Pesan Luhur dari Tanah Kei
Hukum adat Kei, Larvul Ngabal, menjamin perlunya menjaga dan melindungi hidup pribadi manusia. Pribadi dimaksud adalah sesama ciptaan Tuhan.
Pertikaian berdarah antara kelompok John Kei alias John Refra dan Nus Kei alias Agrapinus Rumatora pecah di Jakarta, Minggu (21/6/2020). Dua orang dari Kepulauan Kei, Maluku, itu masih terikat tali persaudaraan. Dalam tatanan sosial Maluku, Kei dikenal sebagai suku dengan jalinan soliditas paling kuat.
Kei merupakan salah satu suku besar di Maluku yang mendiami Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Persatuan orang Kei dibangun atas dasar kesukuan. Tak heran, ketika konflik sosial bernuansa agama meletus di Maluku pada tahun 1999, daerah Kei paling cepat pulih.
Hal itu karena, di Kei, semua agama tumbuh bersama dalam balutan satu budaya. Budaya Kei menyulam perbedaan agama menjadi satu tenunan kehidupan sosial yang kuat. Sesama saudara yang berbeda agama hidup akur di bawah atap yang sama.
Banyak orang Kei menjadi pembuka jalan bagi pendidikan anak-anak di pedalaman Papua.
Tak hanya di tanah asal, soliditas sesama anak Kei terbawa sampai ke luar daerah. Mereka biasanya terbentuk dalam paguyuban. Apabila bertemu sesama orang Kei di perantauan, mereka saling menyapa dalam bahasa Kei.
Itulah mengapa, bahasa dari daerah bagian tenggara Maluku itu termasuk bahasa daerah yang terjaga kelestariannya dibandingkan sekitar 50 bahasa daerah lain di Maluku yang terancam menuju kepunahan.
Di tanah rantau, mereka berkiprah dan mengambil peran seperti halnya masyarakat pendatang pada umumnya. Di Papua, misalnya, mereka dianggap sebagai pembawa terang. Banyak orang Kei menjadi pembuka jalan bagi pendidikan anak-anak di pedalaman Papua. Di Kabupaten Asmat, seperti yang dikunjungi Kompas pada 2018, banyak guru, pastor, pendeta, dan ustaz yang berdarah Kei.
Itu yang membuat masyarakat asli Papua sangat menghargai orang Kei. Tak heran apabila banyak orang Kei yang dianggap sebagai tokoh dari Papua. Sebut saja Komarudin Watubun, politisi PDI-P yang terpilih mewakili daerah pemilihan Papua. Banyak lagi elite lokal Papua yang berdarah Kei.
Namun, di Jakarta, nama Kei membawa kesan berbeda menyusul munculnya sejumlah kelompok yang sering terlibat dalam tindakan kriminal. Nama John Kei menjadi ikonnya. Setelah John masuk penjara, kemudian menyatakan penyesalan dan diberikan bebas bersyarat, ada harapan dia tidak terjun lagi ke dalam dunia gelap itu. Namun, kejadian terbaru membuyarkan harapan itu.
Baca juga : ”Perang Saudara” yang Mengusik Ketenangan Kota
Seperti yang diberitakan Kompas, pada Minggu (21/6/2020), polisi menemukan bukti kekerasan di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat, serta perusakan di Kluster Australia Perumahan Green Lake City, Kota Tangerang, Banten, yang diduga direncanakan John dan kelompoknya. Dua anggota kelompok Nus Kei jadi korban dalam peristiwa ini, yaitu YDR yang tewas dan AR yang terluka parah.
Tim dari Kepolisian Daerah Metro Jaya kemudian meringkus John dan kelompoknya di Jalan Tytyan Indah Utama X, Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, Minggu malam. Polisi menangkap 30 orang serta menyita barang bukti, seperti tombak dan senjata tajam. Penyerangan itu terjadi diduga lantaran ada masalah dalam pembagian hasil jual lahan di Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.
Budaya Kei
Anak adat Kei yang juga pemerhati sosial dari Universitas Pattimura, Ambon, Josep Antonius Ufi, menilai, ada komunikasi yang hilang antara Nus selaku om dan John selaku keponakan. Nus dan John berasal dari satu kampung yang sama, yakni Ohoi (Desa) Tutrean, Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara.
Dalam budaya, komunikasi antara keluarga itu disebut fangnanan, yang berarti komunikasi hati dengan hati karena kasih sayang di antara keluarga yang melibatkan teen hov yanat atau orangtua dengan anak.
”Apalagi, interelasi internal keluarga tersebut tidak terjadi di ruang vakum, melainkan dalam lingkungan sosial yang kompleks dengan dilingkupi jejaring aktor sekitarnya yang bisa jadi turut andil memberikan input yang tidak mendukung dialog,” kata Josep.
Hukum ini menjamin perlunya menjaga dan melindungi hidup pribadi manusia.
Menurut dia, godaan materialistik menjerumuskan banyak pemuda Kei dan Indonesia timur lainnya masuk dalam bisnis yang cenderung diwarnai dengan kekerasan, bahkan hingga menyebabkan hilangnya nyawa orang.
Menghilangkan nyawa manusia tidak hanya melanggar hukum positif, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap norma hukum adat Kei yang disebut Larvul Ngabal. Hukum tersebut terdiri atas tujuh poin.
Ada satu poin dalam hukum Larvul Ngabal berbunyi sa sorfit hukum nevnev. Hukum ini menjamin perlunya menjaga dan melindungi hidup pribadi manusia. Pribadi dimaksud tidak hanya sesama orang Kei, tetapi semua manusia ciptaan Tuhan.
Selain itu, lanjutnya, ada falsafah bijak lain yang berbunyi harta i buliir ne minan i omat. Artinya, harta atau materi itu barang yang bisa dicari dan diperoleh. Namun, hal yang sejati dan paling bernilai tinggi adalah manusia yang punya martabat luhur sehingga mutlak perlu diutamakan.
Josep pun menyerukan agar kelompok Nus dan John bertemu dalam ruang dialog untuk membicarakan masalah ini secara kekeluargaan. Perseteruan itu sebaiknya dihentikan karena merugikan banyak orang.
Baca juga : Belajar dari Keharmonisan Budaya Lokal Maluku
Dia menilai, diperlukan kehadiran tokoh yang dianggap berwibawa untuk menjadi penengah. Tokoh itu bisa jadi orang Kei yang ada di Jakarta atau orang Kei yang ada di Maluku.
Sementara itu, pemuda Kei yang juga pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu-ilmu Sosial Tual, Tarsius Sarkol, mengajak masyarakat Kei baik yang berada di tanah Kei maupun di luar untuk melihat peristiwa tersebut sebagai pembelajaran. ”Juga melihat persoalan tersebut adalah urusan internal keluarga yang diselesaikan oleh keluarga tanpa perlu campur tangan pihak luar, apalagi diprovokasi,” kata Tarsius.
Ia menambahkan, masyarakat Kei juga menghayati falsafah ai ni ain yang artinya satu memiliki lainnya. Ada pula falsafah vuut ain mehe ngifun dan manut ain mehe tilur yang berarti semua adalah keluarga dari rahim atau keturunan yang sama.
Falsafah inilah yang menjadi perekat masyarakat Kei yang berdiam di dalam ataupun di luar tanah Kei. Semua persoalan diatasi karena adanya rasa persaudaraan. Karena itu, untuk meredam agar kasus tidak meluas, perlu didorong pendekatan hukum adat Kei, selain hukum positif yang kini sedang berjalan.
Pesan luhur dari tanah Kei itu menerobos ruang dan waktu, tak lekang dimakan zaman....