Operasi Tiga Hari Jaring 202 Angkutan Mudik ”Gelap”
Sebagian besar kendaraan yang terjaring operasi khusus memanfaatkan jalur tikus, jalan tembus melewati lingkungan untuk menghindari pemeriksaan di jalan-jalan utama.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersama kepolisian resor jajaran menjalankan operasi khusus penertiban ”travel gelap” kurun waktu Jumat-Minggu (8-10/5/2020). Hasilnya, 202 kendaraan pengangkut pemudik terjaring dan disita petugas.
”Kami mengamankan mereka di tol, arteri, dan terutama paling banyak di jalur tikus,” ucap Direktur Lantas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo dalam siaran pers daring pada Senin (11/5/2020). Ia menekankan, ini juga menjadi jawaban atas keraguan masyarakat tentang pengawasan kepatuhan pada larangan mudik di jalur-jalur tikus.
Sebagian besar upaya ilegal mengangkut pemudik keluar Jakarta dan sekitarnya terungkap karena penelusuran digital. Sambodo mengatakan, polisi memiliki tim khusus untuk menginvestigasi warga yang mencoba menawarkan jasa antar mudik lewat media sosial.
Kendaraan yang sudah dibidik berdasarkan patroli siber itu kemudian diburu, diikuti, dan jalur-jalur yang dilewati lantas dipetakan. Karena itu, polisi pun mengetahui jalur tikus yang juga dimanfaatkan, selain akses-akses utama.
Total 202 kendaraan yang ditahan dari operasi tanggal 8-10 Mei itu terdiri atas 11 unit bus, 112 minibus, 78 kendaraan pribadi, dan 1 truk untuk mengangkut penumpang.
”Penumpang yang kami gagalkan mudik berjumlah 1.113 penumpang, tujuan ke sejumlah kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” ujar Sambodo.
Jika dijumlahkan dengan kendaraan-kendaraan yang sudah disita sejak awal larangan mudik berlaku tanggal 24 April lalu, Polda Metro Jaya dan jajaran berarti sudah mengamankan 228 unit yang digunakan mengangkut total 1.389 pemudik.
Sambodo menambahkan, para pengemudi dan pengelola kendaraan berupaya meraup untung lebih di tengah larangan mudik dengan menaikkan tarif 3-4 kali lipat dibanding kondisi normal. Contohnya, untuk mengantar penumpang ke Brebes, Jawa Tengah, mereka memasang tarif Rp 500.000 per penumpang dari biasanya Rp 150.000 per orang. Untuk ke Cirebon, Jawa Barat, harga normal Rp 100.000, tetapi penyedia jasa mematok Rp 300.000 per orang.
Untuk kendaraan yang tidak memiliki izin trayek atau kerap diistilahkan travel gelap, menurut Sambodo, sebagian merupakan milik pengusaha yang punya lebih dari satu mobil berplat nomor polisi hitam dan bermitra dengan sopir untuk mengangkut penumpang. Namun, ada juga mobil yang dikemudikan langsung oleh pemiliknya.
Terkait adanya bus yang disita, meski merupakan kendaraan pengangkut penumpang resmi, pengemudi bus melanggar Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Dalam SE itu, memang terdapat perjalanan yang dikecualikan, tetapi harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukung. Petugas tidak mendapati dokumen tersebut dari penumpang yang dicegat selama operasi khusus.
Para pengemudi travel gelap dikenai sanksi berdasarkan Pasal 308 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan karena kendaraan tidak memiliki izin trayek. Ancaman hukumannya, denda maksimal Rp 500.000 atau penjara maksimal dua bulan.
Sementara itu, pengemudi truk yang mengangkut penumpang melanggar Pasal 303 UU tersebut karena membawa penumpang dengan angkutan barang. Hukumannya denda maksimal Rp 250.000 atau penjara maksimal satu bulan.
Setelah urusan administrasi dan sidang tilang selesai, para pemilik dan pengemudi baru bisa mengambil kendaraan yang disita.
Guna mencegah para sopir mengulangi perbuatannya, petugas meminta mereka membuat surat pernyataan serta mendata identitas mereka. Jika ketahuan melakukan lagi, mereka bisa dikenai sanksi berdasarkan ketentuan lain, termasuk Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan ancaman pidana penjara satu tahun dan denda Rp 100 juta.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menambahkan, Polri sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah melarang mudik demi menekan penyebaran Covid-19, antara lain dengan memajukan serta memperpanjang Operasi Ketupat Jaya tahun ini. Pos-pos pengamanan terpadu didirikan seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi dengan fungsi tambahan mencegat kendaraan pemudik. Tidak hanya untuk pengamanan Ramadhan dan Idul Fitri.
Di wilayah hukum Polda Metro Jaya, ada 18 titik pos pengamanan yang sekaligus sebagai pos penyekatan pemudik. Sebanyak dua di antaranya dikelola Ditlantas Polda Metro Jaya dan berlokasi di jalan tol, yakni di Gerbang Tol Cikarang Barat (Kabupaten Bekasi), untuk mencegat pemudik melintas ke arah Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur, serta Gerbang Tol Bitung (Tangerang) untuk menyekat pemudik yang ke arah Banten dan Merak.
Adapun 16 pos lainnya di jalan arteri nontol dan berada dalam tanggung jawab kepolisian resor setempat. Namun, selain pos-pos utama tersebut, jalan-jalan kecil di masing-masing wilayah juga dipantau personel kepolisian sektor.
Yusri menyebut, pencegatan pemudik oleh polisi bersama personel TNI dan petugas dari pemerintah daerah setempat merupakan operasi kemanusiaan. Sebab, para pemudik bisa saja sudah tertular virus korona baru, tetapi tidak tahu dan tidak menunjukkan gejala, lalu berpotensi menularkan ke anggota keluarga di kampung halaman. ”Tolonglah, tidak usah mudik. Kasihan keluarga di kampung,” ucapnya.