Inisiatif Karantina Mengendur Menjelang Normal Baru
Sebagian warga Jakarta mulai melonggarkan akses ke permukiman seiring munculnya wacana kebijakan normal baru. Warga diingatkan bahwa normal baru bukan berarti pembatasan sosial melonggar, melainkan semakin ketat.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Sepeda motor Fadhli (31) leluasa melintasi jalan di kawasan permukiman sekitar Kemanggisan, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (3/6/2020) siang. Rutinitasnya mengantar gas elpiji tidak lagi terhalang portal penyekat di sepanjang jalan kawasan perumahan. Padahal, kawasan ini sebelumnya tertutup karena karantina pembatasan sosial dalam sebulan terakhir.
Fadhli, yang juga warga setempat, bercerita, sebagian wilayah di sekitar rumah kontrakannya mulai membuka sekat portal pada pekan ini. Setahu dia, pembukaan portal saat ini mengikuti keputusan pemerintah terkait kebijakan normal baru.
Pemandangan serupa terlihat di salah satu akses jalan menuju RW 005 Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Akses portal yang ditutup dalam sebulan terakhir dan masih terpampang spanduk bertuliskan ”Dilarang masuk, sedang karantina mandiri” kini terbuka untuk umum.
Fahlevi (25), warga setempat, menuturkan, pembukaan sejumlah jalan di wilayahnya menyusul kondisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang belakangan kian longgar. Namun, berdasarkan kesepakatan sejumlah warga, akses jalan di sana tetap disekat portal pada malam hari.
”Ya, sudah seminggu lebih portalnya dibuka kalau pagi. Habisnya bagaimana, ya, mau PSBB juga tetapi jalanan masih ramai. Sekarang pun sepertinya sudah makin longgar ya, orang-orang mulai aktivitas seperti biasa,” ujarnya.
Kondisi yang terjadi di sekitar kawasan Kebon Jeruk dan Palmerah, Jakarta Barat, mungkin mewakili sebagian kecil situasi PSBB selama pandemi Covid-19. Pembatasan yang berjalan lebih dari dua bulan terakhir tampak semakin longgar di beberapa wilayah. Sebagian orang juga belakangan menganggap istilah normal baru sebagai situasi kelonggaran beraktivitas yang diberikan oleh pemerintah.
Padahal, istilah normal baru atau the new normal semestinya dipahami sebagai berjalannya kegiatan masyarakat dengan kesadaran dan perilaku kolektif menempatkan protokol pencegahan penularan Covid-19 sebagai perhatian. Dalam wawancara terbatas, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menjelaskan, pemerintah tengah menyiapkan kebijakan tersebut sebagai antisipasi kerumunan masyarakat agar tetap produktif dan aman dari penularan Covid-19.
Terkait itu, akan ada uji coba penerapan kebijakan normal baru di beberapa kota dan kabupaten yang dianggap siap per awal Juni. Ada sedikitnya 18 protokol sektor sebagai acuan penerapan normal baru yang sedang disusun (Kompas, 31/5/2020).
Akademisi dan praktisi klinis Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menyayangkan kondisi pembatasan sosial yang semakin mengendur di sebagian wilayah Jakarta. Keadaan ini pun dipersulit dengan pemahaman yang salah terkait kelonggaran ini sebagai situasi normal baru. ”Saya melihat ada salah kaprah terkait pemahaman situasi normal baru di kalangan publik. Normal baru bukannya melonggarkan protokol keamanan yang ada, melainkan justru memperketat praktik physical distancing,” ujarnya.
Ari menekankan, protokol pencegahan Covid-19 justru harus semakin diperketat lantaran Jakarta masih memiliki sejumlah zona merah penularan. Sebab, Selasa (2/6/2020), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut ada sebanyak 62 RW di 46 kelurahan yang masih tergolong sebagai zona merah Covid-19.
Karena itu, sebelum menerapkan kebijakan normal baru, Ari menyarankan pemerintah tegas dalam menimbang wilayah mana yang benar-benar pantas. Sebelum mengarah normal baru, alasan untuk melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang kini berlaku harus jelas.
”Saat pandemi, diakui, kita tidak bisa terus-menerus stay at home. Ada hal-hal yang harus kita kerjakan di luar rumah, terutama bagi sektor-sektor strategis dan kegiatan pendidikan. Maka dari itu, kebijakan normal baru harus benar-benar dipertimbangkan secara matang,” ujar Ari yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Associate Professor bidang sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, menyampaikan, kondisi pembatasan sosial yang semakin longgar saat ini membutuhkan intervensi sosial. Cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah menguatkan komunitas warga dalam mencegah penularan Covid-19.
Dalam telekonferensi pers bersama gerakan masyarakat Lapor Covid 19, Minggu (31/5/2020), Sulfikar menjelaskan, normal baru adalah konsep yang benar-benar pertama kali diadopsi pemerintah. Dia mengingatkan, banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menuju situasi tersebut.
”Mengacu pada syarat WHO, normal baru bisa relevan apabila Indonesia mampu mengendalikan tingkat penularan Cocid-19 di masyarakat. Berkaca pada hal itu saja, angka penularan di Indonesia saat ini sepertinya masih belum memenuhi syarat, begitu pula di Jakarta,” ujarnya.
Sulfikar menyarankan, pemerintah sebaiknya menguatkan kepatuhan sosial terhadap protokol kesehatan dan pencegahan Covid-19. Sebab, kepatuhan setiap warga berpengaruh kepada tingkat penularan suatu wilayah.
Sulfikar menjelaskan, adanya konsep persepsi risiko yang muncul di kalangan masyarakat. Persepsi risiko terhadap wabah yang rendah bisa jadi berpengaruh pada tingkat kepatuhan pembatasan sosial. ”Kepatuhan terhadap protokol sangat dipengaruhi persepsi risiko terhadap wabah. Hal ini yang juga sedang diteliti. Kalau kesadaran pembatasan sosial di suatu lingkungan rendah, akan sulit mewujudkan kepatuhan protokol, apalagi menuju ke situasi normal baru,” katanya.
Situasi pembatasan sosial yang tampak kendur di sejumlah wilayah bisa jadi pertanda rendahnya persepsi risiko masyarakat terhadap Covid-19. Apabila keadaan ini terus berlanjut, normal baru pun kemungkinan besar tidak akan berpengaruh banyak bagi publik. Alih-alih berkurang, tingkat penularan dikhawatirkan semakin parah.