Desakan untuk mengesahkan RUU antikekerasan seksual semakin kencang setelah anak-anak di Gereja Santo Herkulanus menjadi korban kejahatan seksual.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
Penanganan korban kejahatan seksual menghadapi tantangan berat di hadapan hukum yang tidak berpihak kepada anak-anak. Dari kasus pelecehan seksual di Gereja Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak diterbitkan.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Sulistiowati Irianto, mengatakan, kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di Gereja Santo Herkulanus merupakan kejahatan hak asasi manusia. Oleh karena itu, negara harus ikut campur melalui perangkat hukum yang dimiliki untuk melindungi anak-anak dari kejahatan seksual hingga perlindungan psikologis.
”Anak-anak menjadi golongan rentan tidak memiliki kemampuan atas namanya sendiri di depan hukum. Perlu ada perisai hukum yang melindungi anak-anak, terutama ketika berhadapan dengan hukum. Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP ada pasal yang bersifat progresif, tetapi ada juga yang masih memberi celah bagi anak-anak tidak mendapat perlindungan,” kata Sulistiowati dalam webinar ”Usut Tuntas Kasus Kejahatan Seksual terhadap Putra Altar di Paroki Herkulanus, Depok”, Minggu (28/6/2020).
Sulistiowati menjelaskan, dalam upaya perlindungan kepada korban hingga penegakan hukum, ada kesulitan dalam pembuktian. Di dalam hukum acara masih ada pasal-pasal yang menyulitkan korban yang harus membuktikan tindak kekerasan seksual. Korban, keluarga korban, atau pendamping korban harus menyajikan pembuktian tersebut berupa bentuk fisik (visum et repertum dan visum psikiatrikum).
Beban pembuktian tersebut, ujar Sulistiowati, tentu sukar disajikan di persidangan karena faktor psikologis, trauma, dan rasa malu korban untuk pulih bisa memakan waktu lama sehingga tidak bisa langsung melapor dan melakukan visum. Seperti dalam hukum pidana, Pasal 285 KUHP menjadi parameter penegak hukum melihat kekerasan seksual harus ada pemaksaan dan penetrasi.
Padahal, menurut Sulistiowati, pemaksaan tidak perlu terjadi jika ada relasi kuasa. Oleh karena itu, penegak hukum perlu memahami relasi kuasa yang menimpa anak-anak.
”Perlu waktu bagi korban untuk berani bicara dan ada yang bersedia mendengarkannya. Jadi, kalau dilakukan visum kejadiannya sudah lewat dan jika dibawa ke pengadilan bisa kalah. Di sini perlindungan terhadap anak hilang. Ini kritik kita terhadap sistem peradilan konvensional yang tidak memastikan keadilan bagi korban kekerasan seksual,” tegas Sulistiowati.
Jadi kalau dilakukan visum kejadiannya sudah lewat dan jika dibawa ke pengadilan bisa kalah. Di sini perlindungan terhadap anak hilang. Ini kritik kita terhadap sistem peradilan konvensional.
Tidak berhenti di situ saja, dalam proses penyidikan, penegak hukum kerap melontarkan pertanyaan yang justru kembali menyakitkan perasaan anak-anak. Penegak hukum ingin mencari tahu tindakan itu dilakukan atas dasar suka sama suka atau tidak. Anak-anak dianggap sebagai orang dewasa.
Sulistiowati menilai perlu ada terobosan atau perubahan besar bagi penegak hukum dalam menyelidiki dan menyidik proses hukum yang melibatkan anak korban kekerasan. Penegak hukum harus mendapat pelatihan untuk memiliki pengetahuan dasar tentang keadilan jender dan sensitivitas tentang keadilan.
Terkait persidangan yang tak berpihak kepada anak-anak korban kekerasan seksual, tambah Sulistiowati, harus ada reformasi hukum untuk keadilan anak. Oleh karena itu, ia mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan sebagai instrumen hukum untuk melindungi hak anak-anak.
”Tiga tahun lamanya RUU dibahas DPR, tetapi masih seputar judul saja. Dengan adanya kasus kekerasan seksual di rumah ibadah, anggota legislatif yang terhormat harus segera memikirkan kegentingan dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Sulistiowati.
Direktur Yayasan PULIH Indonesia Dian Indraswari mengatakan, perlu penanganan menyeluruh berbasis psikologi. Berdasarkan data, lanjut Dian, sebanyak 30 persen kekerasan seksual pada anak-anak dilakukan oleh keluarga, 60 persen oleh orang terdekat, dan 10 persen lain-lain.
”Mereka adalah orang yang dipercaya oleh anak-anak. Dampak kekerasan pada anak-anak tidak bisa lepas dari kepercayaan. Dampak panjangnya, mereka akan sulit percaya kepada orang lain hingga tidak percaya kepada diri sendiri. Ini akan memengaruhi tumbuh kembang anak dan relasi sosialnya,” tutur Dian.
Dampak lainnya, menurut Dian, anak-anak akan sulit menerima dirinya sendiri karena merasa kesalahan ada pada dirinya dan merasa tak berharga. Dampak ini perlu mendapat perhatian serius karena ada beberapa kasus berakhir pada aksi bunuh diri.
”Karena menimbulkan luka, anak menjadi marah kepada dirinya, pelaku, dan semuanya sehingga ada kesulitan untuk mengontrol emosi. Ada kecenderungan melukai diri sendiri untuk mengatasi perasaan yang sulit ia terima,” kata Dian.
Karena menimbulkan luka, anak menjadi marah kepada dirinya, pelaku, dan semuanya sehingga ada kesulitan untuk mengontrol emosi. Ada kecenderungan melukai diri sendiri untuk mengatasi perasaan yang sulit ia terima.
Dian menjelaskan, sensitivitas penanganan perlu diperhatikan agar anak tidak menjadi korban untuk kedua kalinya. Selain itu, memprioritaskan kondisi psikologis anak sehingga nyaman dan tidak takut bercerita. Anak tidak dihakimi. Begitu pula dengan sistem pengadilan harus berpihak kepada anak.
”Sayangnya di Indonesia sensitivitas penanganan itu belum baik. Di sini peran ibu sangat menentukan. Sosok ibu yang percaya dan mendukung atau pendamping yang memiliki sensitivitas untuk tidak menyinggung. Sosok yang dapat menjadi penentu kuat prognosis yang baik,” kata Dian.
Kuasa hukum korban kasus kekerasan seksual di Depok, Azaz Tigor, mengatakan, bersama tim advokasi, pihaknya sudah menerima laporan dari 21 anak korban dan keluarganya. Kasus pencabulan ini sudah dilaporkan oleh dua anak yang menjadi korban ke Polres Kota Depok pada 24 Mei 2020. Pelaku yang seharusnya membimbing, melindungi, dan menjaga anak-anak justru melakukan pencabulan. Anak-anak tentu tidak bisa melawan karena pelaku memiliki posisi atau kuasa lebih kuat sebagai pembimbing. SM merupakan predator berpakaian.
”Hasil investigasi dan pemetaan selama mendampingi para korban dan membongkar kasus ini memberi saya pada kesimpulan bahwa upaya pencabulan ini dilakukan SM secara sistematis dan terstruktur. Posisi SM sebagai aktivis paroki dan pembimbing misdinar inilah yang mengamankan dirinya sebagai predator yang berpakaian sebagai gembala. Pola pencabulan sistematis terstruktur inilah yang membuat dia aman dan bebas bertahun-tahun, setidaknya sejak tahun 2000 memupuk dirinya sebagai gembala yang baik hati, pelindung dan berbudi baik di paroki Santo Herkulanus,” tutur Azaz.
Pengungkapan kasus yang dimotori pihak Gereja Santo Herkulanus ini menjadi terobosan baik yang mesti ditegakkan semua pihak. Tidak ada yang boleh dibela kecuali korban kekerasan seksual itu sendiri.