Pengurus RW Tak Bisa Tolak Pendatang meski Tanpa SIKM
Pendatang bebas masuk Jakarta tanpa SIKM karena tak ada pengawasan ketat di titik pemantauan. Sementara pengurus RW tak bisa menolak kedatangan mereka.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan surat izin keluar masuk atau SIKM bagi pendatang yang masuk ke Jakarta terhitung longgar. Hal itu menyebabkan pengurus RW tidak bisa menolak kedatangan mereka meskipun tak dilengkapi surat-surat yang dibutuhkan.
Setelah hampir dua bulan di kampung halaman, Kuningan, Jawa Barat, Indra (53) memutuskan kembali ke Jakarta untuk berjualan bersama dua anaknya. Tidak ada surat izin keluar masuk (SIKM) yang ia siapkan untuk masuk ke Jakarta. Indra hanya perlu mengeluarkan uang lebih membayar travel gelap untuk lolos dari pemeriksaan di titik pemantauan SIKM.
”Tiket Kuningan-Jakarta itu hanya Rp 150.000 per orang, tetapi kemarin saya harus keluarin uang Rp 350.000 per orang. Saya bawa dua anak sehingga total saya bayar ke travel Rp 1.050.000. Sepanjang perjalanan kami lewat jalan tikus dan pas lewat tol lolos saja tuh, aman dan tak diperiksa,” kata Indra yang membuka warung bubur kacang hijau di daerah Duren Selatan, Jakarta Barat, Kamis (18/6/2020).
Sehari setelah tiba di rumah kontrakannya, ia didatangi petugas RT dan RW untuk meminta kelengkapan SIKM, seperti surat jalan hingga surat sehat dari rumah sakit atau puskesmas tempat asal Indra tinggal. Namun, Indra tak bisa menunjukkan surat tersebut.
Kalau sudah tiba atau masuk wilayah, masa kami usir. Ya, tidak sampai hati melakukan itu.
Karena tak memiliki SIKM, rumah kontrakan Indra pun ditandai oleh pengurus RT/RW. Pihak pengurus pun akhirnya membiarkan Indra dengan syarat tidak berkeliaran jauh dari lingkungan.
Ketua RW 001 Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Fijay Samsudin, mengatakan, mereka tak memiliki kuasa mengusir pendatang yang tidak memiliki kelengkapan SIKM. Pihak pengurus hanya meminta pendatang untuk isolasi mandiri selama 14 hari dan mengikuti tes cepat berdasarkan saran dari puskesmas.
”Sudah ada pendatang yang kami data dan serahkan ke kelurahan, lalu dilanjutkan ke puskesmas untuk dilakukan tes cepat. Jadi, puskesmas akan menghubungi mereka untuk test cepat,” kata Fijay.
Fijay mengaku hanya beberapa pendatang yang mereka pantau. Sejauh ini dari 14 RT di RW 001, baru RT 013 dan RT 009 yang mereka pantau dan data. Dukungan dari kelurahan, camat, hingga kota juga kurang dalam membantu pemantauan dan pengawasan. Berdasarkan data, kata Fijay, ada 15 keluarga pendatang, tetapi yang baru ditindaklanjuti Gugus Tugas Covid-19 kelurahan baru enam keluarga.
”Jadi, para pendatang ini kami data, lalu kami laporkan ke Gugus Tugas Covid-19 tingkat kelurahan. Sampai saat ini juga belum semua ada tindak lanjut karena mereka juga sibuk pantau wilayah pasar yang saat ini jadi perhatian lebih,” kata Fijay.
Bahrudin, Ketua RW 002 Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga mengungkapkan hal sama. Tak semua pendatang bisa terpantau secara maksimal.
”Para pendatang kami mintai SIKM, tetapi tidak lengkap atau sama sekali tidak ada. Jadi, kami minta mereka isolasi mandiri. Itu pun mereka lakukan tidak sampai 14 hari. Kami minta tes cepat mandiri, tetapi mereka tidak punya uang. Masa kami yang biayai, itu tidak mungkin,” kata Bahrudin.
Menurut dia, pengawasan pergerakan pendatang seharusnya lebih diketatkan di titik pemantauan SIKM, bukan di wilayah RT/RW. Ketika pendatang sudah tiba di Jakarta, tentu pengurus RT/RW tidak bisa bertindak lebih.
”Kami juga masih disibukkan dengan bansos. Pemantauan pendatang tentu tidak maksimal, bagaimana caranya kami cegah mereka ketika sudah tiba? Seharusnya pengetatan dilakukan saat di titik pematauan SKIM. Kalau sudah tiba atau masuk wilayah, masa kami usir. Ya, tidak sampai hati melakukan itu,” kata Bahrudin.