Situasi pandemi Covid-19 tak membuat warga lemah. Mereka yang ada di level komunitas bekerja keras menghindari paparan virus dan berjuang hidup mandiri.
Oleh
Aditya Diveranta/Dahlia Irawati
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekuatan warga di level komunitas terlihat liat menghadapi pandemi Covid-19. Mereka saling membantu mencari solusi agar terhindar dari paparan virus korona jenis baru hingga bersiasat agar tetap produktif.
Kendati rentan menghadapi bencana, Indonesia dianggap memiliki modal sosial yang kuat. Budaya tolong-menolong di lingkungan warga membantu meringankan beban mereka saat krisis. ”Fenomena yang muncul di masyarakat belakangan justru adalah inisiatif karantina mandiri lingkungan kecil masyarakat atau level komunitas,” kata asisten profesor bidang sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, saat telekonferensi dengan Kompas, Jumat (29/5/2020).
Solidaritas antarmasyarakat merupakan modal sosial untuk merespons situasi krisis pandemi. Mereka terlihat giat dalam mengantisipasi situasi pandemi. ”Namun, kesadaran ini akan percuma apabila tidak dikelola. Pemerintah harus menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat dan menghilangkan kesan ada konflik kepentingan antara lembaga pemerintahan,” tutur Sulfikar.
Di sisi lain, pandemi kali ini menunjukkan kerentanan Indonesia dalam penanganan bencana non-alam. Bencana ini memaksa pemegang otoritas untuk memperbaiki koordinasi penanganan serta mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat. Dua hal ini belum berjalan optimal.
Sulfikar menyoroti hal itu dalam perspektif ketahanan teknososial atau sociotechnical resilience. Ketahanan ini disokong oleh kesiapan infrastruktur, kebijakan pemerintah, kebudayaan, kelembagaan, serta keterlibatan akademisi.
Meski kuat dalam modal sosial, Indonesia terlihat lemah dari sisi kesiapan infrastuktur, lembaga penanganan wabah, keterlibatan akademisi, serta kebijakan pemerintah antara pusat dan daerah. ”Situasi pandemi sekarang ini memang berbeda dibandingkan dengan wabah SARS yang terjadi pada periode sebelumnya, ditambah pula dengan Indonesia yang minim pengalaman menangani wabah,” kata Sulfikar.
Kesiapan infrastruktur, misalnya. Di Indonesia hanya tersedia 1,2 tempat tidur di rumah sakit untuk 1.000 orang. Angka ini mengacu pada data Bank Dunia tahun 2015. Jumlah ini sangat rendah dibandingkan dengan Jepang yang tersedia 13,4 tempat tidur untuk 1.000 orang.
Pandemi juga diperparah dengan absennya lembaga khusus penanganan wabah non-alam. Meski ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lembaga ini tidak spesifik menangani wabah. ”Semestinya Indonesia memiliki pusat pengendalian dan pencegahan wabah (CDC) seperti di Amerika Serikat. Singapura juga memusatkan kendali penanganan wabah kepada lembaga yang mereka rintis, yaitu National Centre for Infectious Disease (NCID),” ujar Sulfikar.
Ketika lembaga penanganan wabah dibuat, sebaiknya pula melibatkan orang-orang yang berkompeten secara epistemologis. Sulfikar menyayangkan sejumlah saran dari peneliti Indonesia seakan diabaikan dalam situasi pandemi. Padahal, berbagai temuan serta data penelitian itu semestinya dikumpulkan, kemudian dikomparasi untuk melihat seberapa jauh risiko wabah saat ini.
Berdampak
Solidaritas warga di level komunitas membuahkan hasil positif pada penanganan Covid-19, salah satunya terjadi di Kabupaten dan Kota Malang, serta Kota Batu, Jawa Timur. Di sebuah perumahan di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, misalnya, saat ada warga positif Covid-19, mereka bahu-membahu menyediakan makanan siap makan bagi keluarga tersebut. Tujuannya agar pasien positif tersebut dan keluarganya bisa menjalani isolasi mandiri dengan tenang. Hasilnya, masa isolasi mandiri bisa dijalani dengan baik oleh keluarga tersebut dan kini warga yang semula positif Covid-19 tersebut sudah sembuh.
Solidaritas serupa juga terjadi di tingkat RW di Kota Malang. RW menjadi benteng pencegahan dan penanganan Covid-19. Mulai dari deteksi aktivitas keluar masuk warga, menyediakan tempat karantina sementara, hingga menjamin adanya ”lumbung pangan” bagi warga yang membutuhkan. Konsep RW tangguh itu kemudian dipopulerkan menjadi kampung tangguh. Konsep kampung tanggung saat ini sudah direplikasi di Jawa Timur.
Salah satu model lumbung pangan misalnya ada di RW 005 Kelurahan Purwantoro, Kota Malang. Sejak dua minggu lalu, ibu-ibu di sana membuat pasar bahan pangan bagi warga yang membutuhkan. Di sana, warga yang membutuhkan bisa mengambil kebutuhan makan harian secara gratis. ”Ada yang menyumbang dan ada yang mengambil secara gratis. Sebagian juga ada yang barter apa yang dimiliki, dengan kebutuhan yang diinginkan. Intinya, kebutuhan sehari itu bisa diambil di sini mulai dari beras setengah kg, gula ¼ kg, sayur dan lauk,” kata Rini Yudaningsih (53), warga RT 005 RW 005 Kelurahan Purwantoro.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menilai, modal sosial dan solidaritas kemasyarakatan tinggi tersebut adalah kekuatan Malang Raya. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Malang Raya pun dinilai efektif sehingga tidak perlu diperpanjang. ”Kebersamaan dan solidaritas masyarakat berbasis RT, RW, dan desa seperti ini akan efektif dalam mencegah penularan dan penyebaran Covid-19,” kata Khofifah.
Solidaritas semacam itu terlihat di sejumlah daerah lain di Indonesia di level komunitas. Karena alasan itu, Sulfikar Amir melontarkan gagasan microlockdown dalam artikelnya berjudul ”Total Lockdown”, ”Micro- lockdown”, ”Social Distancing” di Kompas, Selasa, 14 April 2020. Menurut dia, komunitas adalah lapisan sosial yang terkena langsung dan karena itu memiliki peran penting dalam mengantisipasi epidemi. Ini diperkuat dengan hasil penelitian bahwa ketahanan bencana di Indonesia berada pada tingkat komunitas.