Pengucilan Tetangga Lebih Berbahaya daripada Korona
Pengucilan pasien dan keluarganya kembali terjadi. Situasi ini menambah beban karena sebagian warga memperlakukan mereka dengan cara yang tidak tepat.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·4 menit baca
Ika (24) melarang Kompas yang ingin menemuinya. Dia merasa tetangganya sinis dengan keluarganya sejak ayahnya dinyatakan positif terjangkit virus korona baru, SARS-Cov-2. ”Jangan, Kak. Saya capek dengan orang-orang yang sinis sama kami,” ucap Ika yang berstatus sebagai orang dalam pemantauan (ODP) di salah satu kecamatan di Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (14/4/2020) siang.
Ika sekeluarga tengah menghadapi kesukaran hidup. Ayahnya kini positif Covid-19 dan dalam perawatan di salah satu rumah sakit di Kabupaten Tangerang sejak 31 Maret. Pada saat yang sama, ia, ibu, dan adiknya menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Perjuangannya melawan virus korona makin berat ketika lingkungan rumahnya menolak keberadaan mereka.
Sebelum dinyatakan positif, ayahnya yang berusia 56 tahun mengalami demam 39 derajat celsius. Dua hari berselang, demamnya tak kunjung turun, kemudian batuk-batuk. Dokter puskesmas yang memeriksa bertanya seputar keluhan dan riwayat perjalanan dalam beberapa waktu belakangan.
Ayah Ika diduga tertular dari salah satu rekan kerja sesama sopir yang ketahuan positif Covid-19 saat pulang ke Lampung. Akan tetapi, tidak ada interaksi di antara keduanya. Di sisi lain, ayahnya juga merupakan pengguna kereta rel listrik untuk berangkat dan pulang kerja.
Kondisi ayahnya memburuk karena sesak napas dan sakit di sekujur tubuh pada hari keenam isolasi mandiri. Sekali lagi, dokter puskesmas memeriksa lalu langsung merujuknya ke rumah sakit setempat.
Ika berusaha menguatkan ayahnya dengan menelepon dan mengabarkan kini kondisinya membaik. Begitu pun ayahnya, alat bantu pernapasan dan infus sudah dilepas. Ayahnya masih menanti dua hasil tes negatif Covid-19 sebelum diperbolehkan pulang.
Sejak awal, warga perumahan hanya tahu kalau ayahnya sakit. Mereka tidak tahu persis sakit apa yang dialami selain diabetes dan herpes. Warga mulai bertanya-tanya saat ambulans dan tenaga kesehatan berpelindung diri berkunjung ke rumah untuk memeriksa Ika, ibu, dan adiknya sehari selang ayahnya masuk rumah sakit.
Kendati pemeriksaan darah menunjukkan hasil negatif, warga mencurigai mereka bisa menularkan SARS-Cov-2. ”Ayah sakit, warga bukan berempati, malah menghujat. Warga tanya mana bukti negatif, ya enggak ada, enggak pegang, mau buktikan apa karena kami tidak bisa menunjukkan bukti negatif. Hasilnya menjadi rahasia negara dan wewenang pemerintah,” tuturnya.
Ika, ibu, dan adiknya melakukan isolasi mandiri sembari menanti sekali lagi pemeriksaan untuk memastikan negatif Covid-19. Sayangnya, bisik-bisik tetangga telanjur menyebar seperti bola liar.
Bahkan, ada sebagian warga yang meminta keluarganya diusir karena dapat menularkan virus. Beruntung, warga lain bersama ketua rukun tetangga membela keluarganya walau harus kena damprat. ”Ngapain ngebelain satu keluarga doang,” kata Ika menirukan perkataan sebagian tetangganya.
Warga yang takut tak kehabisan akal. Mereka mengambil langkah lain dengan menutup akses keluar-masuk ke kediaman Ika dengan palang kayu sejak dua hari lalu. Penutupan ini mencakup lima rumah lain di sekitar situ. Warga beralasan penutupan diminta pihak puskesmas supaya keluarganya tidak keluar rumah selama isolasi mandiri.
Mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Tangerang Selatan itu bertanya ke dokter puskesmas terkait penutupan akses ke rumahnya. Dokter membantah adanya arahan tersebut. Belakangan, warga mengatakan ada kesepakatan bersama soal penutupan supaya tidak diusir dari perumahan.
Mereka sedih dengan perlakuan warga sekitar. Akan tetapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. ”Ayah tanya kenapa warga seperti itu. Sayang bangetlah kenapa tetangga begini. Ini, kan bukan aib, siapa saja bisa terpapar,” katanya.
Kondisi yang demikian membuat kelurahan turun tangan dengan menyediakan bahan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya. Saban hari, ketua rukun tetangga datang ke rumah membawa bahan makanan sekaligus membeli kebutuhan sehari-hari lainnya.
Selain itu, dosen pembimbing skripsinya juga menggalang donasi dari sesama dosen untuk memenuhi kebutuhan keluarga Ika. Sebab, keluarganya sepenuhnya bergantung hidup dari penghasilan sang ayah.
Perlakuan warga terhadap keluarga Ika bertolak belakang dengan imbauan Bupati Kabupaten Tangerang Ahmed Zaki Iskandar. Zaki mengimbau warga berperan aktif memberikan sosialisasi dan edukasi kepada warga lain supaya menjaga jarak, pembatasan sosial, hindari kontak fisik, dan sementara waktu tidak berjabat tangan. ”Saya berharap ini bisa mencegah meluasnya Covid-19 dan bisa memutus rantai Covid-19 di Kabupaten Tangerang” kata Zaki dikutip dari laman resmi Pemkab Tangerang, https://tangerangkab.go.id/.
Imbauan serupa disampaikan Kepala Kepolisian Resor Kota Tangerang Komisaris Besar Ade Ary Syam. Ade meminta seluruh elemen warga melawan stigma negatif bahwa terpapar korona adalah aib dan tidak menyudutkan warga yang terindikasi terpapar korona. ”ODP, PDP, dan yang positif seharusnya didoakan dan didukung dengan berikan semangat untuk sembuh. Jangan ada penolakan,” ujar Ade saat berada di Kelurahan Mekarbakti, Kecamatan Panongan, Sabtu (11/4/2020).
Perlakuan tidak menyenangkan ini mengulang berbagai kejadian serupa sebelumnya. Pasien kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia mengaku sangat tertekan karena percakapan tentang mereka di media sosial dan pemberitaan media. Bahkan, ia memutuskan tidak membaca dan menonton televisi yang memberitakan dirinya.
Kejadian lain saat data sejumlah orang dalam pemantauan Covid-19 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bocor. Salah seorang di antaranya bahkan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Selain virus itu sendiri, stigma negatif membuat beban pasien dan keluarga semakin bertambah. Hentikanlah!