Warga Ibu Kota dikejutkan dengan kasus prostitusi anak di apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Kasus hukum ini menambah panjang kisah serupa yang pernah terjadi di hunian bertingkat itu.
Oleh
Aditya Diveranta/Ayu Pratiwi/Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
Aisyah (28) bergegas menjemput anaknya dari sekolah agar pulang ke apartemen selepas maghrib, Rabu (29/1/2020). Langkah itu didorong rasa oleh khawatir sebagai penghuni apartemen Kalibata City yang sedang jadi sorotan publik karena kasus prostitusi anak. Penangkapan kasus tersebut meresahkan ibu dua anak itu dan sebagian penghuni lain.
Kasus prostitusi anak di apartemen itu terungkap saat Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Selatan mengungkap kasus ini pada Minggu (26/1/2020). Temuan polisi, tersangka pelaku kejahatan prostitusi daring bersembunyi di apartemen itu. Empat dari enam tersangka yang ditangkap adalah anak berusia di bawah 18 tahun.
Para tersangka juga diketahui telah beraksi di apartemen sejak November 2019. ”Saya enggak kaget dengan kasus semacam itu karena bukan yang pertama kali. Meski bukan pertama kali, kita sebagai penghuni juga sedikit khawatir,” ucap Aisyah.
Aisyah dan sejumlah penghuni lama memahami tindak kriminalitas di Kalibata City seakan menjadi fenomena yang maklum. Sebelum kasus ini, Aisyah mengingat prostitusi serupa juga terjadi pada Agustus 2018 melalui aplikasi percakapan di ponsel. Sementara pada Januari 2018, praktik prostitusi bermodus pijat plus-plus juga diungkap di sana (Kompas, 26/1/2018).
Terlepas dari praktik prostitusi, Yudhistira (28), penghuni lain, mengakui kasus kejahatan di Kalibata City ada bermacam bentuk. Sepanjang dia tinggal di sana, kasus hukum yang pernah terjadi, di antaranya pembunuhan, pesta narkoba, dan pesta seks sejenis. Kita pun mengingat kasus pembunuhan perempuan bernama Holly Angela pernah menjadi sorotan di sana (Kompas, 2/10/2013).
Menurut lelaki Jakarta itu, serangkaian kejahatan di apartemen tersebut tidak lepas dari sistem pengamanan di sana yang longgar. ”Di sini lebih bebas, tidak seperti apartemen lain. Orang luar (bukan penghuni) bebas masuk ke apartemen. Sering lolos, tidak ditanya oleh petugas keamanan,” kata Yudhistira yang bekerja di salah satu badan usaha milik negara.
Kompas pun mencoba menelusuri kawasan apartemen sekitar pukul 20.00. Riuh rendah suasana kerap melonggarkan pengawasan petugas, terutama saat malam hari. Pintu dan lift yang menggunakan kartu akses bisa dilewati saat masuk berbarengan dengan penghuni lain.
Di areal pintu akses menuju apartemen, ada peringatan agar tamu wajib melapor ke petugas keamanan. Meski begitu, setiap orang bebas berlalu-lalang menuju lift apartemen.
Apartemen Kalibata yang tinggi peminat juga kerap membuat pergantian penghuni begitu cepat. Menurut pengamatan pria lajang ini, sebagian besar penghuni bukan lagi pemilik apartemen, melainkan kalangan penyewa. Sebagian hunian juga banyak yang laku dengan disewakan secara harian. Sementara para pemilik lebih banyak tidak tahu apa yang dilakukan penyewa ketika tinggal di sana.
”Ibu saya pernah memasang jasa sewa hunian di tempat ini. Tidak lama setelah memasang pengumuman itu, banyak yang menghubungi. Mereka mulai dari penyewa dalam durasi jam, harian, mingguan, hingga bulanan,” kata Yudhistira. Penghuni pun beragam, kadang ia mendengar orang ramai menyanyi di unitnya, di unit lain dia mendengar orang mengaji.
General Manager Kalibata City Ishak Lopung mengatakan, kasus kejahatan rentan terjadi pada hunian yang disewa harian. Pengelola sebenarnya tidak menganjurkan persewaan secara harian lantaran sulitnya melacak rekam jejak aktivitas orang yang menghuni suatu unit.
”Kami sebenarnya menganjurkan waktu sewa hunian paling singkat sedikitnya tiga bulan dan melalui broker (perantara) yang bermitra dengan pengelola. Namun, secara praktik, banyak sewa harian yang dilakukan tanpa berkoordinasi dengan pengelola. Padahal, aktivitas hunian dapat terlacak jika berkoordinasi dengan pengelola," ujarnya.
Pengamat perkotaan dari Universitas Tarumanegara, Suryono Herlambang, berpendapat, kriminalitas yang terjadi di Kalibata City menandakan pengelola luput dalam memeriksa agen penyewaan hunian. Di satu sisi, pemilik unit apartemen juga tidak memeriksa penghuni yang menyewa apartemen. ”Control management yang longgar menjadi titik rawan terjadinya tindakan kriminal, termasuk prostitusi, narkoba, pembunuhan, dan bunuh diri,” ujarnya.
Bagaimanapun kriminalitas yang terjadi di apartemen semestinya menjadi tamparan keras bagi pengelola. Menurut Suryono, pengelola dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal dalam menyediakan hunian yang aman di pusat kota.
Kawasan apartemen yang rentan kriminalitas butuh pengamanan dan pembinaan. Ia menyebut hunian rumah susun milik tak ubahnya hidup di kompleks perumahan, tetapi dalam konsep vertikal. Di dalam hunian vertikal pun ada asosiasi pengurus hunian yang membutuhkan partisipasi warga.
Sikap kepedulian terhadap wilayah sekitar juga mesti dimiliki setiap penghuni. Dadang Sudiadi dalam Pencegahan Kejahatan di Perumahan (2015) menyatakan, pencegahan tindak kejahatan dapat dilakukan dengan membangun kepedulian antar-masyarakat di wilayah hunian. Dalam hal ini, Dadang mensyaratkan kohesi masyarakat di suatu wilayah harus sudah terbangun dengan kuat.
Peran pengelola untuk menjaga kawasan juga tetap menjadi yang paling penting. Ishak menyampaikan, manajemen pengelola dalam waktu dekat akan mendata kembali penghuni apartemen dan agen broker penyewa hunian. Dengan pendataan tersebut, aktivitas penghuni dan agen penyewa akan terdata.
”Pengelola secara rutin mendata penghuni dan agen broker penyewa hunian sedikitnya empat bulan sekali. Dari pendataan ini, kami akan tegas menyikapi penghuni yang tidak jelas asal-usulnya. Kami akan menghubungi pemilik hunian satu per satu dalam waktu dekat,” jelas Ishak.