Ada Perbedaan Tingkat Kepatuhan Warga Saat Pembatasan Sosial
Aturan berjaga jarak dan tetap di rumah saat pandemi Covid-19 ditanggapi berbeda sebagian warga. Di Jakarta, perdebatan ini kian alot karena pandemi berdampak pada sektor penghidupan mereka.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat hingga menyentuh angka 81.668 pasien pada Kamis (16/7/2020), tetapi tidak ada ketakutan di benak Yuyun Suwarna (57) terhadap situasi pandemi. Kamis siang, lelaki ini masih berdagang di sebuah gerai ponsel kawasan Pademangan Barat, Jakarta Utara.
Siang ini, Yuyun masih kerap bepergian ke sejumlah tempat, di antaranya mal ITC Roxy Mas di Jakarta Pusat dan rumah pelanggan. Padahal, aktivitas tersebut berlawanan dengan konsep penghentian mobilitas selama pandemi Covid-19.
Di satu sisi, ada sebagian warga yang masih rutin bekerja dari rumah (work from home/WFH). Restu Iryanti (30), pegawai di sebuah perusahaan e-commerce, masih menjalani WFH karena kebijakan dari atasan. ”Masih WFH soalnya situasi pandemi di Jakarta sepertinya makin parah,” tuturnya saat dihubungi sore ini.
Yuyun dan Restu yang sama-sama terdampak Covid-19 kini menjalani rutinitas begitu berbeda. Yuyun tidak menerapkan WFH karena diam di rumah berarti tidak ada pemasukan. Sementara itu, Restu cukup beruntung karena kantornya masih membolehkan karyawan bekerja dari rumah.
Karena kondisi yang berbeda, tidak semua dari mereka bisa menerapkan pembatasan sosial. Yuyun, misalnya, masih harus bepergian sedikitnya tiga kali dalam seminggu untuk membeli pesanan suku cadang ponsel. ”Sekarang malah banyakan orang jual ponsel ke saya, padahal lagi enggak ada duit. Gimana bisnis mau berputar?” ujar warga asal Karawang, Jawa Barat, ini.
Situasi Yuyun dan Restu sekiranya menggambarkan beda kondisi sebagian kalangan dalam menyikapi pembatasan sosial. Yuyun, yang berpendapatan kurang dari Rp 5 juta per bulan dan tergolong berwiraswasta, sulit menghentikan mobilitas atau bahkan menjalankan WFH.
Selain Yuyun, ada pula Supriyatin (43) yang merasa tidak mungkin menghentikan mobilitas saat bekerja. Dirinya yang kini menjadi kurir antar barang untuk pakaian dan bahan tekstil tidak mungkin menjalani WFH. Sebab, pekerjaannya sangat menuntut mobilitas ke banyak tempat.
”Tidak semua pola kerja bisa dilakukan di rumah. Kurir barang seperti saya justru jadi pendukung agar sebagian profesi tetap bisa bekerja dari rumah, kan,” ujar Supriyatin yang sebelumnya diberhentikan dari perusahaan jasa sewa karaoke.
Mobilitas sebagian orang seperti Yuyun dan Supriyatin terus terekam dalam data pergerakan orang. Tim pengembangan data dari Bank Dunia merunut data pergerakan orang di Jakarta sejak 15 Maret 2020 lewat platform Cuebiq. Platform ini menganalisis data lokasi GPS dari sejumlah negara yang bersumber dari 80 aplikasi dan sekitar 275.000 pengguna ponsel.
Riset oleh Samuel Paul Fraiberger, Nicholas Jones, dan Nancy Lozano Gracia menunjukkan, ada kecenderungan penurunan mobilitas saat berlaku pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak 15 Maret 2020. Penurunan mobilitas itu bahkan sangat drastis saat kewaspadaan tinggi pada 23 Maret.
Secara umum, data menunjukkan durasi warga Jakarta berdiam di rumah meningkat sekitar 2,5 jam. Walakin, saat rentang data dipersempit menjadi klasifikasi sejahtera dan prasejahtera, menurut Bank Dunia, hasilnya menjadi berbeda. Kalangan sejahtera berdiam di rumah dengan durasi 20 persen lebih lama dari biasanya, sementara kalangan prasejahtera hanya 11 persen lebih lama.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, data dari Bank Dunia mencoba menunjukkan kalau masih banyak kalangan prasejahtera di Jakarta yang sulit menerapkan instruksi pembatasan sosial. Praktik WFH atau berdiam di rumah disadari sebagai sebuah privilese yang hanya bisa dilakukan sebagian kalangan.
Sementara itu, ada warga yang berpenghasilan minim dan berbasis harian, seperti pedagang, kurir antar barang, atau bahkan pengojek daring, yang rentan terdampak situasi pandemi Covid-19. ”Kondisi kalangan ini yang memaksa sebagian dari mereka untuk mengambil risiko tetap bepergian di masa pandemi Covid-19,” kata Faisal.
Selain faktor ekonomi, ada faktor pengetahuan yang minim turut memengaruhi sebagian orang abai terhadap risiko Covid-19. Menurut dia, hal ini juga yang memengaruhi kedisiplinan mereka.
Pernyataan Faisal juga seiring dengan survei persepsi risiko di DKI Jakarta oleh gerakan warga Lapor Covid 19 dan Social Resilience Lab Nanyang Techological University (NTU) Singapura. Survei Persepsi Risiko Covid-19 DKI Jakarta tersebut melibatkan 154.471 responden selama periode 29 Mei-20 Juni 2020.
Salah satu hasil survei menyebutkan, 77 persen warga yakin kemungkinan mereka tertular Covid-19 relatif kecil. Sebanyak 76 persen warga juga meyakini kecilnya risiko yang sama bagi orang terdekatnya. Selain itu, sebanyak 70 persen warga meyakini risiko orang di tempat tinggalnya tertular Covid-19 juga kecil.
Peneliti dan pengajar di Departemen Perencanaan Kota dan Realestat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengingatkan agar pemerintah mewaspadai mobilitas warga yang semakin sering. Saat lonjakan kasus di DKI Jakarta yang mencapai 15.466 pasien positif per 16 Juli, kegiatan warga justru tampak semakin sering dan tampak normal.
”Setelah kasus harian sempat melonjak pada 12 Juli 2020, tren lonjakan serupa sepertinya akan semakin tajam. Sayangnya, kewaspadaan warga semakin turun di saat seperti ini,” ujar Suryono.
Di tengah kewaspadaan itu juga, Faisal mengingatkan agar peringatan kehati-hatian terus digaungkan pemerintah. Beragam santunan berupa bantuan sosial hingga fasilitas kesehatan mesti dipastikan agar terjangkau bagi kalangan prasejahtera.
”Fasilitas kesehatan untuk masyarakat prasejahtera perlu diperkuat sejalan dengan anggara pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk bidang kesehatan. Selagi hal itu berlangsung, kedisiplinan protokol kesehatan pun harus terus berjalan,” kata Faisal.