Dukun hingga Rompi Antipeluru demi Takhta Raja
Berbagai cara dilakukan para kandidat demi meraih jabatan kuwu atau kepala desa di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mulai dari mengeluarkan uang Rp 1 miliar lebih hingga menyewa jasa dukun.
Berbagai cara dilakukan para kandidat demi meraih jabatan kuwu atau kepala desa di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mulai dari mengeluarkan uang Rp 1 miliar lebih hingga menyewa jasa dukun. Segala upaya merebut takhta ”raja kecil” itu tak kalah heboh dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah atau mungkin presiden sekalipun.
Aroma kemenyan menguar di sekitar rumah Casudi, kandidat nomor 2 dalam pemilihan kuwu Suranenggala Kulon, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jabar, Minggu (27/10/2019) petang. Seorang perempuan paruh baya menjaga agar api bakaran kemenyan tidak padam. ”Kemenyan ini menangkal aroma buruk. Warga juga mengaji untuk menguatkan iman menunggu hasil pemilihan. Beberapa hari sebelum pemilihan, juga ada tahlilan,” ujar H Cakadi (56), warga setempat.
Ia tidak menjelaskan lebih jauh tentang bau yang tercium kuat itu. Namun, katanya, semalam sebelum pemungutan suara, dukun kedua calon juga membakar kemenyan. Jika apinya membesar, peluang membesar. Warga kerap menyebutnya ajang ”perang dukun”.
Di rumah Kasmad, calon kuwu nomor urut 1, sekitar 50 meter dari rumah Casudi, suasananya juga penuh harap. Poster dan nomor urut petahana ini terpajang di dinding rumah sendiri dan tetangganya. Pendukungnya serius menunggu hasil penghitungan suara di tenda depan rumah. Seperti Casudi, Kasmad mengurung diri di kamar, menunggu hasil pemilihan pada Minggu pagi.
Fenomena unik pun terjadi saat pemilihan berlangsung di balai desa. Kedua calon duduk di kursi peninggalan para mantan kuwu. Keluarga mereka turut mendampingi. Kursinya dibalut kain batik, melambangkan kecukupan sandang.
Di belakang kursi menempel seikat padi, daun pandan, dan beringin. Padi menyimbolkan pemenuhan pangan, sementara beringin berarti calon kuwu bakal mengayomi warganya. ”Kalau pandan, harapannya agar nanti kuwu membawa aroma harum dalam pemerintahannya,” lanjut Cakadi.
Wayang berkarakter Semar dipajang di balik kursi kedua calon. Semar diumpamakan sebagai watak calon yang jujur dan sederhana. Di dekat wayang tampak poster kedua calon. ”Jambu alas jambu kemuning, Insya Allah kuwu Kasmad terpilih maning (lagi),” demikian tulisan di salah satu poster.
Massa pun bisa diidentifikasi. Ada yang mengedipkan mata atau menyapa si calon setelah keluar dari bilik suara. Ada pula yang memasang spanduk atau poster calon di rumahnya atau ikut dalam mobil pendukung salah satu calon. Padahal, tanpa spanduk pun warga sudah mengenal calon pemimpinnya. Lha, memang tetangga sendiri.
Kabinet kuwu
Meski hanya setingkat desa, bukan berarti persiapannya asal-asalan. Para calon biasanya punya mesin politik. Beragam cara dimatangkan tim sukses, yang dibuat sejak tiga hingga lima bulan sebelum pencoblosan. Tim sukses bisa puluhan orang, terdiri atas tetangga dan keluarga besarnya.
Tugasnya beragam, tetapi berujung mengampanyekan si calon agar warga memilihnya. Rumah kandidat menjelma posko pemenangan. Makanan dan minuman tersaji 24 jam bagi yang ingin bergabung.
”Enggak ada janji-janjian (jabatan). Namun, anggota tim sukses bisa diangkat jadi aparat desa oleh kuwu. Kayak presiden mengangkat kabinet. Raksabumi di desa itu seperti menteri pertanian dan lebe itu setara menteri agama,” kata Adman (54), salah satu tim sukses calon.
Baca Juga: Lebih Rawan Dibandingkan Pilkada, Pilkuwu di Cirebon Dijaga Ribuan Aparat
Tim sukses ini bahkan sudah mampu memetakan berapa suara perolehan kandidat. Itu sebabnya mereka aktif bergerak dari rumah ke rumah warga guna memastikan dukungan. ”Yang tinta merah ini bukan orang kita (saya). Kalau yang tinta hitam itu milih saya,” ungkap H Solichin, calon kuwu Kaliwedi Kidul, sambil menunjukkan lembaran berisi 3.402 daftar pemilih tetap dalam pemilihan kuwu setempat.
Anaknya yang bekerja di Halmahera, Maluku Utara, pulang kampung agar masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Biaya pesawat jutaan rupiah hanya sebagian kecil dari ongkos politik. ”Ya, minimal habis Rp 1 miliar. Ada juga sumbangan ratusan juta rupiah dari pendukung saya,” ucap Solichin yang telah menjadi aparat desa lebih dari 15 tahun.
Tiada catatan pasti berapa rupiah pengeluarannya. Calon kuwu tidak diharuskan melaporkan biaya kampanyenya. Baginya, uang bukan masalah. Motivasinya mengejar ”kursi” kuwu untuk mengabdi dan membangun desa. Berdasarkan harapan calon pemilih yang ia himpun, masyarakat mengeluhkan sejumlah bantuan dari pemerintah yang tidak sampai ke penerimanya.
”Itu karena dua kuwu sebelumnya terlibat korupsi. Saya tidak akan begitu. Umur saya sudah 58 tahun, sudah mau masuk liang kubur,” katanya. Janji itu dituangkan dalam visinya, BERSATU (Bersih, Ekonomi, Ramah, Sejahtera, Aman, Tegas, Usaha). Lagi pula, katanya, gaji kuwu hanya sekitar Rp 4,2 juta atau masih di bawah penghasilannya per bulan dari berdagang beras.
Meski demikian, bapak tiga anak ini mengakui, kuwu berhak mengelola 5 hektar sawah atau meraup Rp 100 juta jika disewakan per tahun. Kuwu juga dapat mengatur pemanfaatan aset desa berupa tanah 2,5 hektar yang tengah disewa PT Pertamina. Dari sana, pendapatan asli desa setiap dua tahun sekitar Rp 450 juta. Ini belum termasuk anggaran dana desa dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten sekitar Rp 2 miliar per tahun. Satu periode jabatan kuwu selama enam tahun.
Sayangnya, anggaran untuk kemakmuran warga itu ada yang diselewengkan oknum kuwu. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Cirebon mencatat, saat ini ada lima kuwu yang harus mendekam di penjara karena korupsi anggaran dana desa dan PAD desa. Dua kuwu lain dipenjara karena berjudi.
Korupsi terjadi karena si calon keluar modal banyak, termasuk terkait politik uang. Di jalan raya Plumbon-Sumber bahkan terpajang spanduk, ”Tolak politik uang. Ambil uangnya, jangan pilih orangnya biar calon kuwu jera”. Soedirman Wamad (27), warga Desa Pamengkan, Kecamatan Mundu, mengaku ditawari uang jika memilih salah satu calon kuwu.
”Pagi-pagi, saya dikasih sarapan dan mau dijemput ke balai desa untuk mencoblos. Bekas kertas bertuliskan nomor calon yang sudah dicoblos dibawa sebagai bukti untuk ditukar dengan uang. Saya putuskan enggak mencoblos,” katanya.
Baca Juga : 29 Tersangka Judi Pilkades Ditangkap
Lebih rawan
Kepala DPMD Kabupaten Cirebon Suhartono mengatakan, selama ini sudah ada upaya mencegah politik uang, yang berujung korupsi. ”Biaya pemilihan kuwu sudah ditanggung pemkab, Rp 90 juta hingga Rp 140 juta per desa, tergantung jumlah DPT. Petahana yang ingin maju juga diperiksa oleh inspektorat,” katanya.
Tahun ini sebanyak 598 calon kuwu dari 176 desa di 39 kecamatan berebut kursi kepala desa. Sesuai aturan, calon kuwu minimal dua orang dan maksimal lima kandidat. Bahkan, ada 11 desa yang calonnya melebihi ketentuan sehingga harus menjalani seleksi akademis.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi menilai pemilihan kuwu lebih rawan terhadap gangguan keamanan dibandingkan pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, bahkan presiden. ”Kalau pilkada atau pileg belum tentu calon tahu siapa yang memilihnya. Namun, kalau pemilihan kuwu, pemilihnya tahu dan lawannya tahu,” ucapnya.
Tak heran, lebih dari 2.200 aparat dari Polri, TNI, dan Pemkab Cirebon turut berjaga pada hari pencoblosan. Bahkan, di Suranenggala Kulon, personel Brimob bersenjata laras panjang dan rompi antipeluru turun ke desa. Balai desa dipagari bambu, bahkan sejumlah titik jalan raya ditutup.
Budayawan Cirebon, Nurdin M Noer, menilai, pemilihan kuwu lebih riuh dan rawan dari pilpres karena sangat emosional. Warga dan calon kuwu sudah saling kenal. Itu sebabnya ketika jagoan warga tidak menang, muncul potensi ricuh. ”Saat menjadi ketua panitia pemilihan kuwu di Desa Klayan, 2001, rumah saya sampai dijaga polisi,” ucapnya.
Terlepas dari itu, katanya, pemilihan secara demokratis dengan satu orang satu suara sudah berlangsung di Cirebon sejak 1604. ”Cara ini lahir dari pemikiran masyarakat Cirebon yang lebih terbuka terhadap ide baru. Sebelumnya, penentuan kuwu berdasarkan garis keturunan,” kata Nurdin.
Dulu, kuwu pun bisa berkuasa belasan hingga 40 tahun lebih. ”Saat itu, pemilihan kuwu didasarkan pada akhlak, ilmu, dan tanggung jawabnya dengan batasan tahun,” ucapnya. Ketika masa kolonial, pemilihan kuwu yang sebelumnya harus mendapat restu sultan berganti restu Belanda. Pada masa ini pula, pemilihan mulai menggunakan kotak suara dari bambu dan surat suaranya adalah koin berbalut kain dengan warna tertentu sesuai kandidat kuwu.
”Satu yang tak berubah, menjadi kuwu jabatan politik bergengsi di desa. Mereka tak hanya mendapat jatah sawah, tetapi juga berhak mengatur desa. Meski sudah tidak menjabat, mereka tetap dipanggil kuwu,” ujar Nurdin.
Satu yang tak berubah, menjadi kuwu jabatan politik bergengsi di desa. Mereka tak hanya mendapat jatah sawah, tetapi juga berhak mengatur desa. Meski sudah tidak menjabat, mereka tetap dipanggil kuwu.
Diwarnai beragam kisah unik, pemilihan kuwu kini sudah usai. Sebanyak 176 kuwu terpilih bakal dilantik pada Desember 2019. Di Suranenggala Kulon, Kasmad kembali jadi kuwu. Namun, seperti sengketa pemilihan lainnya, perjalanan demokrasi masih panjang. Massa Casudi tidak terima dan menyiapkan pengacara karena menolak kuwu terpilih.
Namun, Sugiri (44), warga Suranenggala Kulon, tak mau larut dengan itu. Berkali-kali mencoblos, keluhannya tetap. ”Jembatan darurat dari kayu tak pernah diperbaiki. Kalau kemarau, sawah kering. Musim hujan, kebanjiran,” ucapnya.
Bukan tak mungkin, yang dialami Sugiri juga dirasakan warga puluhan ribu desa di Indonesia. Ketika akan menjadi kepala desa, si kandidat setengah mati memikat warga. Akan tetapi, ketika menjabat, warga tak kunjung sejahtera.