JakLingko mengintegrasikan Transjakarta dengan angkutan kota. Selain meluaskan jaringan Transjakarta, sistem ini juga memudahkan pengguna berpindah moda.
Oleh
Helena F Nababan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemprov DKI Jakarta tengah mengupayakan penambahan dan perluasan cakupan layanan angkutan umum. JakLingko, konsep yang mengintegrasikan berbagai moda, dinilai bisa menjadi cara memenuhi upaya itu.
Alvinsyah, pengamat Transportasi dari Universitas Indonesia dalam keterangan tertulis, Selasa (14/1/2020) malam, menjelaskan, secara ide dan konsep, JakLingko itu bagus. Intinya publik dipermudah untuk menggunakan angkutan umum dengan sistem transaksi terpadu dan dibuat murah.
Sejauh ini sistem JakLingko mengintegrasikan Transjakarta dengan angkutan kota. Selain meluaskan jaringan Transjakarta, sistem ini juga memudahkan pengguna berpindah moda.
Menurut Alvin, konsep ini harus didukung secara penuh. Konsekuensinya, cakupan layanan angkutan umum, jumlah armada ditambah, dan penumpang akan bertambah.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, menjelaskan, melalui JakLingko itu semua moda, baik yang berbasis jalan maupun rel, diintegrasikan. Itu akan membuat pergerakan penumpang berpindah dari moda satu ke moda lainnya lebih mudah.
Metode pembayaran
Yang juga tengah disiapkan, lanjut Syafrin, adalah metode pembayaran. Nantinya akan ada tarif gabungan beberapa moda (bundling). Saat ini, yang masih disiapkan adalah tarif bundling untuk moda berbasis jalan. Dengan tarif ini, ketika seorang penumpang naik bus kecil lalu berganti bus sedang atau bus besar dalam periode waktu yang ditetapkan, bisa membayar dengan tarif bundling. Itu akan lebih hemat dan menarik bagi pengguna.
Untuk mendukung keterjangkauan tarif angkutan umum hari ini, baik yang berbasis jalan maupun rel, Pemprov DKI menganggarkan subsidi penumpang (public service obligation/PSO).
Apabila dengan konsep JakLingko jangkauannya semakin luas, maka besaran PSO yang dianggarkan akan berubah seiring dinamika jumlah pelanggan.
Terkait dengan besaran PSO itu, lanjut Alvinsyah, sebenarnya tinggal dihitung secara cermat dan dengan data yang sahih berbasiskan keseimbangan permintaan dan penawaran. Pertama, dihitung dulu tarif komersial atau tarif yang tidak memerlukan PSO. Setelah itu dikaji kerelaan/kemauan bayar pengguna untuk layanan yang ditawarkan. Dari perbandingan tarif komersial dengan kemauan bayar, pemerintah menetapkan tarif untuk publik dan selisihnya menjadi besaran PSO.
jika proses ini dilakukan, seharusnya tidak ada pernyataan mengenai PSO yang terlalu besar. Itu karena semuanya berbasis analisis yang terukur.