Menguji Kemampuan Pemerintah Menangani Transportasi Kala Pandemi
Ini merupakan tanggung jawab pemerintah yang telah melonggarkan PSBB yang tentu saja perlu ditopang kesadaran dan kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan. Jangan main-main dengan keselamatan atau nyawa.
Sektor transportasi seakan-akan menjadi ajang uji coba berbagai kebijakan pemerintah di kala pandemi Covid-19 mulai merebak hingga transisi menuju normal baru. Berbagai kebijakan di sektor tersebut telah ditelurkan Kementerian Perhubungan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan pemerintah daerah atau instansi terkait. Lengkap, mulai dari transportasi darat, udara, hingga laut.
Ada kebijakan membatasi secara ketat operasi seluruh moda transportasi untuk melayani perjalanan orang. Kemudian muncul kebijakan mengatur perjalanan orang yang akan menggunakan moda transportasi secara bersyarat. Di sektor transportasi udara, ini berujung pada penumpukan calon penumpang pesawat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, awal Mei 2020.
Sempat juga mengemuka larangan kendaraan roda dua, baik secara konvensional maupun daring, mengangkut penumpang. Kebijakan ini membingungkan para pengojek dan masyarakat karena ada ambiguitas dalam regulasi itu. Di sisi lain, ada perbedaan kebijakan antarinstansi pemerintah pusat dan daerah.
Hingga kemudian muncul kebijakan pelonggaran pembatasan transportasi sebagai gaung kebijakan pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui PSBB transisi menuju normal baru. Kebijakan itu mulai dari menambah kapasitas muat penumpang secara bertahap hingga memperlunak persyaratan bepergian. Tujuannya untuk menopang pergerakan orang, terutama dari dan menuju tempat kerja.
Kendati begitu, banyak pekerja yang tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan moda transportasi umum yang terjebak antrean di stasiun-stasiun kereta rel listrik (KRL). Di dalam KRL, menjaga jarak fisik memang masih bisa dilakukan kendati terbatas, tetapi penumpukan calon penumpang justru terjadi di peron dan luar kompleks stasiun.
Keluarlah inisiatif dari pemerintah untuk mengangkut penumpang dengan bus-bus yang disediakan di sejumlah stasiun di saat jam keberangkatan dan kepulangan pekerja. Namun, apakah kapasitas bus-bus itu mencukupi? Bagaimana dengan pengaturan penumpang di dalam bus?
Terbaru, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengatur pembagian sif kerja melalui Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengaturan Jam Kerja pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 di Wilayah Jabodetabek.
Surat edaran tersebut membagi jam kerja instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta ke dalam dua sif. Giliran pertama masuk kerja pukul 07.00-07.30 dan pulang pukul 15.00-15.30. Giliran kedua masuk antara pukul 10.00-10.30 dan pulang pukul 18.00-18.30.
Dilanjutkan dengan Pemerintah DKI Jakarta yang semula mengatur jam kerja pada pukul 07.00-16.00 dan 09.00-18.00. Lantaran tetap terjadi penumpukan calon penumpang dan untuk menghindari kepadatan lalu lintas, DKI Jakarta mengubah waktu jeda jam masuk kerja menjadi pukul 07.00-16.00 dan 10.00-19.00.
Jika tak diperhatikan, Pemerintah DKI Jakarta akan memberikan sanksi tegas berupa denda Rp 5 juta sampai Rp 50 juta. Hal ini mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di DKI Jakarta.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Ridwan Djamaluddin mengemukakan, pemerintah telah mengatur pembagian jam kerja dengan selisih tiga jam guna menghindari kerumunan manusia pada transportasi publik serta kemacetan pada jam-jam sibuk.
Hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyebutkan, 75 persen penumpang transportasi umum adalah karyawan. Ketentuan pengaturan jam kerja dalam jangka panjang dinilai akan mengurangi kemacetan, penurunan emisi karbon, dan meningkatkan kualitas hidup.
”Kebiasaan baru ini harus diantisipasi dan (masyarakat) tetap fokus agar jangan tertular dan tetap produktif. Gunakan teknologi semaksimal mungkin untuk menolong kita,” katanya dalam konferensi pers virtual, Senin (15/6/2020).
Ridwan menambahkan, per Senin, jumlah penumpang angkutan umum menunjukkan kenaikan 11 persen, tetapi masih terkendali. ”Pelaku industri dan masyarakat diharapkan kooperatif. Seluruh pihak perlu memperjuangkan agar tidak terjadi penumpukan penumpang di angkutan massal,” katanya.
PT Kereta Api Indonesia (Persero) mengapresiasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang telah mengatur jam kerja pada masa adaptasi kebiasaan baru. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi kepadatan KRL, terutama di jam-jam sibuk.
”Kepadatan di jam sibuk diharapkan dapat dikurangi dengan adanya pengaturan jam kerja tersebut,” kata Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Didiek Hartantyo melalui siaran pers, Senin (15/6/2020).
KAI juga mengapresiasi penyediaan bus gratis oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang dapat membantu mengurangi antrean di stasiun KRL. Sebagai gambaran, Surat Edaran Direktorat Jenderal Kereta Api Nomor 14 Tahun 2020 membatasi kapasitas KRL maksimal 45 persen atau 74 penumpang per kereta.
Dalam Dialog Publik Konektivitas Membangun Bangsa bertema ”Kolaborasi untuk Adaptasi Kebiasaan Baru Sektor Transportasi”, pengamat transportasi dan akademisi Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, berpendapat, terkait pandemi Covid-19 menuju era normal baru, semua pihak perlu hati-hati dan bertanggung jawab sehubungan dengan mobilitas warga. Pandemi Covid-19 menjadikan semua industri transportasi babak belur.
”Pemerintah Amerika Serikat memberikan insentif, bantuan yang cukup besar, sebagai jaring pengaman agar tidak ada pemutusan hubungan kerja massal. Berikutnya, bantuan tersebut juga dapat digunakan untuk modal operasi pada saat kondisi menuju normal,” kata Djoko.
Ridwan mengemukakan, kondisi saat ini merupakan kondisi darurat sehingga apabila terjadi beban biaya operasional, pelaku industri transportasi bisa membicarakan dengan pemerintah. Pemerintah telah memberikan sejumlah insentif bagi pelaku industri transportasi yang terdampak Covid-19.
Di industri penerbangan, terbuka peluang bagi pengelola maskapai untuk menaikkan tarif tiket dengan memanfaatkan tarif batas atas. ”Harga batas atas belum dimanfaatkan. Kalau mau silakan dimanfaatkan peluang menaikkan harga tiket pesawat sesuai peluang batas atas,” katanya.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memiliki program pembelian layanan atau buy the service (BTS). ”Itu seharusnya dikembangkan terus-menerus agar tahun depan bisa lebih banyak lagi. Di Jakarta ada Transjakarta. Model (BTS) ini, bagusnya, operatornya itu swasta,” kata Djoko.
Teknologi
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub terus melanjutkan program pelayanan bus secara digital secara bertahap. Bus ini berbasis program pembelian layanan atau BTS.
Layanan ini dilengkapi dengan peralatan yang mendukung internet of things (IoT) untuk memonitor perilaku pengemudi dan kabin, automatic passenger counting sebagai alat penghitung jumlah pengguna yang menggunakan bus, serta aplikasi untuk menyampaikan informasi posisi bus secara realtime kepada masyarakat.
Pembayarannya jasa angkutan itu dilakukan secara nontunai menggunakan uang elektronik, seperti Tap Cash BNI, Flazz BCA, E-money Mandiri, dan Brizzi BRI.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menuturkan proyek percontohan skema BTS tahun 2020 ada di lima kota, yakni Medan, Palembang, Yogyakarta, Solo, dan Denpasar. ”Kami menggunakan bus sedang dengan anggaran yang disiapkan pemerintah pusat, masing-masing sekitar Rp 50 miliar,” kata Budi.
Terkait angkot, Budi menuturkan, hal yang pernah didiskusikan adalah kemungkinan skema subsidi. Namun, subsidi tersebut hanya diberikan kepada daerah-daerah yang susah terjangkau dengan kecenderungan angkot merupakan salah satu opsi sarana pergerakan masyarakat.
Pandemi membuat pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan terkait terus mengadaptasi kebijakan dan terobosan di bidang transportasi. Tujuannya adalah memastikan petugas lapangan dan penumpang tidak menjadi terpapar Covid-19.
Ini merupakan tanggung jawab pemerintah yang telah melonggarkan PSBB yang tentu saja perlu ditopang kesadaran dan kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan. Jangan main-main dengan keselamatan atau nyawa.