Kerja Keras demi Manis Semangka
Manis dan segarnya semangka di Pulau Jawa boleh jadi berasal dari petani Junti di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Selama puluhan tahun, mereka merantau, mencari lahan untuk ditinggali sementara dan ditanami semangka.
Manis dan segarnya semangka di Pulau Jawa boleh jadi berasal dari petani Junti di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Selama puluhan tahun, mereka merantau, mencari lahan untuk ditinggali sementara dan ditanami semangka. Ilmu tentang menanam semangka pun ditularkan kepada warga setempat. Tahun ini kesetiaan mereka diuji waktu.
Setelah hampir tiga bulan meninggalkan keluarga, Dedi (43) akhirnya kembali ke rumahnya di Desa Juntiweden, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, pertengahan September 2019. Hari-hari jauh dari istri dan anak serta hidup ala kadarnya tanpa televisi dan toilet sudah berlalu.
Pada Juli lalu, bapak tiga anak ini mulai tinggal di Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, sekitar 24 kilometer dari desanya. Meskipun tidak terlalu jauh, Dedi tidak bisa pergi pulang ke rumahnya. Sebagai petani semangka, ia harus tinggal di gubuknya yang berada di tengah sawah sewaan.
Tahun ini, di musim kemarau panjang, Dedi mendapat potongan harga. Untuk sawah seluas 2,1 hektar, ia hanya membayar Rp 2,2 juta selama musim tanam Juli-September. Nominal tersebut tergolong murah. Apabila pada musim hujan, harga sewa tanah bisa sampai Rp 4 juta per hektar.
Gubuk dengan rangka bambu itu beratap dan berdinding terpal. Alasnya berupa tanah, tetapi khusus tempat tidur dilapisi terpal dan kasur. Dalam gubuk berukuran 5 meter x 5 meter itu terselip elpiji kemasan 3 kilogram, beras, kompor, perlengkapan shalat, serta pupuk dan pestisida.
Ada pula kelambu untuk menghalau gigitan nyamuk. Ketika malam tiba, lampu yang terhubung dengan aki bersinar. Suara jangkrik juga mencuri perhatian di tengah sunyinya sawah. Kondisi serupa tampak di dua gubuk lainnya yang diisi tiga petani asal Junti—sebutan bagi warga Desa Juntiweden, Juntikebon, Juntikedokan, dan Juntinyuat. Semua perkakas diangkut dari rumah menggunakan sepeda motor roda tiga dengan bak terbuka di belakang.
”Syukurlah, di sini enggak ada ular,” ucapnya diiringi tawa.
Jika musim hujan, Dedi membawa ranjangnya ke gubuk untuk menghindari hewan melata tersebut. Garam juga ditabur di sekitar gubuk.
Untuk buang air kecil dan besar, ia membuat lubang di dekat gubuk. Di dekatnya ada kolam kecil berisi air yang diambil dari saluran irigasi sawah. Air keruh di kolam tanah itu digunakan untuk mencuci, mandi, dan sikat gigi.
”Enggak gatal, sudah biasa pakai air itu,” ucapnya.
Untuk minum, mereka membeli air galon. Maklum, minuman panas, seperti teh dan kopi, kerap disajikan kepada warga atau aparat desa yang berkunjung. Rokok dan obrolan ringan menjadi hiburan setelah pagi hingga sore sibuk memberi pupuk dan menyiram semangka.
Baca Juga : Nasi Kapau Merantau ke Nusantara
Rutinitas mereka dilakukan hampir tiga bulan, mulai dari menyiapkan lahan hingga memanen semangka di lahan sewaan. Dedi mengolah lahan 1 bahu (0,7 hektar) dengan modal tanam dan kebutuhan harian Rp 25 juta. Biaya terbesar untuk pembelian pupuk dan pestisida lebih dari Rp 10 juta. Semuanya lebih besar dibandingkan dengan modal menanam padi, total sekitar Rp 7 juta.
Sayangnya, panen kali ini Dedi merugi. Ia hanya memetik 4 ton semangka, jauh dari target 12 ton. Ia tidak tahu apa penyebabnya. Namun, sebagian besar semangka di lahannya rusak, berkerut, dan tidak tumbuh. Seperti jatuh tertimpa tangga, harga semangka juga hancur. Pembeli semangkanya yang datang langsung di lahan hanya menawar Rp 3.000 per kilogram saat awal panen, Agustus lalu.
”Padahal, biasanya harganya Rp 5.200 per kilogram. Saya rugi lebih dari Rp 12 juta,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya, pada bulan Agustus hingga Oktober harga semangka memang kerap jatuh karena produksi semangka melimpah. Tahun lalu saja, produksi semangka di Indramayu sebanyak 9.705 ton, meningkat dibandingkan pada 2016 ketika kemarau basah, yakni 3.507 ton.
Di sisi lain, belum ada pabrik yang mengolah semangka sehingga harganya bisa naik. Paling-paling semangka dijual di kios buah. ”Biasanya, harga bagus pada bulan lima. Namun, saat itu mencari lahan sulit karena semuanya dipakai untuk menanam padi,” kata Dedi.
Semangka memang melimpah ketika musim kemarau karena kebutuhan airnya tidak sebanyak padi. Jika tanaman padi harus diairi setiap hari, semangka hanya empat hari sekali. Genangan air justru membuat buah berair ini busuk.
Akan tetapi, Dedi mencoba berbesar hati. Harga dan rantai perdagangan semangka di luar kuasanya. ”Rugi itu biasa. Namanya juga usaha. Saya pernah rugi Rp 22 juta,” ucapnya.
Rugi itu biasa. Namanya juga usaha
Bagi ilmu
Petani semangka asal Junti memang terkenal pekerja keras. Dalam setahun, mereka bisa empat kali berganti lahan yang juga tempat tinggalnya. Mereka masih menerapkan hidup ladang berpindah atau nomaden karena masalah kesuburan tanah.
”Saya dapat istri saat menanam semangka di Baturaja (Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan). Saya ikut kakak yang kerja di sana,” lanjut Dedi yang lebih dari 20 tahun menanam semangka. Ia pernah bertani di Pekalongan dan Brebes, Jawa Tengah.
Kuwu (Kepala Desa) Juntinyuat, Warno, juga masih ingat, pada awal 1990-an ia naik truk membawa perlengkapan gubuk ke Brebes, Pekalongan, hingga Banten demi menanam semangka. ”Saya dulu bisa membeli motor karena semangka. Kerja di pabrik, mah, kalah. Saya jadi bos dengan dua anak buah saat menanam semangka,” kenangnya.
Bahkan, ketika menjabat kepala desa, Warno masih menanam semangka di Banten. Para petani semangka asal Juntinyuat harus merantau untuk berganti lahan. Mereka meyakini, semakin sering tanah ditanam semangka, hasilnya bakal menurun karena sudah terkontaminasi pupuk kimia.
”Kalau satu hektar lahan ditanami sekali, hasilnya bisa 25 ton. Akan tetapi, kalau sudah tiga kali, hanya 15 ton,” ungkapnya.
Baca Juga :
Selain itu, petani juga mencari harga sewa tanah yang murah. Ketika musim kemarau, misalnya, tanah di Kapetakan banyak disewakan dengan harga murah, bisa Rp 1 juta per hektar. Padahal, dalam setahun, biaya sewa lahan bisa di atas Rp 8 juta per hektar.
Akan tetapi, mereka tidak hanya meraup keuntungan dari tanah orang. Petani setempat kerap belajar cara bertani semangka. ”Kami ini ’penjajah’. Dulu, Brebes enggak banyak tanaman semangka. Gara-gara kami datang, warga di sana ikut menanam semangka,” katanya berkelakar.
Istilah ”penjajah” di sini bukan orang-orang yang datang ke suatu daerah lalu menyengsarakan warga setempat. Petani asal Juntinyuat biasanya mempekerjakan warga setempat untuk menanam semangka sekaligus menjadi wadah pembelajaran bagi petani lainnya. Apalagi, tidak sedikit petani padi menganggur saat musim kemarau.
”Saya mau belajar menanam semangka karena tidak membutuhkan banyak air. Kemarau ini, ada sekitar 100 hektar sawah di desa terlambat digarap karena tidak ada air. Ada juga yang gagal panen,” ujar Ma’muri (39), petani padi di Desa Dukuh.
Tidak ada yang tahu pasti kapan petani asal Kecamatan Juntinyuat mulai menanam semangka. Namun, warga Desa Juntikebon diyakini menjadi perintis. ”Kakek saya sudah bertani semangka. Dulu, waktu saya remaja, sekitar 80 persen orang desa bisa merantau untuk menanam semangka. Sekarang, paling hanya 20 persen dari 7.000-an warga,” kata Kuwu Juntikebon, Muhayan (50).
Kakek saya sudah bertani semangka. Dulu, waktu saya remaja, sekitar 80 persen orang desa bisa merantau untuk menanam semangka. Sekarang, paling hanya 20 persen dari 7.000-an warga. (Muhayan)
Berkurangnya petani semangka terjadi pada akhir 1990-an ketika muncul gelombang pekerja migran Indonesia (PMI). Orang menyebutnya ”Araban” karena warga berangkat ke Arab Saudi. Pekerja migran Indonesia menjelma contoh sukses karena warga yang pulang dari luar negeri bisa membangun rumah. Namun, ada juga yang pulang dengan sengsara atau bahkan tidak pernah kembali.
Padahal, bertani sangat erat dengan sejarah Juntikebon. Konon, Dampu Awang, pengusaha asal China, ingin sekali menikahi Ratu Junti yang berparas cantik. Namun, Nyi Junti mengajukan syarat. Siapa yang mampu menyentuhnya akan menjadi suaminya. Dampu Awang pun mengejarnya.
”Ketika hampir menyentuh Nyi Junti, ada kebun yang menghalangi. Sejak saat itu, daerah ini diberi nama Juntikebon,” ucap Muhayan, mengisahkan.
Budayawan Indramayu, Supali Kasim, yang lahir di Juntinyuat, menilai, tanah bagi masyarakat Junti adalah kehidupan. Itulah sebabnya orang Junti tidak akan menganggurkan tanah. Bahkan, mereka mencari lahan ke luar daerah untuk ditanami semangka.
Kerja keras tidak pernah berdusta. Kisah ”kengototan” orang-orang Junti menanam semangka di sejumlah daerah menjadi bukti. Keterbatasan ditembus dengan manis segar buah semangka.
Baca Juga : Basreng Eks Pekerja Migran