Mengatasi ketertinggalan tiga gol pada babak kedua bukanlah hal yang mustahil. Tim hanya butuh keberanian untuk bangkit seperti yang ditunjukkan Chelsea di Stamford Bridge.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·5 menit baca
LONDON, RABU — Pelatih Chelsea Frank Lampard merasakan malam tergila sepanjang kariernya sebagai pemain ataupun pelatih ketika timnya menahan imbang Ajax, 4-4, di Stadion Stamford Bridge, London, Rabu (6/11/2019) dini hari WIB. Ia tidak percaya para pemain mudanya bisa menunjukkan keberanian untuk bangkit ketika sudah tertinggal tiga gol.
Stamford Bridge malam itu menyajikan drama yang dimulai saat striker muda mereka, Tammy Abraham, melakukan gol bunuh diri ketika laga baru berjalan 2 menit. Kesalahan yang menjadi peringatan dari Ajax, sang tamu datang hanya untuk menyerang. Beruntung gelandang Chelsea, Jorginho, bisa menyamakan kedudukan menjadi 1-1 melalui tendangan penalti, 2 menit berikutnya.
Namun, Chelsea masih melakukan kesalahan yang membuat Ajax unggul 4-1 hingga menit ke-55. Tiga gol Ajax dicetak Quincy Promes, Donny van de Beek, dan gol bunuh diri kiper Chelsea, Kepa Arrizabalaga. Jika saja Lampard tidak memiliki skuad berisikan anak-anak muda yang berani, malam itu akan berakhir dengan kekalahan menyakitkan.
Tertinggal tiga gol, Chelsea justru semakin bernafsu membobol gawang Ajax. Spirit pantang menyerah tersebut akhirnya membuahkan gol yang berturut-turut dicetak Cesar Azpilicueta, Jorginho (penalti), dan Reece James. Chelsea batal menelan kekalahan dan berada di peringkat kedua klasemen Grup H dengan tujuh poin.
Dengan demikian, ada tiga klub yang mengantongi tujuh poin di Grup H, yaitu Chelsea, Ajax, dan Valencia, yang menekuk Lille, 4-1. Ajax unggul selisih gol sehingga berhak berada di puncak klasemen, dan Valencia berada di peringkat ketiga. Adapun Lille yang belum meraih kemenangan berada di dasar klasemen dengan 1 poin.
”Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Sebuah laga yang gila. Saya kira, kami di sini untuk menghibur dan siapa pun yang menonton pasti juga merasakan hal yang sama,” kata Lampard. Pelatih yang juga mantan pemain Chelsea itu bangga dengan sikap dan semangat yang ditunjukkan pemainnya malam itu. Jika bertahan dengan spirit yang sama, Lampard yakin timnya bisa melangkah lebih jauh pada musim ini.
Kisah epik malam itu sekali lagi membuktikan keberhasilan Lampard menyiasati sanksi larangan berbelanja pemain dari UEFA hingga akhir Januari 2020 karena kedapatan membeli pemain berusia di bawah 18 tahun. Setelah mendapat sanksi ini, Lampard kemudian memaksimalkan para pemain muda yang dibina di akademi. Mereka yang sempat dipinjamkan ke klub lain pun dipulangkan.
Keberhasilan Chelsea mengatasi ketertinggalan gol malam itu juga dipengaruhi drama lainnya, ketika dua pemain Ajax, Daley Blind dan Joel Veltman, diganjar kartu merah. Blind mendapat dua kartu kuning, sedangkan Veltman menyentuh bola dengan lengan di kotak penalti. Dua kartu merah dikeluarkan wasit dalam waktu 1 menit.
”Kami sebenarnya tampil luar biasa malam ini. Kami bisa mendikte permainan dan sempat unggul 4-1. Namun, kejadian 1 menit (dua kartu merah dari wasit) telah mengubah permainan,” kata Pelatih Ajax Erik ten Hag. Dua kartu merah yang membuat hasil menjadi imbang itu sangat ia sesali mengingat pada pertemuan pertama Chelsea mampu mengalahkan Ajax, 1-0.
Ten Hag pada musim ini berusaha menyamai, bahkan melebihi pencapaian musim lalu ketika mereka melaju hingga semifinal setelah menyingkirkan Real Madrid dan Juventus. Namun, tantangan musim ini lebih berat karena mereka tidak lagi diperkuat dua pemain kunci, yakni Matthijs de Ligt atau Frenkie de Jong.
Jika Ajax bisa kembali melangkah jauh musim ini, mereka membuktikan sebagai klub yang punya struktur kuat. Mereka tinggal mengisi kekosongan yang ditinggalkan De Jong dan De Ligt. Setidaknya mereka masih punya pemain seperti Van de Beek, Promes, dan Hakim Ziyech yang malam itu mencatat dua asis.
Keberanian Dortmund
Drama serupa terjadi pada laga Grup F di Stadion Signal Iduna Park ketika tuan rumah Borussia Dortmund mengalahkan Inter Milan, 3-2. Dortmund tertinggal dua gol, tetapi berbalik mencetak tiga gol dalam waktu kurang dari 30 menit pada babak kedua. Mereka tidak hanya berani mengatasi intimidasi Inter, tetapi juga berani menjawab keraguan publik.
Pada tiga laga kandang di Liga Champios sebelumnya, Dortmund tidak mampu mencetak satu gol pun saat menghadapi Club Brugge, Tottenham Hotspur, dan Barcelona. Adapun akhir Oktober mereka kalah 0-2 dari Inter di Stadion Giuseppe Meazza, Milan. Wajar jika banyak kalangan memprediksi Inter akan kembali menang di Signal Iduna Park.
Ketika Inter sudah unggul melalui gol Lautaro Martinez dan Matias Vecino, Dortmund masih memiliki pemain seperti Achraf Hakimi dan Julian Brandt. Hakimi mencetak dua gol dan Brandt mencetak satu gol. ”Saya rasa kami masih berada dalam masa perkembangan dan masih punya banyak kelemahan,” kata Brandt.
Dortmund tampil tidak konsisten di Liga Jerman sejak September, membuat pelatih mereka, Lucien Favre, terancam dipecat. Namun, mereka mulai kembali ke jalur kemenangan pada akhir Oktober.
Sebaliknya, laga ini membuat Pelatih Inter Antonio Conte berang karena merasa manajemen klub tidak memiliki perencanaan matang dalam membangun skuad. ”Kesalahan besar sudah terjadi pada tahap perencanaan. Kami tidak bisa tampil bagus di Liga Champions ataupun Serie A dengan skuad sekecil ini,” kata Conte.
Mantan pelatih Juventus dan Chelsea ini menilai para pemain seperti Stefano Sensi atau Nicolo Barella sudah bagus, tetapi kurang berpengalaman karena berasal dari klub kecil. Ia masih menginginkan pemain bintang yang sudah teruji di kompetisi-kompetisi besar. ”Saya lelah menyampaikan hal ini berulang-ulang,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)