Generasi muda Tionghoa ikut bergembira meramaikan Tahun Baru China atau Imlek. Di hari istimewa itu, mereka selalu mengingat tentang tradisi turun-temurun yang dilakukan sebelum dan saat Imlek tiba.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI/SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Imlek yang dinanti warga Tionghoa akhirnya tiba. Kegembiraan menyambut hari istimewa ini menghinggap di kalangan kaum muda. Paula (19), yang menempuh pendidikan di Taiwan, akhirnya bisa pulang dan bertemu dengan sanak saudara di Indonesia. Rindu pun akhirnya bisa ia bayar tuntas.
”Sin Cia (Imlek) itu menyenangkan banget. Ini jadi ajang berkumpul dengan keluarga besar yang jarang ditemui,” katanya saat ditemui di Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/1/2020).
Sembari menanti Imlek tiba, ia teringat tradisi yang mengakar di keluarganya, yaitu pantang membersihkan rumah saat perayaan Imlek. Di hari istimewa ini, rezeki dan nasib baik bisa ikut tersapu jika rumah dibersihkan pada hari itu.
Rani (19) pun sependapat. Dia dan keluarganya membersihkan rumah sebelum Imlek tiba. Ia tahu tradisi ini sejak dulu dengan keyakinan yang sama, yaitu menjaga rezeki tetap mengalir di rumahnya sepanjang tahun.
Mahasiswa desain komunikasi visual ini juga memangkas rambut sebelum Imlek tiba. Tradisi ini menyimbolkan keinginan untuk membuang kesialan pada tahun sebelumnya. Seperti halnya bersih-bersih rumah, potong rambut tidak boleh dilakukan saat hari raya. Sebab, itu sama artinya dengan memangkas rezeki pada tahun mendatang.
Sembahyang menjelang Imlek setiap tahun masih ia lakukan. Sembahyang pada umumnya dilakukan di wihara dan kelenteng. Ritual sembahyang termasuk antara lain membakar hio dan menyalakan lilin.
Di tengah banyaknya tradisi yang dijalani, salah satu tradisi kesukaannya adalah jamuan malam sebelum Imlek. Jamuan ini biasanya dihadiri oleh keluarga dekat dengan beragam hidangan. Salah satu hidangan yang ia nantikan adalah olahan daging babi yang dimasak dengan bumbu kecap. ”Tradisi-tradisi ini aku jalani sejak kecil karena disuruh oleh keluarga. Aku tidak pernah bertanya kenapa ini harus dilakukan. Tapi, keluarga selalu memberi tahu makna di balik tradisi ini,” kata Rani.
Warga Jakarta, Robert (19), juga menjalani tradisi Imlek sejak ia masih anak-anak. Tradisi tersebut diturunkan oleh orangtuanya dan melekat dalam ingatannya hingga sekarang.
Ia mengaku menjalani tradisi hanya karena terbiasa. Ia tidak pernah bertanya lebih lanjut asal-usul dan makna tradisi yang ia jalani. Kendati demikian, ia berniat meneruskan tradisi ini kepada anak-anaknya kelak. ”Aku terima saja tradisinya karena sudah terbiasa dilakukan dari dulu,” katanya.
Cerita berbeda dilontarkan warga Jakarta lain, Claudya (23). Ia merayakan Imlek, tetapi tidak menjalani tradisinya. Ia memaknai Imlek sebagai waktu bagi keluarga besar berkumpul bersama dan melepas rindu.
Walaupun tidak melakukan tradisi, ia mengakui pentingnya menjaga tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh warga keturunan Tiongoa dan penganut Khonghucu tersebut. Sebab, tradisi itu merekatkan keluarga yang jauh dan ”memaksa” mereka untuk bertemu setidaknya sekali dalam setahun. ”Aku memaknai Imlek sebagai sarana bagi keluarga untuk berkumpul. Selain itu, Imlek juga mengajarkan tentang rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Sebab, acara kumpul keluarga biasanya dilakukan di rumah anggota keluarga tertua,” kata Claudya.
Budayawan Tionghoa dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia Aji Chen Bromokusumo mengatakan, tidak semua generasi muda (milenial dan Generasi Z) menghayati tradisi Imlek. Hal ini tidak ia pandang sebagai masalah selama tradisi masih diajarkan oleh orangtua.
”Berkurangnya penghayatan atas tradisi tidak hanya terjadi buat orang Tionghoa, tapi juga di budaya-budaya lain. Ini bukan masalah selama budaya masih dirawat dan dilestarikan. Perkara apakah tradisi mau diteruskan ke anak mereka atau tidak, ya, itu adalah keputusan tiap-tiap individu,” kata Aji, di Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Aji mengatakan, tradisi yang dijalankan sejak belia akan terekam dalam memori tiap-tiap orang hingga ia beranjak dewasa. Ingatan tersebut kemudian membentuk memori kolektif terhadap Imlek. Pada akhirnya, memori kolektiflah yang mendorong masyarakat untuk menghidupkan lagi perayaan Imlek yang ia jalani semasa kecil.
Mengikisnya penghayatan generasi muda terhadap tradisi ia nilai sebagai konsekuensi dari paparan kemajuan global. Teknologi membuka cakrawala baru bagi anak muda terhadap banyak hal. Dunia mereka pun semakin luas dan tak terbatas oleh sekat budaya.
Ia menambahkan, tradisi Imlek akan terus berevolusi seiring berjalannya waktu. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berpadu dengan memori seseorang akan Imlek. ”Bayangkan ada warga keturunan Tionghoa yang merantau ke luar negeri. Ingatan mereka terhadap Imlek akan bangkit saat perayaan di negara tersebut. Dalam hal ini, pertukaran budaya pasti terjadi sehingga pemahaman baru terhadap Imlek akan terbentuk,” kata Aji.
Tradisi Imlek boleh jadi tidak dihayati makna dan filosofinya oleh generasi baru. Namun, tradisi tersebut mengajarkan banyak hal secara implisit. Sebagai contoh, tradisi berkunjung ke tetua di keluarga mengajarkan anak muda untuk menghormati orangtua. Hal ini juga mengajarkan pentingnya menjaga tali silaturahmi antaranggota keluarga.
Adapun tradisi memberi angpau kepada keluarga yang belum menikah pun bermakna baik. Artinya, anak muda dibantu untuk meraih masa depan yang lebih baik dengan uang yang tersimpan di dalam amplop merah tersebut. Tradisi ini bisa dibilang sangat dinanti oleh anak-anak muda.
Imlek bukan hanya acara tahunan yang dipenuhi aroma dupa dan meriahnya atraksi barongsai. Imlek mengingatkan kita akan pentingnya merawat dan mewujudkan memori kolektif. Tradisi adalah pupuk bagi memori tersebut.