Kala Penagih Utang Harus Mencari Pinjaman karena Pandemi
Penagih utang yang diidentikkan dengan dunia hitam penuh kekerasan tak berdaya oleh pandemi korona jenis baru. Mereka mau tidak mau mencari pinjaman untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Pandemi korona ini benar-benar menghantam banyak kalangan, tidak terkecuali para penagih utang. Orang-orang yang sebelumnya ditakuti pemilik pinjaman kini ikut cemas dengan kelangsungan hidupnya. Mereka tak berkutik hingga memeras akal bagaimana caranya bertahan hidup.
Oris (24) mengernyitkan dahi sembari menghela napas. Jari jempol dan jari tengah tangan kanannya memijat pelipis hingga kening untuk beberapa saat. Ia larut dalam alam pikirannya hingga tak menghiraukan sang anak yang mondar-mandir di hadapannya. Pemuda asal Flores, Nusa Tenggara Timur, ini sedang berpikir bagaimana caranya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya selama pandemi Covid-19.
Pemasukannya berkurang drastis karena banyak nasabah kesulitan membayar cicilan sepeda motor ataupun mobil. Apalagi atasan telah menginstruksikan semua ”mata elang” tidak boleh memaksa nasabah untuk membayar cicilan ataupun menyita kendaraan selama pandemi. Mata elang adalah istilah sebutan lain untuk penagih utang yang berdiri di pinggir jalan.
Pemasukannya yang semula berkisar Rp 5.000.000-Rp 6.000.000 berkurang hingga setengahnya sehingga mau tidak mau harus mencari pinjaman untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ia mengambil pinjaman dari salah satu koperasi simpan pinjam sebesar Rp 5.000.000. Pinjaman ini dicicilnya selama 12 bulan. ”Supaya cicilannya kecil," ujar Oris di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Penghematan juga mulai dilakukan karena keluarga kecilnya belum punya tempat tinggal sendiri. Mereka menghuni salah satu petak indekos di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Biaya sewa tempat indekos sebesar Rp 500.000 setiap bulan, belum termasuk penggunaan listrik dan air.
Oris sudah mulai mengencangkan sabuk (ikat pinggang) dengan mengurangi jatah rokok dan minum kopi kemasan. Jatah rokok yang semula dua sampai tiga bungkus dalam sehari berkurang menjadi hanya sebungkus.
Kerja serabutan pun dilakoninya untuk menambah pemasukan. Meskipun tidak menentu, hasilnya lumayan berkisar Rp 100.000-Rp 200.000 dalam sehari. ”Supaya bisa penuhi keinginan anak untuk jajan,” katanya.
Berutang
Hal yang sama dialami Yeris (27). Penagih utang di salah satu koperasi simpan pinjam ini mengambil pinjaman dari tempat kerjanya sendiri. Pemuda asal Flores tersebut mengambil pinjaman Rp 10 juta dengan cicilan 24 bulan. Tujuannya agar biaya cicilan terjangkau.
Sebagian uang hasil pinjaman sudah dikirimkannya kepada orangtua di kampung. Sisanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari selama pandemi. ”Saya bilang kepada Bapak dan Mama, kalau ke depannya susah kirim uang lagi karena pemasukan berkurang. Mereka mengerti dan memaklumi,” ujar Yeris.
Semula penghasilannya bisa Rp 6 juta dalam sebulan. Namun, pandemi membuat penghasilan berkurang drastis seiring berkurangnnya insentif dan waktu kerja. Kini dalam sepekan, mereka (penagih utang) masuk kerja hanya empat hari secara bergilir.
Yeris coba memaklumi kondisi pandemi karena banyak nasabah berada dalam kondisi serba sulit. ”Ada yang dirumahkan, kena pemutusan hak kerja. Kami tidak bisa paksa untuk bayar cicilan. Kantor juga ada kebijakan hentikan tagihan sementara untuk sejumlah nasabah,” ucapnya.
Siasat lain yang dilakukannya dengan mengurangi jatah rokok dari biasanya tiga bungkus rokok dalam sehari menjadi sebungkus. Waktu kumpul-kumpul bersama teman-teman juga dibatasi agar tidak banyak pengeluaran.
Ryan (26), penagih utang lainnya asal Flores, hanya bisa berharap pandemi segera berlalu. Pemasukannya juga berkurang drastis sehingga cukup kerepotan membayar cicilan.
Ia harus merogoh tabungan untuk mencukupi biaya cicilan kendaraan. Kendaraan tersebut digunakannya saban hari untuk bekerja menagih cicilan nasabah. ”Semoga cepat pulih supaya bisa dapat insentif,” ujar Ryan.
Penagih utang seperti mereka bergantung pada insentif setiap kali nasabah membayar cicilan. Kini situasi telah berubah. Jangankan untuk membayar cicilan, untuk makan pun banyak orang kesulitan.
Otoritas menilai, jumlah debitor perbankan yang akan mendapatkan keringanan restrukturisasi kredit masih bisa meningkat. Kondisi ini seiring dengan meluasnya pandemi Covid-19 dan penetapan status bencana nasional non-alam oleh pemerintah.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 13 April 2020, jumlah debitor perbankan yang kreditnya telah direstrukturisasi akibat terdampak Covid-19 sebanyak 262.966 debitor. Adapun jumlah debitor yang disetujui untuk dilakukan restrukturisasi oleh perusahaan pembiayaan 65.363 debitor.
Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, pada 15 April lalu menyampaikan bahwa angka tersebut masih belum akan berhenti dan berpotensi bertambah. Sebelum mendapatkan persetujuan dari lembaga keuangan, debitor terdampak Covid-19 perlu mengajukan permohonan restrukturisasi terlebih dulu kepada bank atau multifinance tempat mereka mendapat penyaluran kredit.