Betawi yang Terbuka dan Dinamis, Betawi Kita sejak Dulu
Abdul Aziz ingin menghadirkan kembali budaya Betawi dengan tidak mengikuti pakem. Salah satu upaya lainnya adalah mengajak anak muda bertukar pikiran. Dinamis dan terbuka adalah ciri Betawi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
Pada tahun 2019, Abdul Aziz (40), pendiri Sanggar Bintang Timur, tak keberatan menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang pemuda bernama Muhammad Ridho (23). Ia percaya, jika dipegang anak muda, budaya Betawi akan bertahan dari terpaan modernitas.
Bukan tanpa risiko dan tantangan Abdul Aziz yang mendirikan Sanggar Bintang Timur pada 2007 menyerahkan kepada seorang anak muda. Tantangan menghidupkan giat seni tradisi Betawi justru datang dari kalangan orangtua yang masih belum terbuka terhadap perubahan dan terlalu berpegang pada sebuah pakem.
Pakem tersebut, kata Aziz, menjadi salah satu budaya dan seni tradisi Betawi jalan di tempat atau mengalami kemunduran entah dari sisi regenerasi hingga sepinya panggung pertunjukan. Aziz mengatakan, pada tahun 1970-an Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin membuat lokakarya untuk memetakan dan mendata kesenian Betawi. Dari situ seni tradisi Betawi menjadi sangat berkembang pesat. Dari situ pula ada sebuah kesepakatan pakem yang bertahan hingga saat ini, salah satunya seni pertunjukan lenong harus diiringi musik gambang kromong.
Pemetaan seni Betawi dari lokakarya tersebut tak lepas dari perkembangan situasi saat itu yang didasari proses asimilasi dan akulturasi. Lenong sebagai seni pertunjukan teater memiliki sifat yang dinamis atau tak kaku.
”Bicara seni dalam suatu budaya, kita tidak bisa menghindari perubahan zaman dan pasti akan terus berkembang seni tersebut, tentu tanpa menghilangkan akar budayanya. Lokakarya dari Ali Sadikin mengikuti perkembangan saat itu dan berhasil menghidupkan seni tradisi Betawi. Sekarang kenapa kita tidak seperti itu, menjadi luwes dan dinamis terhadap perkembangan zaman sesuai kondisi milenial saat ini?” kata Aziz, Senin (22/6/2020).
Menurut Aziz, ruang seni dan berkarya selalu ada dan terbuka jika berpegang pada kedinamisan, keterbukaan, dan tidak terpaku pada pakem yang disepakati pada lokakarya.
”Suku Betawi dan kesenian tradisinya ada karena percampuran budaya. Jika dulu bisa, kenapa sekarang tidak? Karena sifat terbuka orang Betawi menerima perbedaan. Sekarang mau tidak kita kembali berkreasi dan membuka pandangan mengikuti perubahan zaman seperti Ali Sadikin?” kata Aziz.
Karena sifat terbuka orang Betawi menerima perbedaan. Sekarang mau tidak kita kembali berkreasi dan membuka pandangan mengikuti perubahan zaman seperti Ali Sadikin.
Menurut Aziz, ada benturan untuk mempertahankan seni tradisi hingga mandeknya regenerasi salah satunya karena masih banyak orangtua yang mempertahankan pakem. Jika lenong tak berdampingan dengan musik gambang kromong, maka dianggap bukan bagian dari budaya betawi.
Aziz menilai Betawi seperti kehilangan kedinamisan dan berdampak pada budaya Betawi yang semakin ditinggalkan. Tak ingin budaya Betawi semakin jauh dari kehidupan sehari-hari dan anak muda, Aziz mendirikan Sanggar Bintang Timur pada 2007. Bersama pemuda karang taruna, ia memulai seni pertunjukan lenong dengan tanpa musik gambang kromong meski mendapat kritik tajam. Ia tak goyah dan terus jalan karena ia menilai tidak menghilangkan identitas Betawi atau mengubah makna kesenian Lenong.
”Sejak saat itu saya mulai mengajar ke sekolah SD, SMP, dan SMA. Dari situ saya melihat ternyata anak muda minat budayanya besar. Saya tidak melihat anak muda itu cuek asal kesenian budaya Betawi dikemas dengan menarik, tidak kaku, kita mau mendengar masukan mereka untuk bersama mengembangkan budaya Betawi sehingga semakin akrab. Gila luar biasa, loh, antusias mereka jika mereka diberikan ruang untuk berkreasi. Kita harus terbuka terhadap pemikiran anak muda karena mereka nanti yang akan meneruskannya,” kata Aziz.