Di Balik Gemerlap Malam Jakarta
Tempat hiburan malam yang menyediakan prostitusi masih marak. Tanpa pengawasan yang intensif, anak di bawah umur berpotensi dijerumuskan dalam praktik kotor itu. Penegakan hukum lemah di urusan perlindungan anak.
Jakarta kota yang tak pernah tidur. Keriuhan tak hanya kasatmata terlihat di jalanan yang tetap ramai dari pagi berjumpa pagi. Sebab, di balik yang kasatmata, ada kemeriahan lain yang siap menyambut saat malam tiba.
Sebuah hotel berbintang di kawasan Jakarta Pusat menjadi penyambut saat malam tiba. Tempat itu menawarkan sejuta fantasi bagi pengunjung yang menyukai dunia malam.
Kamis (13/2/2020), saat tiba di depan hotel itu, tak ada aktivitas menonjol. Bahkan, saat sudah berada di area parkir, situasi masih normal layaknya tempat penginapan pada umumnya. Sejumlah petugas keamanan yang berjaga di area parkir itu juga tidak tahu ketika ditanya tentang keberadaan klub malam di tempat tersebut.
Informasi tentang hiburan malam di hotel itu hanya menyebar dari mulut ke mulut. Tanpa bantuan orang yang sudah mengenal baik tempat tersebut, rasa penasaran untuk menjadi bagian dari penikmat dunia malam Jakarta seperti mitos yang belum tentu benar.
Klub malam tersebut berada di lantai dua. Saat tiba di lantai itu, musik mulai sayup-sayup terdengar. Di pintu masuk, ada dua petugas keamanan bertubuh kekar menyambut dan memeriksa setiap pengunjung. Melewati pemeriksaan petugas, sejumlah pelayan perempuan memberikan gelang yang sudah tertulis nomor yang menjadi identitas pengunjung selama berada di klub malam itu.
Baca juga: Sembilan Anak Jadi Korban Perdagangan Manusia di Jakarta Utara
Saat berada di dalam klub yang berbentuk bundar itu, penerangan sangat minim. Hanya kelap-kelip lampu yang sesekali menyorot mengelilingi ruangan itu.
Di dalam klub itu, ratusan kursi dan meja dari besi tampak tertata berbentuk bundar. Satu bundar meja dilingkari tiga kursi yang sudah diatur agar hanya berputar tanpa bisa digeser.
Suasana malam itu cukup ramai. Pengunjung masing-masing sibuk dengan kesenangannya. Ada yang datang bersama kerabat sembari duduk meneguk minuman keras. Ada sebagian yang asyik mengobrol dan bermesraan dengan sejumlah perempuan muda berpakaian minim.
Meski kursi dan meja ditata berdekatan, sulit mendengar obrolan tiap pengunjung. Dentuman musik di ruangan itu sangat keras memekakkan telinga sehingga berbincang dengan teman sendiri pun harus dalam jarak yang sangat dekat.
Di salah satu sudut gedung itu terdapat sekitar 10 perempuan penari striptis yang tak henti-henti menari. Berbusana minim dan transparan didukung pencahayaan yang diatur lebih terang, mereka semringah melenggak-lenggokkan tubuh. Sesekali ada pengunjung yang mendekati mereka dan menyerahkan sejumlah lembaran uang. Situasi itu terus berlangsung hingga kemeriahan di sana berakhir pada pukul 03.00.
Baca juga: Berawal dari Laporan Hilang, Polisi Bongkar Prostitusi Anak
Di dalam ruang itu, ada juga sejumlah perempuan yang mondar-mandir mendekati pengunjung. Mereka menawarkan perempuan-perempuan untuk menemani menikmati minuman keras atau lebih dari itu, yakni memenuhi hasrat seksual pelanggan.
”Mau ditemani cewek? Saya panggil, ngobrol aja dulu,” kata perempuan yang berusia sekitar 30 tahun.
Jika ada pengunjung yang sepakat, ia segera bergegas pergi dan keluar dari klub yang memiliki banyak pintu itu. Tak lama kemudian ia kembali lagi membawa perempuan-perempuan muda berpakaian minim.
Jumlah mereka yang bertugas menawarkan perempuan-perempuan muda sekitar lima orang. Setiap perempuan yang mereka bawa juga memiliki kekhasan karena rata-rata memiliki busana pakaian dengan warna berbeda.
Baca juga: Kasus Prostitusi di Kalibata City Terjadi pada Hunian Sewa Harian
Dari perempuan berusia 30 tahun itu, dikenalkan seorang perempuan muda bernama Isna yang mengaku berusia 20 tahun. Ia sudah bekerja di sana selama dua minggu.
Pekerjaan yang dia lakukan, yakni menemani pengunjung menikmati minuman keras hingga berlanjut melayani pengunjung sebagai pekerja seks komersial (PSK). Dari jasa itu, Isna dibayar Rp 365.000. Namun, dari jumlah itu, uang yang didapatkan Isna hanya Rp 105.000 per pengunjung.
Meski tak banyak informasi yang bisa digali, Isna mengaku kebutuhan ekonomi yang memaksanya memilih pekerjaan itu. Ia juga sama sekali tak bahagia bekerja di sana di tengah kebahagiaan pengunjung.
”Pahit, enggak ada enaknya,” kata Isna ketika ditanyai tentang perasaannya bekerja di sana.
Perempuan berbusana hitam itu kemudian berlalu begitu saja ketika ditanyai tentang pasangan hidup dan rencananya di masa depan. Mereka tidak akan berlama-lama berbicara dengan pengunjung selama belum ada kesepakatan terkait harga atau biaya untuk mendampingi pengunjung.
Sekitar dua jam di sana, Kamis (13/2/2020) dari pukul 00.00 sampai 02.00, transaksi antara penyedia jasa perempuan muda dan pengunjung terus berlangsung. Setelah sepakat, para perempuan muda itu ada yang duduk menemani pengunjung menikmati minuman keras. Ada pula yang berangkulan meninggalkan tempat itu.
Baca juga: Polisi Kembali Tangkap Dua Tersangka Kasus Perdagangan Anak dan Prostitusi
Di dalam ruang itu, ada juga beberapa petugas keamanan mondar-mandir menggotong pengunjung atau para perempuan muda yang sudah tak sadarkan diri akibat pengaruh alkohol.
Prostitusi anak
Tempat itu diduga kuat digunakan untuk memperjualbelikan sembilan anak di bawah umur asal Indramayu, Jawa Barat. Sebelum Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menggerebek satu apartemen di Kelapa Gading, Jakarta Utara, 6 Februari 2020, sembilan anak itu setiap malam dipekerjakan untuk melayani pengunjung di tempat hiburan malam di Jakarta Pusat.
Anak-anak itu dipaksa menjadi penari striptis dan lanjut melayani hasrat seksual pelanggan. Tarif yang dipatok untuk pelanggan sebesar Rp 380.000. Dari angka itu, sembilan anak tersebut mendapat jatah Rp 105.000 per pelanggan.
Kepala Polisi Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi saat konferensi pers, Rabu (12/2/2020), di Jakarta Utara, mengatakan, anak-anak itu tak hanya dieksploitasi secara seksual, tetapi juga secara ekonomi.
”Mereka setiap bulan dibebankan untuk menjual 50 voucer (melayani 50 pelanggan). Jika target itu tidak tercapai, mereka didenda Rp 1 juta,” katanya.
Menurut Budhi, angka tersebut sulit dicapai sembilan anak itu sehingga pendapatan mereka selalu minus setiap bulan. Mereka juga harus melunasi utang saat direkrut dari kampung.
Sebab, perekrut ketika mendatangi anak-anak itu di Indramayu, mereka menyerahkan sejumlah uang dengan jumlah paling tinggi Rp 20 juta. Uang tersebut kemudian dihitung sebagai utang yang harus dilunasi anak-anak itu setelah bekerja.
Baca juga:Polisi Kembali Bongkar Prostitusi Anak di Jakarta Utara
Sulit diberantas
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama kurun waktu Januari-Februari 2020, total ada 60 anak di seluruh Indonesia jadi korban eksploitasi. Ada sekitar 40 anak yang dijerumuskan dalam praktik prostitusi. Ironisnya, 10 dari 60 anak itu kini terinfeksi radang serviks yang diduga kuat akibat prostitusi anak.
Koordinator Ending The Sexual Exploitation of Children (ECPTA) Indonesia, Ahmad Sofian, mengatakan, prostitusi anak di Indonesia masih sulit diberantas. Situasi ini tidak terlepas dari permintaan terhadap anak secara global untuk kebutuhan seks yang terus meningkat.
”Sayangnya di negara berkembang, salah satunya di Indonesia, penanganan masalah ini masih minim, bahkan bukan jadi skala prioritas,” katanya, Minggu (16/2/2020), di Jakarta.
Ahmad mengatakan, praktik prostitusi masih sulit diberantas karena ada anggapan tak benar bahwa anak-anak yang masuk ke jeratan prostitusi akibat kehendak mereka sendiri. Prostitusi anak yang muncul di kota besar juga dinilai sebagai dampak dari kecenderungan manusia di era modern yang hidup hedonis, materialis, dan berkembangnya industri hiburan dan pariwisata.
Baca juga: Hari Anak Nasional 2019: Momentum bagi Anak Indonesia untuk Bergembira
Menurut Ahmad, persoalan utama anak terlibat prostitusi tak semata-mata karena kemiskinan. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memutus mata rantai permintaan terhadap anak.
”Tidak penting mempertimbangkan apakah anak setuju atau tidak setuju masuk ke dalam pasar seks itu. Yang harus dilakukan adalah menghentikan orang tidak membeli seks anak dan ketika ada pembelian seks, harus ada tindakan dari pemerintah kepada pembeli dan kepada sindikat,” kata Ahmad.