Pasar Asemka Kembali Meriah, Awas Bisa Jadi Kluster Penularan Covid-19 Baru
Tidak tahan dengan kondisi keuangan yang terus menipis, pedagang kembali berjualan di Pasar Asemka. Banyak pedagang dan warga tak mematuhi aturan PSBB, seperti tak mengenakan masker dan tak menjaga jarak.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terimpit permasalahan ekonomi selama pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, ratusan pedagang nekat membuka lapak di Pasar Pagi Asemka, Roa Malaka, Jakarta Barat. Setidaknya dua hari terakhir, Pasar Asemka kembali dipadati warga yang mengabaikan aturan jaga jarak fisik dan protokol kesehatan. Kondisi ini bisa berpotensi menjadi kluster baru penularan penyakit yang disebabkan virus korona baru.
Lapak-lapak pedagang kaki lima (PKL) dan sejumlah toko di Pasar Pagi Asemka, Selasa (26/5/2020), ramai dan dipadati pengunjung yang hendak berbelanja. Sejumlah orangtua pun membawa serta anak tanpa alat perlindungan diri seperti masker.
Ruli (34), pedagang mainan di Pasar Pagi Asemka, mengatakan, meski ada larangan berjualan, ia harus kembali membuka lapak karena tak tahan dengan kondisi keuangan yang semakin menipis dan harus memenuhi kebutuhan harian.
”Saya dan pedagang lainnya sudah buka dari kemarin (Senin). Alhamdulillah laku, banyak warga yang datang membeli mainan meski belum menutup modal. Kalau diakumulasikan sejak PSBB dan larangan berjualan sebenarnya masih rugi. Bukannya tak mau taat aturan, tapi sudah terimpit masalah ekonomi. Saya harus berjualan,” kata Ruli yang hingga sekitar pukul 13.00 sudah mengantongi uang sekitar Rp 600.000.
Ruli sadar, jika aksi nekatnya berjualan pada masa PSBB tentu akan mengundang keramaian warga untuk berbelanja. Namun, selama dagangannya laku, ia tak terlalu memedulikan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid-19.
”Dalam kondisi terimpit ekonomi saat ini, harus bagaimana? Nekat saja, insya Allah aman. Saya sehat-sehat saja. Kami juga pihak yang terdampak. Mau sampai kapan dilarang berjualan? Pemerintah juga tidak memberikan jaminan apa-apa. Mengandalkan bansos (bantuan sosial) saja tidak cukup,” tegas Ruli.
Mau sampai kapan dilarang berjualan? Pemerintah juga tidak memberikan jaminan apa-apa. Mengandalkan bansos (bantuan sosial) saja tidak cukup.
Pedagang lainnya, Rizal (40), juga tak mau lama-lama berdiam menunggu ketidakjelasan akhir dari pandemi Covid-19. Ia pun tak lagi memedulikan protokol kesehatan dan sewaktu-waktu akan dirazia petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP).
”Tanya ke semua pedagang di sini atau pasar lainnya. Pasti mereka tak tahan dengan kondisi serba tak jelas ini. Terimpit pandemi Covid-19 dan ekonomi, itu buat kami sengsara, semua sengsara dan terdampak. Tapi kami butuh pemasukan harian. Jika tidak berjualan, dengan apa kami bertahan? Kami juga berharap ada pengertian dari petugas satpol PP agar tidak menindak kami,” kata Rizal.
Rizal melanjutkan, selama PSBB dan bulan Ramadhan petugas satpol PP kerap datang memberikan imbauan larangan berjualan hingga pemberian sanksi kepada pedagang. Ia pun pernah mendapat teguran dari petugas. Namun, saat petugas pergi dan kondisi dinilai aman, ia dan pedagang lainnya kembali berjualan.
”Seperti dua hari ini, tidak ada petugas satpol PP. Aman, jadi kami berjualan,” kata ayah tiga anak itu.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Barat Tamo Sijabat mengatakan, petugas bukan tak berjaga atau membiarkan keramaian terjadi di Pasar Pagi Asemka. Keterbatasan jumlah personel dan banyak tempat yang harus diawasi menjadi alasan petugas tidak selalu bisa setiap saat memantau pedagang di Pasar Asemka.
”Kami sering datang ke Pasar Asemka. Sudah kami beri imbauan, teguran, dan saksi berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor Nomor 33 Tahun 2020. Tapi, personel kami terbatas, tidak bisa tiap saat kami awasi karena ada wilayah lain yang harus kami pantau. Tentu jika ada keramaian kami akan tindak tegas,” kata Tomo saat dihubungi.
Tomo melanjutkan, rata-rata yang berjualan di Pasar Pagi Asemka adalah pedagang mainan yang tidak dikecualikan saat PSBB diberlakukan. Momen libur Lebaran menjadi peluang bagi pedagang meraup keuntungan tanpa memperhatikan kondisi dan situasi pandemi Covid-19.
”Nah ini, selain ketertiban dan kedisiplinan dari pedagang, warga juga harus ikut disiplin untuk tak keluar berbelanja. Kalau hanya untuk membeli main anak, kan, bisa ditunda dulu. Kita sama-sama jaga kondisi kesehatan di masa pandemi dan PSBB. Jangan bawa anak ke tempat ramai,” kata Tomo.
Selain ketertiban dan kedisiplinan dari pedagang, warga juga harus ikut disiplin untuk tak keluar berbelanja. Kita sama-sama jaga kondisi kesehatan di masa pandemi dan PSBB.
Sementara itu Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tampak sepi dari aktivitas jual beli. Kondisi itu membuat Indra (43), pedagang pakaian, bingung untuk memenuhi kebutuhan harian.
”Petugas satpol PP cukup ketat di sini, saya curi-curi berjualan karena harus memenuhi kebutuhan harian dan bayar kontrakan. Bahkan dua hari ini tak ada uang yang masuk,” kata pria asal Padang, Sumatera Barat, itu yang sangat berharap Pasar Tanah Abang kembali diizinkan untuk beroperasi.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasojo, mengatakan, masih terjadinya keramaian di sejumlah daerah di Jakarta dan Indonesia karena pelanggaran aturan dilakukan secara kolektif. Satu komunitas atau kelompok melakukan ketidakpatuhan akan mudah diikuti oleh kelompok lainnya. Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada penyebaran Covid-19. Aturan tegas dan perlindungan hak secara ekonomi dari pemerintah pun turut andil membuat situasi di akar rumput menjadi lemah.
”Bansos banyak yang tidak tepat sasaran. Jika pun warga menerima, itu belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, ada anggapan bahwa ketika warga atau pedagang melanggar PSBB dan protokol kesehatan, mereka masih tetap sehat. Anggapan itu membuat warga tetap beraktivitas,” papar Imam.