Kalau tidak dimulai dari diri sendiri, siapa yang memulai.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
Derita Jo Silver Radiangga (20), Sunarya (52), dan Ahmad Muyaronudin (25) bertumpuk-tumpuk akibat virus korona. Sudah kehilangan pekerjaan, tak mampu sewa hunian, Lebaran pun mereka rayakan tanpa keluarga. Namun, mereka malah bertekad jadi yang terdepan dalam mematuhi pembatasan sosial. Yang punya uang tapi meremehkan Covid-19 dengan meramaikan tempat belanja, seharusnya malu pada mereka.
Ketiganya tinggal sementara waktu di Gelanggang Remaja Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah tidak mampu lagi membayar sewa kamar kos, tawaran kasur lipat atau velbed di gelanggang remaja sebagai tempat istirahat adalah pilihan terbaik bagi mereka daripada menggelandang.
Ahmad bersama rekannya sedang membersihkan lantai ketika ditemui pada Jumat (22/5/2020). Di samping mereka, seorang ”warga” Gelanggang Remaja Tanah Abang lainnya tengah pulas berbaring. ”Kami biasa bergantian bersih-bersih. Biar nyaman tinggal di sini,” ucap pemuda asal Kendal, Jawa Tengah, itu.
Sudah lebih dari sepekan Ahmad ikut menjadi warga gelanggang remaja itu. Ia mendaftar untuk ditampung di sana setelah mendapat saran dari seorang polisi di Pasar Tanah Abang, tempat dia sebelumnya mencari nafkah. ”Mending saya cari tempat begini daripada tidur di jalanan,” ujarnya.
Ahmad adalah salah satu yang kehilangan pekerjaan di Ibu Kota akibat Covid-19. Setelah tiga bulan menjadi penjaga toko pakaian di Blok B Tanah Abang, ia harus menerima kenyataan tidak ada lagi pemasukan karena bosnya mematuhi kebijakan penutupan kios-kios Blok B sejak 27 Maret.
Gaji dari bulan sebelumnya sudah telanjur dikirim pada keluarga. Alhasil, Ahmad tak punya uang untuk melanjutkan sewa kos. Ia sudah memohon agar diberi waktu beberapa hari sambil dia mencari kerja lagi. Namun, pemilik kos sudah menaruh tas-tasnya di luar kamar. Ia diusir.
Ia sudah memohon agar diberi waktu beberapa hari sambil dia mencari kerja lagi. Namun, pemilik kos sudah menaruh tas-tasnya di luar kamar. Ia diusir.
Setelah sempat menumpang di kos temannya, Ahmad memilih pulang kampung awal Mei ini. Namun, baru sampai di Indramayu, Jawa Barat, polisi mencegat bus yang ditumpanginya dan menyuruh sopir putar balik. Ia terjebak di Jakarta karena ketentuan larangan mudik.
Ahmad merasa beruntung mendapat solusi dari polisi agar bisa menghuni gelanggang remaja sementara waktu meski ia mesti rela tidak pulang lagi pada Idul Fitri. Hari raya tahun ini adalah Lebaran keempat yang dilewatkannya tanpa bersama keluarga di kampung.
Ia tidak punya rencana apa pun untuk merayakan Idul Fitri di gelanggang remaja. Ahmad akan ikut-ikutan saja dengan acara di sana, jika ada. ”Kalau tidak ada perayaan, ya, di velbed saja, ha-ha-ha,” tuturnya.
Senasib dengan Ahmad, Jo Silver Radiangga atau Rangga juga diusir dari kosnya karena tidak sanggup lagi membayar biaya kontrak bulanan. Pertengahan April lalu, restoran tempatnya bekerja merumahkan dia tanpa gaji, dengan batas waktu yang belum jelas. Ia pun sempat dua hari menggelandang, tidur di emperan toko atau masjid.
Untungnya, Rangga mendapat informasi soal penampungan sementara di Gelanggang Remaja Tanah Abang pada Rabu (20/5/2020) sehingga ia tanpa ragu bergabung menjadi warga sementara tempat itu, Kamis (21/5/2020).
Sementara Sunarya, yang menjadi mantan sopir karena majikannya tidak sanggup lagi menggaji, sudah dua mingguan tinggal di Gelanggang Remaja Tanah Abang. Sebelumnya, setelah tidak memperpanjang sewa kos, ia tidur di basemen sebuah apartemen.
Seperti Ahmad, Rangga dan Sunarya pun akan menikmati hari raya hanya di dalam gelanggang. Panggilan video dengan keluarga di kampung masing-masing bakal jadi pelepas rindu terbaik.
Namun, di balik nestapa hari raya tahun ini, pilihan Ahmad, Rangga, dan Sunarya untuk berdiam di gelanggang remaja juga menjadi pesan dari mereka kepada khalayak. Mereka rela tidak berkumpul dengan keluarga demi memutus mata rantai penularan virus korona baru.
Sunarya berupaya membatasi waktu bepergian keluar gelanggang demi turut mencegah meluasnya Covid-19. Tetap tinggal di dalam, termasuk saat hari raya nanti, adalah pilihan terbaik. ”Saya nikmati saja. Kan, kondisi ini bukan saya saja yang mengalami,” tuturnya.
Rangga mengatakan, biasanya ia berlebaran di rumah kakek dan neneknya di Cibinong, Kabupaten Bogor. Kemeriahan terasa sejak malam takbiran yang diriuhkan dengan penyalaan petasan. Meski Cibinong tidak sampai 50 kilometer dari Gelanggang Remaja Tanah Abang, ia tidak ingin menuruti ego sendiri.
Kakeknya sudah memiliki penyakit prostat, sedangkan neneknya menderita asma dan darah tinggi. ”Kalau saya bawa penyakit terus mereka ’lewat’, kan, kitanya juga sedih,” ujar Rangga.
Kakeknya sudah memiliki penyakit prostat, sedangkan neneknya menderita asma dan darah tinggi. ”Kalau saya bawa penyakit terus mereka ’lewat’, kan, kitanya juga sedih.
Ia pun teringat dengan lonjakan jumlah kasus harian pada Kamis yang memecahkan rekor jumlah kasus harian tertinggi di Indonesia. Hanya dalam sehari, ada tambahan 973 orang positif Covid-19. ”Saya di sini saja, biar aman, biar cepat kelar. Kalau tidak dimulai dari diri sendiri, siapa yang memulai,” tambahnya.
Sikap Rangga, Sunarya, dan Ahmad bertolak belakang dengan orang-orang yang punya rezeki lebih banyak dari mereka, tetapi memilih meremehkan risiko penularan virus. Mereka keluar rumah, berjubel di pasar dan pusat perbelanjaan, demi mendapatkan pakaian baru untuk hari raya.
Menurut Bambang Hudayana, dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, terdapat dua budaya yang sudah amat mengakar di Indonesia sehingga masih banyak orang mengabaikan pembatasan sosial. Keduanya yaitu budaya preventif yang rendah dan budaya fatalistik yang tinggi.
Ada kecenderungan sikap di masyarakat untuk memilih mengatasi masalah saat sudah terjadi dibandingkan dengan mencegah masalah sampai terjadi. Itulah mengapa banyak orang yang baru datang ke rumah sakit saat penyakit sudah parah dan makin sulit ditangani.
Sementara budaya fatalistik yang tinggi, yaitu menganggap segala sesuatunya terjadi karena takdir atau kehendak Ilahi. ”Fatalistik, bersabar, nrimo, tidak konfrontatif, itu dianggap sebagai hal yang positif di masyarakat,” ujar Bambang.
Sayangnya, Bambang melihat sikap pemerintah dalam menangani Covid-19 juga mengikuti budaya fatalistik. Salah satu buktinya, pemerintah mengajak masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19.
Sayangnya, Bambang melihat sikap pemerintah dalam menangani Covid-19 juga mengikuti budaya fatalistik. Salah satu buktinya, pemerintah mengajak masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19.
Sepertinya, ajakan berdamai diartikan oleh sebagian masyarakat sebagai pembiaran untuk mengabaikan risiko. Semoga kemauan Rangga, Sunarya, dan Ahmad untuk tetap tinggal di gelanggang remaja, meski hari raya sekalipun, tidak berbuah sia-sia.