RW Zona Merah di Tangerang Raya Berkurang, Kewaspadaan Ditingkatkan
Puskesmas-puskesmas disiagakan untuk menghadapi lonjakan kasus baru imbas dari pelonggaran PSBB.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Jumlah wilayah rukun warga atau RW yang masuk zona merah selama masa pembatasan sosial berskala lokal RW di Kota Tangerang berkurang. Kendati demikian, Pemerintah Kota Tangerang meningkatkan kewaspadaan dengan memperkuat puskesmas-puskesmas agar siap menghadapi lonjakan kasus saat pembatasan sosial mulai dilonggarkan.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Liza Puspadewi, Senin (29/6/2020), memaparkan, saat ini ada 11 RW yang masuk kategori zona merah penyebaran Covid-19. Saat pertama kali pembatasan sosial berskala lokal (PSBL) RW diberlakukan di Kota Tangerang pada 15 Juni 2020, jumlah RW yang masuk zona merah sebanyak 22 RW. Penerapan PSBL-RW sejauh ini menurut Liza efektif menekan penyebaran Covid-19 meski belum optimal.
”Tapi jumlah RW yang masuk zona merah itu dinamis tiap harinya. Salah satu indikatornya adalah angka kesakitan. Penyebab angka kesakitan salah satunya adalah ketaatan masyarakat terhadap protokol kesehatan,” kata Liza.
Apabila masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan, seperti menjaga jarak aman, rajin mencuci tangan, dan mengenakan masker, penularan SARS-CoV-2 akan makin tinggi. Pada saat itu pula jumlah RW yang masuk zona merah bisa kembali meningkat.
Di RW-RW yang masuk zona merah, warganya wajib mengurus surat izin keluar masuk kepada ketua RW. Selain itu, penerapan protokol kesehatan serta tes usap tenggorokan menggunakan metode reaksi rantai polimerase (PCR) lebih diperbanyak.
Kapasitas tes
Liza menjelaskan, hingga 28 Juni 2020, sudah ada pemeriksaan 6.833 spesimen di Kota Tangerang. Kapasitas tes per hari mencapai 100 spesimen. Sebanyak 40 spesimen bisa diuji di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan sisanya di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil tes di Labkesda bisa keluar dalam satu hari.
Kendati jumlah RW yang masuk zona merah berkurang, Liza tetap menyiapkan dan menyiagakan puskesmas-puskesmas di Kota Tangerang untuk menghadapi lonjakan kasus baru. Alat pelindung diri tenaga kesehatan serta alat untuk melaksanakan tes cepat ditambah.
Penguatan puskesmas penting untuk mengantisipasi lonjakan kasus di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Sebelumnya, Gubernur Banten Wahidin Halim memutuskan memperpanjang PSBB di Tangerang Raya mulai 29 Juni hingga 12 Juli 2020. PSBB perpanjangan tahap kelima ini diikuti sejumlah pelonggaran. Mal-mal mulai dibuka dan rumah makan sudah bisa melayani makan di tempat.
”Puskesmas harus siap menghadapi lonjakan agar tetap bisa memberikan pelayanan kesehatan di masa pandemi,” ujarnya.
Penambahan jumlah alat tes di puskesmas bertujuan menggencarkan pelaksanaan tes cepat. Puskesmas-puskesmas melaksanakan tes cepat di seluruh wilayah RW, baik itu zona merah, kuning, maupun hijau.
Upaya itu bertujuan agar data yang diberikan puskesmas kepada dinas kesehatan benar-benar valid. Dengan begitu, RW-RW yang berada di zona hijau bukan karena sama sekali tidak diadakan tes di sana.
Kabupaten Tangerang
Di Kabupaten Tangerang, jumlah RW yang masuk zona merah tercatat mencapai 37 RW. Namun, angkanya sangat fluktuatif sehingga bisa berubah drastis setiap harinya. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Tangerang Hendra Tarmizi menyampaikan, di RW yang masuk zona merah ada pelacakan kontak dan tes cepat.
”Di luar RW zona merah tetap harus waspada karena bukan berarti bebas kasus sama sekali. Tes cepat tetap dilakukan puskesmas-puskesmas di wilayah zona hijau,” kata Hendra.
Hendra mengungkapkan, kendala dalam pelaksanaan PSBL-RW di Kabupaten Tangerang di antaranya masih banyak Gugus Tugas di tingkat RW yang belum siap. Hal itu karena mereka masih disibukkan penyaluran bantuan sosial.
Dihubungi secara terpisah, epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menyarankan pemerintah daerah agar tes cepat bisa diganti dengan tes usap tenggorokan.
Menurut Tri, 30 persen hasil tes cepat kemungkinan negatif palsu atau false negatif sehingga hasil tesnya terkadang tidak akurat menunjukkan apakah seseorang benar-benar telah tertular Covid-19 atau tidak. Sebab, tes cepat hanya melihat reaksi antibodi seseorang yang dihasilkan ketika virus SARS-CoV-2 telah masuk ke tubuh.