Rendahnya Kepatuhan Bermasker Cerminkan Tingkat Penularan Masih Tinggi
Pemakaian masker adalah kunci menekan pertambahan kasus Covid-19, tetapi sekaligus menjadi hal yang masih kerap diabaikan oleh banyak warga di Ibu Kota.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·3 menit baca
Rendahnya kepatuhan masyarakat di DKI Jakarta untuk mengenakan masker saat di luar rumah lumrah terlihat di jalan atau lingkungan permukiman, termasuk pada Senin (13/7/2020). Kondisi ini mencerminkan fakta penularan Covid-19 masih tinggi, yang pada Minggu (12/7/2020) menembus rekor baru dengan tambahan 404 kasus positif.
Rendahnya kepatuhan warga untuk bermasker terpantau di area Palmerah, Jakarta Barat, Senin siang. Melewati Jalan Palmerah Barat, sejumlah pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan masker silih berganti melintas.
Masuk ke jalan yang lebih sempit, menelusuri Jalan KH Syahdan pada area sekitar Kampus Universitas Bina Nusantara, berlanjut ke Jalan Palmerah Barat IX hingga Jalan Palmerah Barat II, kondisi serupa ditemui. Hampir setiap menit, pengguna jalan yang tidak bermasker melintas.
Ada yang berjalan kaki, mengayuh sepeda, dan mengemudikan sepeda motor. Ada pula pedagang kaki lima di pinggir jalan yang tidak bermasker.
Di antara beberapa pedagang gorengan yang tidak bermasker, Mubin (23) adalah salah satunya. Ia memilih tidak mengenakan masker karena tidak memengaruhi jumlah pembeli yang datang. Padahal, ia menyimpan masker di gerobak dagangannya. ”Lagi kayak begini, orang yang mau beli pada takut semua,” ujarnya.
Mubin baru berdagang lagi sekitar sebulan, setelah sebelumnya tinggal sementara waktu di kampung halaman di Cirebon, Jawa Barat, karena lesunya ekonomi saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Akibat tidak ada pekerjaan di tempat asalnya, ia kembali berjualan gorengan di Ibu Kota. Saat ini, pendapatan bersihnya rata-rata hanya Rp 50.000 per hari, sedangkan sebelum pandemi bisa Rp 250.000 per hari.
Sikap Mubin bertolak belakang dengan pandangannya terhadap virus korona baru. Meski tidak menjaga diri dengan masker, ia menyatakan takut tertular Covid-19.
Kontradiksi juga ditunjukkan Ono (26), pedagang es jeruk peras yang berjualan di samping Mubin. Ia menyatakan terus berjualan sejak awal Covid-19 merebak. Guna mengantisipasi penularan, ia mengaku menjaga kesehatan dengan mematuhi kewajiban penggunaan masker.
”Ya jaga kesehatan aja, ya aturan pakai masker gitu,” ucap Ono. Namun, sejak awal ditemui hingga selesai wawancara, masker sama sekali tidak menutup mulut dan hidungnya.
Kondisi tersebut mencerminkan masih tingginya tingkat penularan Covid-19 di Jakarta. Faktanya, tambahan kasus baru di DKI pada Minggu (12/7/2020) menjadi yang tertinggi dalam riwayat pendataan kasus harian, yakni mencapai 404 kasus. Angka rata-rata positif atau positivity rate melonjak dua kali lipat dibanding biasanya.
Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan, selama ini, kasus memang terus bertambah, tetapi angka rata-rata positif berkisar 5 persen. ”Tapi, hari ini (Minggu), angka positivity rate itu menjadi 10,5 persen. Melonjak dua kali lipat,” ucapnya dalam keterangan yang diunggah di akun Youtube PEMPROV DKI JAKARTA, Minggu sore.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai salah satu pemicu utama lonjakan kasus tersebut adalah kurangnya kedisiplinan warga di Jakarta untuk menggunakan masker. Pemakaian masker adalah kunci menekan pertambahan kasus Covid-19, tetapi sekaligus menjadi hal yang masih kerap diabaikan banyak warga di Ibu Kota.
”Apakah pesannya tidak jalan? Namun, hasil studi memang menunjukkan mereka tidak merasa berisiko,” ucap Pandu. Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU) bekerja sama dengan laporcovid19.org mengadakan survei daring terhadap responden di DKI Jakarta pada 29 Mei-20 Juni. Hasilnya, 54 persen responden menyatakan kemungkinan mereka tertular Covid-19 amat kecil.
Apakah pesannya tidak jalan? Namun, hasil studi memang menunjukkan mereka tidak merasa berisiko. (Pandu Riono)
Karena itu, menurut Pandu, tindakan pendisiplinan yang lebih tegas dan efektif di seluruh wilayah diperlukan agar seluruh warga sadar pentingnya masker. Namun, langkah itu mesti disertai penggencaran edukasi. Ia menyarankan Pemprov DKI lebih aktif melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menyebarluaskan pesan penggunaan masker.
Dihubungi pada Senin, pengamat kebijakan publik dari UI Agus Pambagio berpendapat, terjadinya lonjakan tambahan kasus merupakan hal yang wajar dengan semakin gencarnya pengujian terhadap masyarakat. Tingginya laju penularan bisa jadi sudah berlangsung sejak sebelumnya, tetapi fakta mungkin baru tersingkap karena Pemerintah Provinsi DKI juga baru saja mampu memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait kapasitas pengujian, yakni minimum 1.000 orang dites per 1 juta penduduk.
Karena itu, Agus merekomendasikan Pemprov DKI kembali saja ke penerapan PSBB sebelum masa transisi demi menekan penyebaran Covid-19 meski ekonomi bakal terpukul kembali akibat dihentikannya sejumlah pelonggaran. Untuk membantu perekonomian warga, bantuan sosial perlu digencarkan lagi. ”Negara jangan pelit,” ujarnya.