Sekolah Ambruk di Pasuruan, Repetisi, dan Penurunan Kesadaran Antikorupsi
Belum juga beranjak mengurusi ”isi atau materi di dalam kelas”, tentang kurikulum dan pengembangan SDM, rupanya kita masih berkutat menyelesaikan fisik bangunan sekolah yang tak ada habisnya.
Ambruknya SDN Gentong, Kecamatan Gadingrejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur, pada Selasa (5/11/2019), mengusik nurani semua orang. Belum juga beranjak mengurusi ”isi atau materi di dalam kelas”, yaitu tentang kurikulum dan pengembangan SDM, rupanya kita masih berkutat menyelesaikan fisik bangunan sekolah yang tak ada habisnya.
Dua nyawa terenggut paksa dalam indiden di tengah proses belajar mengajar itu. Mereka adalah Selvyna Arsy Wijaya (19), guru pengganti yang saat itu mengajar kelas 5, serta Irza Almira (8), siswa kelas 2. Sejumlah siswa lain masih menjalani perawatan medis hingga saat ini. Atap ambruk berada di kelas 2A, 2B, 5A, dan 5B.
”Saya ingin kejadian ini tidak terjadi lagi. Saya berharap sekolah segera dibangun lagi, dengan kuat, dan anak saya bisa sekolah lagi,” kata Purwati (43), ibu dari siswa kelas 5B bernama Septian Dwi Budi Ramadhan, Rabu (06/11/2019). Saat itu, Purwati dan anaknya datang ke sekolah untuk mengambil barang-barang yang tertinggal.
Purwati datang awalnya untuk mengambil barang-barang yang masih tertinggal. Tapi, rupanya belum boleh karena masih harus menunggu perintah dari polisi. Ia pun sekalian mengajak anaknya melihat kondisi sekolah agar anaknya berani menghadapi kenyataan yang baru saja menimpanya.
Baca juga: Buntut Ambruknya Atap SDN Gentong, Keluarga Siswa Pulihkan Mental Anak
Pada hari H atap kelas ambruk, Septian berada di depan pintu kelas. Ia nyaris melangkah masuk untuk mengambil air minum karena saat itu ia sedang mengikuti jam pelajaran olahraga di halaman belakang.
Prasita, paman dari Nina, siswa kelas 2 SDN Gentong yang menjadi korban selamat, berharap tragedi itu tidak terjadi di tempat lain. ”Saya setuju kalau ada pengecekan kondisi sekolah-sekolah agar ada jaminan keamanan bagi siswa dalam belajar,” katanya.
Ungkapan Prasita itu merujuk pada pernyataan Pelaksana Tugas Wali Kota Pasuruan Raharto Teno, yang memastikan bahwa pemkot akan mengecek kondisi seluruh sekolah agar tidak mengalami tragedi serupa seperti SDN Gentong.
”Pemkot Pasuruan segera akan mengecek dan mengevaluasi kondisi semua sekolah di Kota Pasuruan. Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak terjadi di sekolah lain. Ini penting untuk mencegah kekhawatiran orangtua siswa melepas anaknya bersekolah,” katanya.
Baca juga : Atap SD Gentong Ambruk, Polisi Temukan Unsur Kelalaian
Atas peristiwa ambruknya atap kelas di SDN Gentong, polisi menyelidiki dugaan kelalaian dalam renovasi sekolah pada 2017 lalu. ”Kami melihat ada ketidaksesuaian rangka bangunan atap. Atap baru selesai direnovasi 2017, tapi sekarang sudah ambruk. Harusnya tidak ada masalah jika tidak ada spesifikasi yang salah,” kata Kepala Kepolisian Resor Pasuruan Kota Ajun Komisaris Besar Agus Sudaryatno.
Rekam jejak
Kekhawatiran orang tua siswa atas kualitas proyek pembangunan sekolah di Kota Pasuruan pun sangat beralasan. Sebab, Pemkot Pasuruan memiliki rekam jejak masalah terkait proyek pembangunan.
Baru 13 bulan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Wali Kota Pasuruan Setiyono bersama tiga orang lain, yaitu pelaksana harian Kepala Dinas Pekerjaan Umum Dwi Fitri, Staf Kelurahan Purutrejo Wahyu Tri Hardianto, serta rekanan swasta selaku pemberi suap yakni Muhammad Baqir.
KPK menemukan bukti bahwa Setiyono menggunakan tangan Dwi Fitri dan Wahyu untuk menerima uang suap dari Muhammad Baqir dalam proyek pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu-Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah tahun 2018 di Dinas Koperasi dan Usaha Mikro.
Baca: Cegah Tragedi Berulang, Pemkot Pasuruan Ancam Rekanan Nakal
Setiyono menerima suap proyek sebesar 5-10 persen dari nilai proyek Rp 2,2 miliar. Fee diterima karena wali kota yang terpilih sejak tahun 2016 itu melakukan plotting rekanan penerima proyek. Akibat tindakan menyalahi hukum itu, Setiyono divonis 6 tahun penjara pada Mei 2019.
Ditiru
Kasus suap (mantan) Wali Kota Setiyono mungkin tidak ada hubungannya langsung dengan ambruknya atap SDN Gentong. Namun, perilaku suap atau korupsi oleh pemimpin dalam menangani proyek pembangunan untuk rakyat tentu sedikit banyak akan memengaruhi mentalitas masyarakat. Bisa jadi hal itu ditiru, pun bisa jadi masyarakat semakin permisif (menganggap wajar) pada korupsi.
Kejadian sekolah ambruk bukan baru sekali ini terjadi di Tanah Air. Sudah berulang-ulang, dan korban terus saja berjatuhan.
”Kalau korupsi berlangsung terus menerus dan tanpa penegakan hukum, pasti akan timbul sikap permisif masyarakat. Yaitu, sesuatu yang tidak wajar namun seolah-olah menjadi realitas yang harus diterima sebagai kewajaran oleh masyarakat. Ini sangat berbahaya karena mengancam masa depan bangsa,” kata pakar hukum Universitas Brawijaya, Malang, Muchamad Ali Safa’at.
Baca juga : Bekas Kadis PUPR Kota Pasuruan Dihukum 5 Tahun Penjara
Ali Safa’at berharap, masyarakat tetap berpegang teguh pada kesadaran bahwa suap dan korupsi adalah hal buruk dan bukan hal wajar. ”Penguatan sikap antikorupsi pada masyarakat perlu terus dilakukan, dan di sisi lain, penegakan hukum pada koruptor juga harus terus ditegakkan. Kita semua harus mencegah masyarakat permisif terhadap korupsi,” katanya.
Kalau korupsi berlangsung terus menerus dan tanpa penegakan hukum, pasti akan timbul sikap permisif masyarakat.
Tindakan permisif masyarakat (menganggap wajar) terhadap perilaku korupsi di Tanah Air secara umum bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik mengenai Survei Perilaku Antikorupsi (SPAK) 2019.
Dalam Indeks Perilaku Antikorupsi 2019, BPS merilis adanya penurunan pemahaman dan penilaian masyarakat terhadap perilaku antikorupsi pada tahun 2019. Hal itu berkebalikan dengan tren sepanjang 2012-2018 di mana indeks persepsi masyarakat atas korupsi selalu naik (tampak dalam gambar di bawah).
Baca juga : Wali Kota Pasuruan Setiyono Dihukum Enam Tahun Penjara
Penurunan kesadaran
Penurunan persepsi di atas mengarah pada menurunnya kesadaran antikorupsi di masyarakat, baik dalam lingkup keluarga, komunitas, maupun publik.
Penurunan kesadaran antikorupsi di lingkup keluarga, misalnya, naiknya persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap istri yang menerima uang tambahan dari suami di luar penghasilan tanpa mempertanyakan asal-usul uang tersebut. Persentase itu meningkat dari 22,52 (tahun 2018) menjadi 25,56 (tahun 2019).
Penurunan kesadaran antikorupsi dalam komunitas, misalnya, naiknya persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap memberi uang/barang kepada tokoh masyarakat lain menjelang hari raya keagamaan. Persentasenya meningkat dari 39,93 (tahun 2018) menjadi 40,92 (tahun 2019).
Baca juga : Melawan Budaya Korupsi
Adapun contoh menurunnya kesadaran sikap antikorupsi di masyarakat dalam ruang publik, misalnya, meningkatnya persentase masyarakat yang menganggap wajar beberapa sikap yang dirasakan sebagai tindakan korupsi. Dibanding tahun 2018, peningkatan terbesar terjadi pada variabel memberi uang/barang dalam proses penerimaan menjadi pegawai negeri/swasta (tampak dalam tabel).
Mirisnya, pendidikan yang diharapkan menjadi pintu masuk kesadaran sikap antikorupsi di masyarakat masih saja ”diganggu” dengan dampak korupsi (sekolah ambruk). Tentu kita tidak ingin membayangkan sebuah lingkaran setan, yaitu sekolah ambruk karena anggaran dikorupsi, pendidikan antikorupsi terganggu, korupsi merajalela, masyarakat permisif, masa depan bangsa terancam.
Semua pihak harus bergerak memangkas lingkaran setan itu. Dan yang pasti, pekerjaan rumah untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim cukup banyak. Tidak saja merumuskan formula (kurikulum) pendidikan terbaik untuk mencetak generasi emas bangsa pada tahun 2045, tetapi juga tetap harus mengurusi fisik gedung sekolah yang terus ditemukan bermasalah dari waktu ke waktu.
Baca juga : Revolusi Pendidikan Nadiem