Sebulan yang Berat Diterpa Covid-19
Pasangan Kamaludin dan Yuni berhasil melewati serangan Covid-19. Karantina mandiri dan di rumah sakit dilalui. Namun, mungkin tidak semua warga bisa sesukses suami-istri itu. Tes usap yang mahal jadi salah satu kendala.
Kemudahan akses tes cepat dan pendidikan masyarakat mengenai penanganan Covid-19 menjadi landasan sebuah keluarga di Depok, Jawa Barat, bisa melalui cobaan ketika anggotanya dinyatakan positif mengidap virus korona baru. Tenggang rasa antartetangga membantu mereka tetap tabah dan optimistis melewati masa sulit.
Cobaan itu harus dilalui oleh Kamaludin (39) dan istrinya, Yuni Lestari (39). Selama sebulan lebih mereka harus berpisah dari kedua anak laki-lakinya, Habib (12) dan Adib (6). Pasangan suami-istri ini harus menjalani isolasi terpisah akibat terindikasi tertular Covid-19.
”Benar-benar tidak disangka. Saya cuma batuk-batuk kering di malam hari dan agak kelelahan setiap kali habis beraktivitas. Ternyata setelah diperiksa, saya positif korona,” kata Kamaludin ketika ditemui di rumahnya, Sabtu (16/5/2020).
Kisahnya dimulai pada awal April 2020 ketika mengantar ibu mertua yang sesak napas ke Rumah Sakit (RS) Brawijaya Depok. Ketika diperiksa, saturasi oksigennya hanya 50. Padahal, manusia normal semestinya memiliki saturasi oksigen 100. Ketika dipasangi alat bantu, saturasi hanya bisa mencapai 91.
RS tersebut kemudian merujuk ibu mertua ke RS Dompet Dhuafa (RSDD) di Bogor. Kebetulan, Kamaludin dan Yuni juga bekerja di lembaga pengelolaan sumbangan dan zakat tersebut. Pemeriksaan rontgen paru dan sampel darah mengindikasikan ada reaksi terhadap Covid-19.
Kamaludin segera meminta agar ibu mertua dan dirinya diberi tes Covid-19. Akan tetapi, RSDD tidak memiliki perlengkapan yang dibutuhkan. Ia pun segera mengontak kantor pusat Dompet Dhuafa tempat ia bekerja sebagai manajer divisi dhuafa. Perusahaan segera mengirim alat-alat tes agar Kamaludin dan mertuanya bisa secepatnya diperiksa.
”Di situ saya menyadari bahwa tes cepat, apalagi tes usap tenggorokan, tes darah, dan rontgen paru masih merupakan kemewahan. Kalau saya tidak memiliki akses melalui perusahaan tempat saya bekerja, kami tidak mungkin bisa diperiksa,” tuturnya.
Malangnya, ibu mertua meninggal dunia sebelum hasil tes keluar. Kamaludin memutuskan untuk tidak pulang dulu ke rumah dan menyewa wisma di RSDD sampai hasil tes keluar yang memang menyatakan bahwa dia positif mengidap Covid-19.
Ia mengaku terkejut. Pasalnya, sejak tiga pekan sebelum membawa mertuanya ke RS, Kamaludin sudah sepenuhnya bekerja dari rumah. Ia juga dipercaya sebagai ketua satuan tugas Covid-19 di perumahannya. Setiap rapat koordinasi selalu dilakukan melalui media sosial, ketika harus mengurusi logistik sumbangan di masjid perumahan, ia pasti membatasi jumlah panitia yang datang dan mengharuskan mereka menjaga jarak.
”Virus ini benar-benar tidak pandang bulu. Sampai sekarang pun saya masih tidak tahu tertular dari mana,” ujarnya yang segera dirujuk untuk diisolasi di RS Universitas Indonesia.
Virus ini benar-benar tidak pandang bulu. Sampai sekarang pun saya masih tidak tahu tertular dari mana.
Begitu hasil tes keluar, Kamaludin segera mengabari istrinya, Yuni, di rumah dan menyuruhnya untuk mengikuti tes cepat. Ia mengontak kantornya dan memohon agar difasilitasi. Namun, hal itu sukar dilakukan di RSDD karena Yuni masih trauma akibat kematian ibunya. Ketika diusulkan agar petugas kesehatan datang ke rumah untuk melakukan tes, Yuni menolak karena khawatir para tetangga akan panik melihat petugas memakai alat pelindung diri.
”Saya tidak dalam kondisi mental yang kuat saat itu. Untungnya salah satu tetangga adalah anggota kepolisian di bidang kesehatan. Ia berpengalaman melakukan tes cepat di markas Polda Metro Jaya. Setelah mengurus izin, ia diperbolehkan mengetes saya dan anak-anak. Dompet Dhuafa hanya perlu mengirim peralatan ke rumahnya,” tutur Yuni.
Hasil tes cepat mengindikasikan Yuni positif Covid-19 dan kedua anaknya negatif. Meskipun ia masih harus menjalani tes usap tenggorokan untuk memastikan keberadaan virus di dalam tubuhnya, Yuni tak mau mengambil risiko. Ia segera meminta bantuan orangtua Kamaludin di Karawang untuk mengasuh sementara Habib dan Adib.
Permintaan itu tidak tanpa resistensi dari pihak keluarga. Mereka khawatir kedua anak bisa menjadi pembawa virus. Butuh kesabaran bagi pasangan suami istri itu menjelaskan kepada sanak saudara bahwa anak-anak tidak memiliki virus berdasarkan hasil tes. Justru, demi keamanan, mereka harus dipisahkan dari orangtua untuk sementara. Akhirnya kedua anak pun dijemput agat bisa tinggal dengan kakek dan nenek di Karawang.
Anak-anak sejak bulan Maret juga telah dididik oleh kedua orangtua mengenai pandemi Covid-19. Bahkan, Habib juga kerap membaca berita di media arus utama mengenai perkembangan jumlah pasien.
”Kami menyadari bahwa kalau ada kejadian apa pun di luar sana jangan ditutup-tutupi dari anak. Sejak berita soal virus korona baru muncul di media, kami sudah menerangkan kepada anak tentang jaga jarak fisik. Setidaknya, hal ini menguatkan hati saya ketika harus berpisah dengan mereka bahwa mereka setidaknya mengerti situasi kami,” tutur Yuni.
Kami menyadari bahwa kalau ada kejadian apa pun di luar sana jangan ditutup-tutupi dari anak. Sejak berita soal virus korona baru muncul di media, kami sudah menerangkan kepada anak tentang jaga jarak fisik. Setidaknya, hal ini menguatkan hati saya ketika harus berpisah dengan mereka bahwa mereka setidaknya mengerti situasi kami.
Baca juga: Waktunya Memakai Pendekatan Spasial untuk Mencegah Pandemi
Tekanan mental
Kamaludin menceritakan pengalamannya ketika dirujuk ke RS Universitas Indonesia. Ia diantar dengan mobil ambulans. Sesampai di lobi instalasi gawat darurat, ia disambut petugas memakai APD lengkap. Petugas itu menyungkupkan plastik ke seluruh tubuh Kamaludin, baru ia boleh memasuki RS. Sepanjang perjalanan ke ruang isolasi, petugas kesehatan lainnya diminta agar tidak keluar ke koridor.
”Rasanya kesepian sekali karena petugas yang terlihat sepanjang koridor cuma mereka yang menangani saya. Memang, sih, di ruang isolasi ada lima pasien lain sehingga saya tidak kesepian, tetapi tetap saja kangen sekali dengan keluarga,” ujarnya.
Lain lagi dengan Yuni yang memutuskan menjalani isolasi mandiri di rumah. Ia mengaku sangat tertekan karena masih berduka atas kepergian ibunya. Tiba-tiba suaminya harus dirawat di RS dan kedua anak mereka diungsikan. Terkadang ia kehilangan semangat dan bersedih.
”Beruntung sekali para tetangga sangat peduli dan terus menyemangati saya. Mereka membantu saya berbelanja dan membawakan makanan. Biasanya barang-barang itu digantung di pagar. Jadi, kami tetap bisa berkomunikasi sambil menjaga jarak,” tuturnya.
Beruntung sekali para tetangga sangat peduli dan terus menyemangati saya. Mereka membantu saya berbelanja dan membawakan makanan. Biasanya barang-barang itu digantung di pagar. Jadi, kami tetap bisa berkomunikasi sambil menjaga jarak.
Beberapa hari menjalani isolasi, Yuni dijemput petugas kesehatan dan dibawa ke laboratorium Dinas Kesehatan Depok untuk tes usap tenggorokan. Setelah dua kali tes, ia dinyatakan negatif. Walaupun begitu, ia tetap harus mengisolasi diri di rumah. Bahkan, ketika Kamaludin kembali ke rumah pada tanggal 29 April mereka berdua tetap tidak boleh berada dalam satu ruangan.
Baca juga: Rumah, Pusat Hidup Normal Baru
Yuni mengaku pengalaman itu merepotkan sekaligus lucu. Ketika ia berada di dalam kamar, suaminya harus keluar. Ketika ia hendak menonton televisi di ruang tamu, Kamaludin harus masuk kamar. ”Kami seperti pasangan yang sedang ngambek-ngambekan,” katanya sambil terkekeh.
Informasi tes
Menurut Kamaludin, sejak masa karantina selesai, ia dan istri sering dikirimi pertanyaan oleh warga sekitar mengenai akses tes cepat. Mulai banyak warga yang berinisiatif memeriksakan diri, tetapi mereka terkejut ketika diberi tahu bahwa tes mandiri di rumah sakit biayanya bisa di atas Rp 1 juta.
Biasanya, warga langsung datang ke RS terdekat, tetapi ditolak karena RS tidak mempunyai perangkat tes cepat. Informasi mengenai prosedur tes belum sepenuhnya sampai ke kawasan permukiman.
”Kami membutuhkan kejelasan fasilitas mana saja yang menyediakan tes, terutama untuk warga kurang mampu,” ucapnya.
Baca juga: Pergub DKI Jakarta No 47/2020 Tidak Ganggu Iklim Usaha
Pekan lalu, Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Jawa Barat Daud Achmad mengatakan, pihaknya sudah mengirim 15.500 alat uji reaksi rantai polimerase (PCR). Akan tetapi, jumlah ini dibagi-bagi untuk 10 kabupaten/kota.