Kar Tidak Tahu Putrinya Diperdagangkan di Jakarta
Tiga hari sudah N (16) tidak mengirimkan kabar kepada keluarganya. Perempuan asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, itu merantau ke Ibu Kota sebagai pengasuh anak. Belakangan, N menjadi korban perdagangan anak.
Tiga hari sudah N (16) tidak mengirimkan kabar kepada keluarganya. Perempuan asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, itu merantau ke Ibu Kota sebagai pengasuh anak. Belakangan, polisi menemukan N bersama delapan perempuan lainnya menjadi korban perdagangan anak.
Siang itu, Sabtu (15/2/2020), permukiman Desa Kroya, Kecamatan Kroya, Indramayu, tampak sepi. Sebagian besar warga sedang menanam padi di sawah. Begitu pun Kar (40) dan Ul (36), orangtua N. Keduanya menyibukkan diri agar tidak mencemaskan anaknya yang berhari-hari tanpa kabar.
”Sekitar tiga hari lalu dia (N) nelepon ke ibunya. Katanya, lagi sibuk ngasuh anak,” ucap Kar mengisahkan percakapan terbaru dengan sang anak. Keluarga belum menghubungi N karena khawatir bakal mengganggu pekerjaannya. Mengasuh anak tidak mengenal waktu pagi atau malam.
Lagi pula, N memang tidak setiap hari memberi info. Bahkan, pernah sebulan ia tidak mengontak orangtuanya. ”Eh, ternyata, hp-nya ditahan majikan. Jadi, kalau enggak ada kabar sebulan, nanti saya coba kontak teman di Jakarta untuk cari dia lagi,” ungkap Kar yang mengaku punya teman-teman preman di sana.
Keluarga tidak tahu alamat, yayasan, dan nama majikan tempat N bekerja. Menurut Kar, N pergi sejak Desember 2019 untuk menjadi pengasuh anak di Jakarta. Sebelum berangkat, N menerima sejumlah uang tunai dari yayasan sebagai ongkos transportasi yang akan dibayar dengan potongan gajinya.
”Bukan saya yang suruh dia ke sana. Katanya, bosan di kampung dan malas kerja di sawah,” ujar bapak dua anak ini. Kar juga sempat merantau ke Bandung dan Jakarta selama delapan tahun. Begitu pun dengan istrinya yang pernah memilih meninggalkan desa untuk menjadi asisten rumah tangga di Jakarta.
Desa Kroya berjarak sekitar 41 kilometer dari pusat pemerintahan Indramayu. Dari jalur pantura Losarang, desa itu dapat diakses melalui jalan aspal dan hotmix sekitar 28 kilometer. Jalan berbatu dan berlubang tersebar di beberapa titik.
Tidak ada pabrik besar, hanya pabrik penggilingan padi dan peternakan ayam. Sebenarnya ada komoditas kayu putih. Namun, warga tidak mengelolanya meski sempat menanamnya. Hidup warga pun bergantung pada hasil sawah. Kar, misalnya, menyewa lahan Perhutani seperempat hektar dengan biaya murah, Rp 100.000 per tahun.
Baca juga: Anak Indonesia ”Gagal” Dilindungi
Namun, lokasinya menanjak dengan jalan tanah. Jika hujan, ia terpaksa jalan kaki selama setengah jam karena jalanan becek. Ia juga mengeluarkan Rp 500.000 untuk membuat sumur pantek karena tak ada irigasi di sana. Tanpa itu, petani hanya tanam sekali setahun. Ketika kemarau, tidak sedikit lahan yang puso.
Harga panen juga di bawah rata-rata karena terkendala akses. Ketika harga gabah kering giling di Indramayu mencapai Rp 5.700 per kilogram, misalnya, di desanya bertahan sekitar Rp 5.000 per kg. Kar yang menjual gabah basah pun hanya meraup Rp 4.500 per kg. Ia harus segera mendapatkan uang untuk modal tanam selanjutnya sekitar Rp 2 juta.
Lagi pula, ia tak punya halaman rumah untuk menjemur gabah. Rumahnya yang berukuran 8 meter x 6 m saja belum tuntas dibangun. Dindingnya masih berupa tumpukan bata, pasir, dan semen. Lantainya tak berkeramik. Tempat tidurnya ditopang bambu. Kamar mandi tak beratap dan hanya berdinding spanduk serta terpal bekas.
Putus sekolah
Itu sebabnya, Kar paham pilihan anaknya merantau ke Jakarta. Modal ijazah sekolah dasar dan surat keterangan kependudukan karena kartu tanda penduduknya belum jadi berbulan-bulan.
”Dia lulusan SMP, tetapi ijazahnya belum diambil karena masih ada tagihan bimbingan belajar di sekolahnya. Dia juga enggak mau lanjut SMA karena takut membebani orangtua,” kata pria lulusan SD ini.
Setelah tamat SMP dua tahun lalu, N langsung bekerja ke Jakarta bersama temannya. Kepada keluarga, N mengaku menjadi pengasuh anak dengan upah Rp 2 juta per bulan. Tahun lalu, ketika usianya masih 15 tahun, N menikah dengan seorang nelayan dari Kandanghaur, tetangga Kecamatan Kroya.
Pernikahan tak mampu melepasnya dari jerat kemiskinan. Pada Desember 2019, N kembali merantau ke Ibu Kota. Sebelum mendapatkan majikan, N sempat berada di penampungan. ”Di sana diajarin mengasuh anak. Temannya banyak. Ada sekitar 30 orang,” katanya.
Kini Kar berharap N sehat dan baik-baik saja meski belum ada kabar. ”Kalau di kota itu hidup keras. Salah selangkah saja bisa bahaya. Enggak kayak di kampung, banyak yang bisa bantuin,” ujarnya.
Sayangnya, Kar belum menerima informasi dari polisi bahwa anaknya salah satu dari sembilan korban perdagangan anak. Anak berusia 14-16 tahun ini dijadikan pekerja seks komersial (PSK) selama enam bulan terakhir di salah satu tempat hiburan malam di Jakarta pusat.
Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menangkap lima tersangka, yakni MC (35) dan SR (33) sebagai perekrut dan mucikari, RT (30) dan SP (36) sebagai pengawas, dan pengawas dancer ND (21). Polisi juga mengungkap pemalsuan dokumen kependudukan korban.
Baca juga: Sembilan Anak Jadi Korban Perdagangan Manusia di Jakarta Utara
Baca juga: Sepuluh Anak Korban Prostitusi Terinfeksi Radang Serviks
”Para korban ini direkrut dari kampung (Indramayu) dengan dijanjikan bekerja sebagai pendamping karaoke. Orangtua korban diiming-imingi uang dengan nilai cukup tinggi, bisa sampai Rp 20 juta,” ujar Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi, Senin (Kompas, 11/2/2020).
Bendahara Desa Kroya Warsono tidak mengetahui kasus yang menimpa N. Namun, ia mengakui bahwa sekitar 25 persen dari sekitar 6.000 warga desa untuk kerja di pabrik atau menjual gorengan.
”Pak Kuwu (Kepala Desa Rasman) enggak mau kasih izin kerja kalau di bawah 17 tahun. Belum pernah ada kasus perdagangan anak di sini. Tapi, pernah ada dua perempuan usia 30-an tahun bekerja di luar negeri dan belum pulang sampai sekarang,” paparnya.
Sebaliknya, konselor HIV Terpadu Yayasan Kusuma Bongas, Indramayu, Sulistiani Andan Dewi, menilai, kasus perdagangan anak di wilayah Indramayu bagian barat acap kali terjadi. Di Bongas yang merupakan tetangga Kroya saja, pihaknya mencatat 32 anak dan orang dewasa yang menjadi korban perdagangan manusia pada 2016-2018.
Apalagi, di perbatasan Kroya dan Haurgeulis terdapat lokalisasi Cilegeh Indah yang beroperasi sejak puluhan tahun lalu. Lokasinya bercampur dengan permukiman warga, kafe, dan kontrakan. PSK di sana umumnya berumur 25 sampai lebih dari 30 tahun.
”Kalau yang muda-muda targetnya (kerja) ke Jakarta. Setelah tereksploitasi, anak-anak ini merasa telanjur ’kotor’ dan akhirnya balik lagi (menjadi PSK),” ungkap Dewi.
Padahal, menurut dia, siklus eksploitasi anak dapat diputus dengan mengedukasi orangtua agar tidak termakan iming-iming mempekerjakan anaknya tanpa kejelasan. ”Pemerintah desa bisa membuat regulasi perlindungan anak, seperti tidak menikah dini. Dana desa juga harus memberdayakan warga,” ungkapnya.
Kini, Indramayu barat bakal berubah seiring masuknya industri di Subang dengan kehadiran Pelabuhan Patimban. Kroya juga diusulkan menjadi ibu kota jika pemekaran Kabupaten Indramayu Barat disetujui pemerintah. Apakah berbagai kondisi itu bakal meruntuhkan rantai perdagangan anak di sana? Kar sama sekali tak tahu. Begitu pun dengan kabar anaknya.