Bantuan Sosial bagi Warga Terdampak Pandemi yang Tersegregasi
Para ketua RT mengeluhkan pembatasan jatah bantuan sosial yang rawan menimbulkan segregasi di antara warga. Harus ada kebijakan bantuan sosial yang menampung perspektif warga penerima.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Transparansi pendataan dan persyaratan kelayakan penerimaan bantuan sosial menjadi pertanyaan besar bagi warga. Tanpa ada keterbukaan data sistem verifikasi, berisiko memunculkan kecemburuan sosial yang kontraproduktif dari perlindungan dan pemberdayaan masyarakat di masa pandemi yang dipicu oleh virus korona baru.
Hal tersebut dikemukakan ketua-ketua rukun tetangga (RT) yang khawatir mendapat tekanan dan protes dari warga apabila pemberian bantuan sosial (bansos) dinilai tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Salah satu contohnya adalah di Tangerang Selatan, Banten. Pemerintah kota menyatakan, setiap kelurahan mendapat jatah 200 keluarga penerima bansos yang berupa transfer uang tunai ke rekening penerima.
”Di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, saja ada 52 RT. Artinya, kalau dibagi, setiap RT hanya ada 4-5 keluarga yang menerima bansos,” kata Ketua Paguyuban RT Kelurahan Cirendeu Madinah ketika ditemui pada Selasa (21/4/2020).
Ia mengungkapkan, pekan lalu ada informasi bahwa di setiap RT ditambah 10 keluarga sehingga kini ada 15 keluarga mengingat jumlah yang sangat terbatas ini, para ketua RT sepakat mengajukan nama-nama keluarga yang memang dari sebelum pandemi terjadi sudah berstatus miskin dan belum dibantu program pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar.
”Kami memilih keluarga yang ayah dan ibunya pengangguran atau pekerja serabutan. Bisa juga janda dengan anak yang banyak,” kata Madinah.
Warga yang bekerja sebagai pengemudi ojek daring dan tukang sayur keliling tidak masuk ke dalam daftar penerima bansos. Menurut Madinah, walaupun pendapatan mereka berkurang drastis, setidaknya masih bisa keluar rumah untuk bekerja. Sebaliknya, mereka yang masuk dalam 15 keluarga ini sudah tidak memiliki sumber nafkah.
Warga yang bekerja sebagai pengemudi ojek daring dan tukang sayur keliling tidak masuk ke dalam daftar penerima bansos. Menurut Madinah, walaupun pendapatan mereka berkurang drastis, setidaknya masih bisa keluar rumah untuk bekerja. Sebaliknya, mereka yang masuk dalam 15 keluarga ini sudah tidak memiliki sumber nafkah.
Ketua RT 002 untuk rukun warga (RW) 003 Cirendeu Sofiah mengatakan, di daerah tanggung jawabnya ada 200 keluarga. Hampir 100 keluarga tergolong miskin dan rentan miskin. Sebelum pandemi, mereka tidak menerima bantuan apa pun karena memiliki pendapatan harian. Akibat pembatasan sosial berskala besar, mereka tidak bisa bekerja.
”Memang adalah keluarga yang memiliki sedikit tabungan, tetapi mereka harus membayar kontrakan rumah dan cicilan motor. Ada pula yang orangtua atau pasangannya sakit sehingga mereka bisa segera jatuh miskin, tetapi mereka tidak saya masukkan ke daftar penerima karena masih ada tabungan itu,” ujar Sofiah.
Ia khawatir warga akan marah kepada dirinya karena dianggap tidak adil dan hanya memberi bansos kepada segelintir orang. Sejauh ini belum ada arahan dari kelurahan mengenai jadwal pembagian bansos, tetapi menurut Sofiah, lontaran omongan bernada tajam mulai terdengar di kalangan warga.
Sementara itu, di Jakarta, para lurah terus mengumpulkan data terbaru dari lapangan. Lurah Kampung Melayu Setiyawan mengatakan, pada Selasa ini dikirim 5.184 paket bahan pokok untuk warga miskin dan rentan miskin.
”Lalu, ada penambahan karena ada warga yang awalnya masih mampu membiayai keluarga, tetapi seiring berjalannya PSBB keluarga mengalami kesulitan. Mereka sudah didata dan diverifikasi, sekarang dalam tahap mengajukan nama-nama ini ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” ucapnya.
Persepsi warga
Peneliti kesejahteraan sosial Universitas Sampoerna, Dorita Setiawan, mengatakan, skema bansos masih satu arah berdasarkan pandangan pemerintah. Belum melibatkan persepsi warga mengenai kebutuhan yang nyata harus dipenuhi. Pemprov Jakarta, misalnya, memberi bansos berupa beras, minyak goreng, dan ikan kalengan. Di Jawa Barat bansosnya serupa ditambah biskuit dan uang tunai Rp 150.000.
Ia menjelaskan, ada kerancuan karena penjelasan Pemprov Jakarta dan pemerintah daerah mengatakan bahwa stok pangan aman dan yang menjadi masalah adalah akses kepada pangan tersebut. Oleh karena itu, hendaknya pemberian bansos jangan hanya memakai pandangan memberi santunan kepada orang miskin.
”Berdayakan warga dengan melibatkan mereka memutuskan jenis bantuan yang pantas bagi mereka karena kebutuhan setiap orang, walaupun miskin dan rentan miskin, itu berbeda. Jangan bertindak berdasarkan asumsi, tetapi data kesejahteraan sosial di lapangan,” paparnya.
Berdayakan warga dengan melibatkan mereka memutuskan jenis bantuan yang pantas bagi mereka karena kebutuhan setiap orang, walaupun miskin dan rentan miskin, itu berbeda. Jangan bertindak berdasarkan asumsi, tetapi data kesejahteraan sosial di lapangan.
Dorita menjelaskan, ada warga yang masuk kategori miskin, tetapi tidak memiliki kesulitan mengakses pangan. Ia justru ditekan oleh cicilan kendaraan bermotor atau biaya kontrakan. Mungkin bansos yang layak adalah berupa transfer uang atau pemerintah bisa memberi keringanan kredit cicilan sepeda motor.
Indonesia, lanjut Dorita, tidak bermasalah di stok pangan dan anggaran, tetapi di perencanaan dan pengorganisasian pemberian bansos. Beras, minyak goreng, dan mi instan belum tentu dibutuhkan warga yang bisa saja lebih memilih menerima bantuan berupa pengiriman uang via transfer rekening bank. Jika demikian, harus ada sistem pengawasan pemakaian uang untuk kebutuhan pandemi yang bisa dibentuk dari solidaritas akar rumput sendiri.
Jika pemerintah mengizinkan toko-toko dan warung kelontong tetap buka selama pandemi, warga tetap bisa berbelanja kebutuhan pokok di dekat rumah mereka. Hal ini bisa menjaga perputaran ekonomi lokal, dengan syarat pengoperasiannya menaati standar kesehatan, seperti menjaga jarak dan bermasker.
”Beri kepercayaan kepada warga, mereka bisa memberdayakan diri mengatur skema dan pemakaian bansos sesuai karakteristik wilayah masing-masing. Jangan lihat warga miskin sebatas penerima bansos, tetapi mitra dalam mengelolanya,” kata Dorita.