Pandemi Covid-19 memaksa warga dengan ekonomi menengah ke bawah mesti bersiasat untuk mempertahankan hidup. Seretnya pendapatan berbanding terbalik dengan pengeluaran yang selalu ada.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga dengan ekonomi menengah bawah bertahan hidup dengan berbagai cara di tengah pandemi Covid-19. Ada yang menggagas usaha kecil-kecilan hingga menghemat pengeluaran. Istri pun ikut turun tangan mencari pemasukan.
Suratman (64), warga Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, sudah tiga bulan tidak bekerja sebagai sopir pribadi. Dia sempat berharap bisa bekerja lagi tatkala pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi di Jakarta akan berakhir. ”Eh, ternyata PSBB transisi diperpanjang. Bos saya bilang jangan masuk dulu,” ujarnya ketika ditemui, Jumat (17/7/2020) siang.
Suratman beruntung karena si bos tidak membabat habis pendapatannya. Dia masih menerima gaji pokok sebesar Rp 2 juta per bulan selama tak bekerja. Hanya saja, ia tak lagi menerima uang makan.
”Biasanya setiap masuk kerja, saya dikasih uang makan Rp 100.000 per hari. Kini, uang makan tidak dibayarkan, hanya gaji tetap. Alhamdulillah, bos juga mengerti keadaan saya,” tuturnya. Dari uang makan, Suratman bisa mengantongi Rp 2,4 juta atau total Rp 4,4 juta sebulan.
Gaji itu dipergunakan ayah tiga anak ini untuk membiayai anak bungsunya yang kini menginjak kelas II SMA. Belajar dari rumah membuat biaya pulsa membengkak.
Adapun anak kedua, yang sudah menjadi sarjana sejak akhir tahun lalu, tak kunjung mendapat kerja. Anak sulung keluarga ini sudah tidak tinggal bersama mereka lagi.
Dalam situasi ekonomi yang pas-pasan, istri Suratman, Yuyun (54), berinisiatif berdagang di depan rumah. Dia menjual lontong dan pempek. Lontong dijual Rp 2.000 dan pempek Rp 1.000. ”Kalau lagi ramai, omzet bisa Rp 100.000,” kata Yuyun.
Keluarga ini tinggal di rumah berukuran 3 meter x 3 meter. Semua anggota keluarga tidur di lantai dua berlantai papan. Lantai pertama menjadi ruang tamu sekaligus dapur.
Jika Indonesia tidak terkena badai pandemi Covid-19, Suratman sudah berencana memperbaiki rumah yang berada di tepi Kali Ciliwung ini. Sebab, ketika angin kencang, lantai rumahnya berderik. Ia khawatir lantai dua rumah itu bakal ambruk. ”Kalau situasi sudah begini, ya, sudah tidak kepikiran lagi memperbaiki rumah,” ujarnya.
Setidaknya, Yuyun menambahkan, mereka tidak perlu repot memikirkan makan. Baru dua minggu lalu mereka menerima bantuan sosial dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Keluarga ini mendapat beras 10 kilogram, empat kaleng sarden, dan sebungkus minyak goreng.
Mengencangkan ikat pinggang
Di kelurahan yang sama, Umar Dani (53) terpaksa mengencangkan ikat pinggang. Pengeluaran diusahakan seirit mungkin. Ia membeli rokok ketengan. Jajan untuk dua anaknya yang masih duduk di bangku SMP dan SMA dipotong 50 persen.
”Kalau lagi enggak sekolah gini, jajan mereka berdua biasanya Rp 20.000 berdua, kini Rp 10.000 saja dulu,” ujarnya.
Pengiritan terpaksa dilakukan karena usaha Umar yang menjual gawai bekas di bawah Jembatan Hitam, Jakarta Timur, tengah seret. Sementara istrinya yang menjual gorengan di depan rumah juga belum memberikan pemasukan stabil. ”Istri saya jualan suka-suka hati saja. Kalau lagi mau, ya jualan. Sekarang aja lagi prei, tuh,” ucap Umar.
Di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan, pedagang nasi goreng Sanuri (35) memboyong istri ke Jakarta untuk memperkuat ekonomi keluarga. Sebelumnya, istrinya berada di Tegal, Jawa Tengah.
”Sejak dua bulan lalu dia ke Jakarta. Sekarang kerja di warteg kakaknya di Tangerang Selatan (Banten),” ujar Sanuri.
Pria yang menjual nasi goreng di Jalan Otista Raya, Jakarta Timur, ini mengaku dagangan belum stabil seperti hari normal. Terlebih, dia baru libur berdagang selama dua minggu lantaran sakit gigi.
”Jadi pedagang kecil memang harus banyak sabar. Kalau enggak, bubar,” kata pria yang menyewa rumah petak dengan besaran Rp 600.000 per bulan ini.
Sanuri mengaku sudah mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Namun, dia heran, paket bahan kebutuhan pokok yang diberikan kepadanya tidak sama dengan warga lain. Dia hanya diberi beras 5 liter. Padahal, warga lain mendapat paket beras dua karung kemasan 5 kg.
Jadi pedagang kecil memang harus banyak sabar. Kalau enggak, bubar.
Berhubung beras pulen, beras bantuan itu tak bisa menjadi modal untuk membuat nasi goreng. Sebab, nasi goreng harus menggunakan beras pera. ”Kalau beras pulen dijadikan nasi goreng, nanti malah jadi bubur,” ujarnya.
Rentan miskin
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan naik 1,28 juta orang dari Maret 2019 yang 25,14 juta orang. Penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2020, garis kemiskinan Rp 454.652 per kapita per bulan.
Kepala BPS Suhariyanto dalam telekonferensi pers, Rabu, menyebutkan, jumlah penduduk miskin bertambah karena banyak penduduk hampir miskin yang kembali jatuh miskin. Persentase penduduk hampir miskin pada Maret 2019 mencapai 7,45 persen atau sekitar 19,91 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 61,03 persen penduduk hampir miskin bekerja di sektor informal.
Berdasarkan data BPS, per Februari 2020 ada 56,99 juta orang atau 43,5 persen bekerja pada kegiatan formal dan 74,04 juta orang atau 56,5 persen bekerja pada kegiatan informal.