Pembatasan sosial berskala besar untuk menekan penyebaran Covid-19 tak sepenuhnya menghalangi niat warga untuk mudik.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian perantau asal Jawa Barat dan Sumatera Barat memutuskan tidak mudik tahun ini. Mereka berencana menghabiskan waktu Ramadhan dan hari raya Idul Fitri di Jakarta dan sekitarnya. Namun, tidak sedikit dari mereka telanjur mudik di tengah pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.
Wilayah Bandung Raya di Jawa Barat dan Kota Padang di Sumatera Barat memberlakukan PSBB mulai Rabu (22/4/2020). Tujuannya, membatasi kegiatan tertentu, pergerakan orang, dan barang dalam menekan penyebaran SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.
Namun, pergerakan orang sulit dibatasi selama perantau dari kedua wilayah itu memutuskan untuk mudik. Salah satunya perantau yang tinggal dan bekerja di Jakarta.
Anto Putra (34), penjual aksesori asal Solok, Sumatera Barat, masih menimbang kemungkinan mudik ke kampung halaman lantaran pemasukannya berkurang selama pandemi Covid-19. Di sisi lain, sudah ada rekan seperantauannya yang pulang sebelum PSBB ataupun berencana pulang dalam waktu dekat. ”Jelaskan ke keluarga kalau belum bisa pulang dalam waktu dekat. Belum punya cukup uang untuk pulang,” ujar Anto. Pendapatannya menurun drastis dari kisaran Rp 150.000-Rp 200.000 menjadi Rp 30.000-Rp 60.000 per hari.
Muhamad Daroji (65) juga masih memikirkan kemungkinan mudik ke Indramayu, Jawa Barat. Kuli panggul di Pasar Palmerah, Jakarta, ini belum punya cukup uang untuk mudik.
”Tahun lalu, mudik H-1. Tahun ini ada rencana, tetapi tergantung ada ongkosnya atau tidak,” ucap Daroji. Ia sudah mengabari istri dan anak di kampung perihal kendala untuk mudik.
Pemerintah melarang mudik Ramadhan dan Idul Fitri mulai 24 April 2020. Larangan berlaku untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi serta wilayah yang menerapkan PSBB dan zona merah Covid-19.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, larangan mudik berlaku untuk warga yang ingin keluar dan masuk wilayah Jabodetabek. Namun, lalu lintas orang di dalam Jabodetabek masih diperbolehkan.
Sejumlah pemerintah daerah mendukung kebijakan melarang mudik tahun ini. Pemkab Indramayu, misalnya, mengawasi pemudik sejak Senin (20/4) hingga Selasa (19/5). Pelaksana Tugas Bupati Indramayu Taufik Hidayat mengatakan, para pemudik yang masuk ke Indramayu akan menjalani pemeriksaan awal di 14 lokasi di perbatasan. Jika ditemukan ada gejala Covid-19, pemudik akan dibawa ke tempat karantina di RS Mursyid Ibnu Syafiuddin Krangkeng.
Karantina
Prosedur karantina yang ketat membuat perantau urung mudik karena tidak ingin waktunya habis untuk isolasi berhari-hari. Saiful (19) salah satunya. Tukang pangkas rambut asal Garut, Jawa Barat, ini tidak betah diisolasi berhari-hari saat pulang kampung, dua pekan lalu. ”Pengin keluar ketemu teman-teman, tetapi tidak boleh. Saya hanya tiga hari (isolasi) diam di rumah,” ujar Saiful.
Perangkat desa bersama warga secara rutin mengecek perantau yang pulang kampung. Mereka didata terlebih dahulu sebelum diantar ke puskesmas setempat untuk pemeriksaan kesehatan. Kemudian wajib isolasi mandiri selama 14 hari. Perangkat desa akan mengecek ketaatan isolasi mandiri. Alhasil Saiful tidak berencana mudik tahun ini karena tidak ingin waktunya habis untuk isolasi mandiri.
Tasya (26) juga mengurungkan niat mudik ke Kota Bandung karena tidak ingin isolasi mandiri selama dua pekan. ”Sama saja seperti di sini (Jakarta) berdiam di rumah,” ujar Tasya.
Masyarakat Transportasi Indonesia menilai, larangan mudik harus disertai ketegasan pemerintah. Berbagai cara dapat ditempuh untuk mencegah masyarakat nekat mudik, baik lewat darat, laut, maupun udara.
Salah satunya adalah penutupan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, misalnya bagi kendaraan pribadi, pada saat yang diasumsikan sebagai puncak arus mudik. ”Kalau SPBU masih buka, akan memberi peluang orang masih mau mudik lewat jalan tikus,” kata Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono.
Sementara Ketua Forum Laut MTI Leny Maryouri menambahkan, jika mudik dilarang, layanan transportasi semestinya hanya untuk angkutan barang. ”Kalaupun mengangkut penumpang, hanya untuk mereka yang punya misi membantu mengatasi masalah terkait Covid-19 di daerah-daerah, seperti tenaga medis, TNI, dan lainnya,” ujar Leny.