakan tentang lahirnya Bima atau Werkudara.
Bima dilahirkan dalam wujud terbungkus selaput yang tidak bisa disobek senjata apa pun. Bima baru bisa keluar dari bungkus itu setelah seekor gajah, yaitu Gajah Sena, diutus dewa merobek dan memecah bungkus itu. Bima yang masih bayi itu bisa menaklukkan Gajah Sena.
Yusuf tampak luwes dalam sabet (keterampilan memainkan wayang) ataupun antawacana (dialog). Penampilannya diiringi gamelan yang dimainkan para pengrawit dari Sanggar Sarotama, Karanganyar, Jawa Tengah.
”Saya suka dengan cerita ini. Bima adalah tokoh wayang favorit saya, dia gagah berani, kuat dan jujur,” ujar Yusuf yang bercita-cita menjadi dalang profesional, Rabu.
Yusuf mulai belajar mendalang sejak kelas III SD di Sanggar Sarotama. Setiap Sabtu sore, ia diantarkan sang ibu, Hidayah Murwani (41), berlatih.
Tak seperti anak-anak sebayanya, Yusuf sama sekali tidak punya mainan, misalnya, mobil-mobilan ataupun mainan lainya. Namun, ia memiliki banyak wayang yang selalu dimainkannya. ”Dia mulai menunjukkan tanda-tanda suka kepada wayang kulit itu sejak umur tiga tahun setelah ikut melihat pentas wayang kulit saat perayaan 17 Agustusan di kampung,” kata Muwarni, warga Kelurahan Banjarsari, Solo.
Dalang cilik lainnya datang dari Jakarta, Praka Tria Wibawa (11), siswa kelas V SDN Bantarjati 02 Pagi, Cipayung, Jakarta Timur. Ia unjuk kebolehan membawakan lakon Jabang Tetuko yang mengisahkan lahirnya Tetuko atau Gatotkaca, putra Werkudara. Meski dari Jakarta, logat Jawa Praka terdengar kental. Maklum, ibunya berasal dari Klaten, sedangkan ayahnya dari Sragen, Jawa tengah.
Praka juga mulai suka wayang kulit juga sejak usianya 3 tahun dan mulai belajar mendalang ketika duduk di bangku kelas III SD.
Awalnya, Praka diajak ayahnya menonton pementasan wayang kulit di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Praka mengaku menyukai mendalang karena seru. Sebab, ia bisa memainkan tokoh-tokoh wayang yang berwatak baik ataupun jahat.
”Saya paling suka Hanoman, dia baik, jujur, pemberani,” kata Praka didampingi ibunya, Winarti (47). Seperti anak lainnya, Praka juga suka bermain gim.
Banyak ajaran atau pitutur luhur dalam cerita-cerita pewayangan yang dapat membentuk karakter unggul dalam diri anak-anak.
Muhammad Arya Kameswara (11), dalang cilik lain dari Solo, tampil membawakan lakon Gandamana Luweng. Lakon ini mengisahkan perseturuan Gandamana yang merupakan patih Raja Pandu dengan Sengkuni.
Siswa kelas VI SD Islam Internasional Al Abidin, Solo, ini sudah belajar mendalang selama 6 tahun di Sanggar Pulanggeni, Solo. Arya bahkan sudah beberapa kali peye alias payu (laku) ditanggap. Di antaranya, ia sudah pernah mendalang pada saat kegiatan bersih kampung Mojosongo, Solo, dan bersih dusun Songgorunggi, Jaten, Karanganyar.
Uniknya, Yusuf, Praka, dan Arya bukan berasal dari keluarga seniman. Ayah mereka bukanlah dalang, tetapi orangtua ataupun kakek mereka sama-sama pencinta wayang. Mereka juga sama-sama berkenalan dengan wayang kulit sejak kanak-kanak.
Kepala Dinas Kebudayaan Solo Kinkin Sultanul Hakim mengatakan, Festival Dalang Cilik Nasional 2019 yang baru pertama kali digelar Pemerintah Kota Solo ini diharapkan dapat kian menumbuhkan kecintaan terhadap wayang kulit sejak dini. Ini juga sebagai upaya melestarikan kesenian wayang kulit sekaligus juga menjadi media untuk pendidikan karakter anak-anak.
”Banyak ajaran atau pitutur luhur dalam cerita-cerita pewayangan yang dapat membentuk karakter unggul dalam diri anak-anak,” katanya.
Budi Utomo, salah satu juri Festival Dalang Cilik Nasional yang juga dosen Akademi Seni Mangkunegaran, Solo, mengatakan, para peserta sudah menunjukkan kemampuan teknis mendalang yang baik. Mereka diharapkan terus berlatih untuk mengasah kemampuannya.
Menurut Budi, antusiasme dan banyaknya anak-anak yang tampil mendalang dalam kegiatan ini menjawab kekhawatiran yang muncul selama ini bahwa seni tradisi pedalangan akan punah. ”Dengan ini sudah terjawab, seni pedalangan justru akan berkembang dan maju,” katanya.