Perjuangan Berat Mendampingi Belajar Anak di Rumah
Situasi pembatasan sosial di rumah kini menjadi tantangan bagi para orangtua yang mengasuh anak. Kunci untuk memahami anak pada masa seperti ini adalah dengan menumbuhkan empati dalam setiap kegiatan mereka.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Sebulan lebih beraktivitas dari rumah, Miranti (34) semakin berpikir keras untuk bertahan dalam masa pembatasan sosial. Menurut dia, hal yang paling menantang di rumah adalah saat mendampingi anak berkegiatan di rumah.
Ia bercerita, Almira (8), anak semata wayang yang baru kelas 2 SD, belakangan semakin manja karena kehadirannya di rumah. Padahal, di umur sekarang, Almira sudah terbiasa mandiri dan belajar di kamarnya sendiri. Namun, pada hari ini, Selasa (5/5/2020), anaknya kerap minta ditemani saat beraktivitas.
Miranti juga mengenali anaknya lebih suka belajar dengan membaca ulang materi dari sekolah. Belakangan pun, Miranti harus membaca dan menjelaskan ulang materi yang telah dibaca Almira. ”Saya coba turuti permintaannya meski saya juga harus bekerja di rumah. Karena, kalau anak saya merengek, malah jadi repot, kerjaan jadi serba enggak beres,” kata pegawai aparatur sipil negara (ASN) di Jakarta ini.
Pengalaman Miranti mungkin dirasakan sebagian orangtua selama pembatasan sosial di rumah. Sebab, kondisi terus di rumah turut membuat suasana hati anak kian tidak menentu. Hal itu membuat orangtua juga harus bersiasat dalam memahami anak.
Kondisi serupa dialami Nursyam Triatnani (44) pekan lalu. Dia kewalahan mengatur anaknya, Airin Trihafsari (10), yang belakangan semakin uring-uringan karena berdiam di rumah. Alhasil, Nursyam harus menjaga ketat jadwal kegiatan anak bungsunya selama di rumah.
”Airin, tuh, pagi-pagi sudah di depan televisi. Padahal, jam 06.30 dia harus video call dengan gurunya, tetapi disuruh mandi malah menunda terus,” ungkap ibu tiga anak ini.
Kondisi pandemi Covid-19 saat ini memang menjadi keluhan banyak orangtua. Namun, hal tersebut lantas tidak menjadi alasan untuk mengekang atau memarahi anak. Kondisi bersama-sama di rumah saat ini justru semestinya menjadi momen untuk saling memahami.
Dalam sesi webinar ”Mendampingi Anak Belajar di Rumah” oleh Universitas Indonesia (UI), Stephanie Yuanita, psikolog UI, menjelaskan, orangtua dapat menjadikan momen di rumah sebagai observasi tingkah laku anak yang sebenarnya. Dalam proses tersebut, butuh sikap empati dari orangtua untuk memahami anak.
Stephanie menyarankan, pertama-tama orangtua harus menanamkan pola pikir bahwa mereka dulu juga pernah menjadi seorang anak di rumah. ”Kita pernah merasakan menjadi mereka. Misalnya, ketika belajar ada yang hal tidak mereka suka, lalu hal itu malah membuat kantuk. Kita tetap obyektif, tetapi kita juga coba memahami pendapat dia apa.” tutur Stephanie.
Dari situ, orangtua bisa membangun kepercayaan dan komunikasi dengan anak. Antara orangtua dan anak pun bisa saling terbuka untuk menyampaikan apa yang sedang dirasakan.
Setelah membangun kepercayaan, orangtua bisa membuat kompromi dengan anak. Hal ini untuk mengatur kesepakatan antara orangtua dan anak selama berkegiatan di rumah, misalkan, berapa jam harus belajar, berapa jam harus bermain, dan berapa jam untuk memegang gawai. Perlu diingat, anak pun membutuhkan interaksi sosial dengan teman sebaya, jadi perlu menyediakan waktu khusus untuk interaksi sosial.
Dengan kompromi, Anda pun dapat meminta waktu tersendiri apabila harus disibukkan dengan pekerjaan kantor di rumah. Bangunlah kerja sama dengan anggota keluarga di rumah, baik pasangan maupun anak yang lebih tua, untuk saling merawat satu sama lain.
Stephanie juga menyarankan agar tetap menjaga aura positif selama berkegiatan dengan anak di rumah. Hal itu dapat dilakukan dengan tidak membanding-bandingkan cara belajar saat ini dengan zaman dulu karena sejatinya memang berbeda. Orangtua harus memberi pengertian untuk menghadapi kesulitan pelajaran sekolah bersama-sama.
Stephanie menyampaikan, kondisi sekarang bisa jadi momen untuk melihat bagaimana tipe anak Anda belajar. Tentunya, setiap anak punya pendekatan yang berbeda-beda karena menyesuaikan dengan kepekaan indera mereka.
Dalam situasi belajar atau memahami informasi, anak sedikitnya memiliki tiga jenis kepekaan, yakni secara visual, auditori, dan kinestetik. Masing-masing kecenderungan itu harus disesuaikan dengan pola kegiatan belajar.
Untuk tipe visual, misalnya, mereka akan lebih mudah mengerti dengan gambar atau analogi ilustrasi yang jelas. Stephanie menyarankan, dalam pembelajaran, anak dapat diajari menggunakan dengan presentasi power point. Hal tersebut sifatnya sangat lentur selama bisa membantu anak untuk belajar secara visual.
Untuk tipe auditori, anak akan lebih cepat menangkap informasi ketika dia mendengar. Dalam hal tersebut, anak membutuhkan penjelasan atau instruksi secara verbal. Orangtua bisa turut membantu dengan membacakan ulang materi yang dia pelajari, atau anak yang justru membacakannya kepada orangtua.
Kemudian, tipe kinestetik cenderung lebih memahami dengan cara praktik atau bantuan gerakan tertentu. Untuk tipe ini, anak perlu dibiarkan untuk menyentuh atau merasakan obyek pembelajaran.
Efriyani Djuwita, akademisi bidang psikologi perkembangan Fakultas Psikologi UI, juga menekankan pentingnya waktu anak untuk bermain di rumah. Sebab, anak harus tetap memiliki waktu istirahat yang sifatnya bukan secara fisik, seperti tidur. Anak juga memerlukan kegiatan bermain yang menyegarkan pikiran, serta melatih sensor motorik.
Efriyani menyampaikan, orangtua harus tetap menjaga prinsip dari kegiatan bermain. Perlu dipahami, bermain adalah kegiatan yang bersifat spontan, tidak memiliki tujuan tertentu, tetapi didasari motivasi untuk merasa senang. ”Jadi, ada motivasi secara intrinsik dari anak. Bukan karena disuruh orang lain, melainkan murni karena anak itu butuh untuk merasa senang dengan melakukan permainan,” katanya.
Efriyani menegaskan, dalam kegiatan bermain, proses lebih penting daripada tujuan. Hal yang penting adalah proses, anak menjadi merasa tertantang, enjoy jika melakukan itu. Kegiatan bermain juga harus menimbulkan senyum dan tawa.
Sebagai saran, orangtua bisa melibatkan permainan yang sifatnya social play, seperti bermain cilukba untuk anak balita. Bisa juga dengan menyuapi makanan ke anak dengan perumpamaan pesawat yang mendarat, bermain tepuk tangan, atau bermain petak umpet kecil di rumah. ”Semua permainan bsia dilakukan selama membuat senang dan membebaskan pikiran. Anak-anak harus tetap memiliki waktu bermain ini di rumah,” ucap Efriyani.