Sukarnya Menertibkan Warga Mengikuti PSBB
Masalah klasik pembatasan sosial berskala besar seolah tak bisa dihentikan. Masih banyak warga yang tidak bermasker dan bergerombol di luar rumah.
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Pembatasan sosial berskala besar di Tangerang Raya dimulai pada Sabtu (18/4/2020). Suasana lalu lintas relatif sepi. Akan tetapi, warga yang keluar untuk melakukan aktivitas krusial seperti berbelanja kebutuhan pokok jamak melupakan penjarakan fisik dan memakai masker.
Suasana di Pasar Ciputat ramai walaupun jika dibandingkan dengan kondisi normal, jauh lebih sepi. Para pedagang masih banyak yang membuka kios. Berharap ada yang datang berbelanja biar satu atau dua barang. Di lantai satu pasar yang dikhususkan untuk kios pakaian itu tampak tidak ada pembeli. Akibatnya, para pedagang duduk bergerombol mengobrol meskipun memakai masker.
Baca juga: Pelanggaran Berulang, PSBB Terancam Tak Efektif
”Dari 220 kios pakaian, masih 120 yang buka di masa pandemi Covid-19. Sisanya sudah tutup sejak pertengahan Maret dengan inisiatif sendiri,” kata Kepala Pasar Ciputat Endang Saputra.
Ia berpendapat, untuk lantai khusus pakaian relatif tidak ada masalah karena tidak ada pembeli yang datang sehingga pembatasan jarak fisik bisa diterapkan. Bahkan, pihaknya akan rapat dengan gugus tugas penanganan Covid-19 Tangerang Selatan (Tangsel) untuk memastikan jika pedagang pakaian diharuskan menutup kios hingga berakhirnya masa PSBB.
Kios yang masih cukup ramai dikunjungi pembeli adalah kios penjual sayur, beras, dan daging ayam. Kios ini terletak di luar gedung pasar. Di setiap kios ada satu hingga dua pembeli. Lebar meja los dagangan 1 meter sehingga, menurut Endang, cukup untuk menjaga jarak antara penjual dan pembeli. Pengelola pasar tinggal memastikan pembeli tertib berbaris, tidak berdiri berdekatan.
”Justru masalahnya adalah karena los sayur dan ayam letaknya di luar, mereka selalu dilewati oleh pengendara sepeda motor yang ramai. Pengendara ini walaupun tidak berbelanja banyak yang tidak bermasker dan sering terjadi kemacetan di sepanjang jajaran los itu,” tutur Endang.
Selama PSBB ini, ia mengatakan fokus kepada penyediaan sarana seperti tempat cuci tangan darurat yang diletakkan di sejumlah titik pasar walaupun dari pengamatan masih jarang pedagang dan pembeli menggunakannya. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan jika Gugus Tugas Covid-19 Tangsel bisa memerintahkan agar kios-kios yang tidak relevan dengan kebutuhan di masa pandemi ditutup.
Iwan, seorang pedagang pakaian yang masih bertahan, menyatakan persetujuan ditutup sementara jika pihak pasar atau Pemerintah Kota Tangsel bisa memberi ganti rugi. Tanpa ganti rugi atau bantuan sosial, ia mengaku sulit untuk berhenti berdagang karena merupakan satu-satunya pemasukan bagi keluarganya, sementara ia mengaku tidak pandai memakai teknologi untuk membuka lapak daring.
Wajib bermasker
Di Pasar Ciputat, pengelola mewajibkan semua pedagang mengenakan masker. Petugas keamanan pasar, Yaya Suryana Burhami, rutin berkeliling sambil menenteng pengeras suara memastikan pedagang tertib dan tidak ada penumpukan orang.
”Hei, itu tukang ayam, cepat pakai maskernya.” Ia menghardik salah satu penjual di los ayam yang sedang asyik merokok. Maskernya hanya tergantung di leher. Mendengar teguran yang suaranya berlipat akibat corong pelantang, pedagang itu tersenyum masam dan segera memasang masker.
Yaya mengeluhkan para pedagang masih harus ditegur untuk memakai masker. Biasanya ketika melihat ia datang, pedagang tampak tertib. Akan tetapi, menurut laporan anak buahnya, tak berapa lama kemudian pedagang melepas masker. Alasannya beragam, mulai karena sesak, tidak terbiasa, dan ingin mengisap rokok.
Salah satunya adalah Ida, pedagang sayur dan bumbu masak. Dari pagi hingga siang, masker kain hanya menghiasi lehernya, tidak pernah menyentuh wajahnya. Posisi los di bawah tangga membuat Ida sulit terlihat oleh patroli petugas pasar.
”Ah, enggak apa-apa. Kalau pakai masker sumpek. Dari tadi juga belum ada pembeli yang datang,” ujarnya sambil tersenyum.
Masih berkumpul
Tidak hanya di pasar, wilayah permukiman juga mengalami hal serupa. Contohnya di Kampung Gunung, Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur. Sejak pukul 06.00, para petugas rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RW) berkeliling dengan membawa pelantang mengumumkan bahwa hari Sabtu PSBB dimulai.
Mayoritas warga perkampungan bukan padat itu sudah berada di rumah, tetapi tetap ada yang masih berkumpul mengobrol di pos ronda, ketika membeli sayur di penjaja keliling, bahkan di pekarangan rumah. Para petugas RT dan RW tidak terlihat menegur.
Beberapa warga yang khawatir dengan penularan virus korona baru tampak tidak puas dengan tiadanya penindakan, setidaknya teguran dari RT/RW. Di antaranya adalah Muhammad yang mengeluhkan tetangga sebelah rumahnya masih membuka warung kopi. Di pelataran warung itu ada enam remaja duduk meriung sambil asyik bersenda gurau.
”Waktu pemilik warung saya tegur dia malah balik memarahi. Saya dituduh iri tidak suka melihat dagangannya laris. Malam ini di rapat RT/RW saya mau mengusulkan supaya dibuat aturan tegas jangan nongkrong. Aturan pemerintah sudah jelas, kalau mau makan harus dibungkus dan dibawa pulang,” ujarnya.
Tanggung jawab moral
Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Respati Indonesia Cicilia Windiyaningsih menekankan, pembatasan jarak fisik tidak bisa ditawar di masa pandemi. Dengan PSBB, semestinya pemerintah bisa menerapkan penindakan dengan efek jera bagi para pelanggarnya.
”Masalah utama kesehatan bangsa Indonesia adalah ketidakpedulian masyarakat pada kesehatan. Ada yang menganggap remeh, ada yang bersifat pasrah. Jarang yang benar-benar peduli pada konsekuensinya,” ucapnya.
Ia memaparkan, bahaya virus korona baru ini tidak hanya pada dampak mematikan jika tertular, tetapi juga minimnya tes cepat yang berarti kemungkinan orang mengidap virus tanpa menunjukkan gejala penyakit ada banyak dan tidak terdeteksi. Apabila mobilitas penduduk tidak dikurangi secara ekstrem, penularan virus tidak bisa berhenti.
”Jika kita keluar rumah, tidak hanya berisiko tertular, tetapi juga menularkan kepada orang lain yang lebih rentan seperti orang lansia dan mereka dengan penyakit bawaan. Orang-orang ini kesempatan sembuhnya rendah sekali. Ada tanggung jawab moral terhadap nyawa sesama yang harus kita sadari,” jelasnya.
Cicilia mengatakan, aspek tanggung jawab moral ini belum disosialisasikan ke akar rumput. Informasi ke masyarakat lazimnya hanya bahwa Covid-19 berbahaya dan masyarakat jangan bepergian. Keterangan mengenai jenis bahaya tersebut dan akibat yang ditimbulkan sering kali tidak dijelaskan sehingga masyarakat masih memiliki pemikiran selama tubuh tidak menampakkan gejala tidak perlu khawatir.
Terkait dengan keterpaksaan masyarakat keluar rumah demi mencari nafkah, Cicilia menjabarkan relasi antara ketiadaan tabungan penyokong di masa darurat dan kebiasaan merokok. Dalam penelitiannya mengenai kasus bronkitis di Jakarta Utara, ia menemukan mayoritas pasien berasal dari kelas pekerja dan perokok. Setiap hari mereka menghabiskan Rp 30.000 hingga Rp 50.000 untuk rokok. Jumlah ini setara 30-40 persen pendapatan harian.
”Ini pekerjaan rumah pemerintah, akademisi, dan pihak swasta. Selain memberi bantuan sosial, juga harus ada penggencaran pendidikan pengelolaan keuangan. Kalau tidak, bantuan tunai yang diberikan berisiko dibelikan rokok, bukannya kebutuhan pokok,” tuturnya.