Koordinasi Lemah, Disiplin Longgar, Kasus Positif di DKI Mengkhawatirkan
Tidak perlu kebijakan formal macam-macam. Pastikan semua orang yang terkait pemerintah selalu tampak bermasker dan menjaga jarak fisik. Koordinasi birokrasi dari atas hingga ke akar rumput lakukan secara terus-menerus.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerintah dengan tokoh-tokoh masyarakat mengakibatkan kian longgarnya penerapan protokol kesehatan terkait Covid-19. Padahal, DKI Jakarta belum lepas dari gelombang pertama penularan virus korona baru. Jumlah kasus positif akan terus bertambah tanpa ada sinergi semua pihak.
”Apatisme terhadap Covid-19 tidak hanya terasa di masyarakat, tetapi juga di jajaran pemerintah, melihat kian kendurnya pengawasan dan penegakan kedisiplinan,” kata Guru Besar Pekerjaan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta Adi Fahrudin, ketika dikontak pada Senin (20/7/2020).
Ia menjabarkan bahwa semua pihak terlena dengan jargon-jargon yang seolah melemahkan bahaya Covid-19, seperti istilah ”transisi” dan ”normal baru”. Pembentukan jargon tersebut bertujuan untuk menjaga optimisme masyarakat selama pandemi agar tidak jatuh dalam depresi. Akan tetapi, tanpa pendidikan yang berkesinambungan, keterbukaan informasi publik, dan pemastian protokol keamanan diterapkan, jargon itu melengahkan pemerintah dan warga.
Menurut Adi, ada euforia masyarakat setelah tiga bulan terkurung di rumah akibat adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketika PSBB dilonggarkan menjadi transisi, semua orang sangat bersemangat untuk menikmati kegiatan di luar rumah. Strategi membolehkan tempat-tempat wisata dan ruang publik dibuka kembali meleset karena tidak memperkirakan jumlah orang yang datang sehingga melanggar protokol menjaga jarak fisik.
”Pemerintah tidak bisa 100 persen mengharapkan masyarakat bisa menjaga diri sendiri karena kita semua tahu masyarakat Indonesia belum pada level semua lapisannya memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sama. Kepemimpinan masih sangat dibutuhkan,” tuturnya.
Penyebaran informasi mengenai bahaya Covid-19 dan protokol keamanan di masa pandemi oleh Adi dinilai masih terlalu pro kalangan sosial menengah ke atas. Di saat yang sama, informasi kepada kelas sosial menengah-bawah masih samar. Bentuknya masih berupa perintah birokratis dari atas ke bawah, bukan berbasis memberdayakan aset akar rumput, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, ibu-ibu majelis kerohanian, dan tokoh pemuda.
Hal ini penting dilakukan karena berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah tampak bertolak belakang. Misalnya, di satu sisi pusat meminta agar ekonomi bergulir kembali, padahal jumlah kasus positif belum menurun. Kebingungan ini menambah kekesalan masyarakat yang berujung pada kemalasan mengikuti protokol.
Tidak perlu kebijakan formal macam-macam. Pastikan semua orang yang terkait pemerintah selalu tampak bermasker dan menjaga jarak fisik. Koordinasi birokrasi dari atas hingga ke akar rumput secara terus-menerus memastikan tokoh masyarakat dan ibu-ibu PKK (pemberdayaan kesejahteraan keluarga) selalu bermasker di lingkungan masing-masing.
Ditambah pula dengan pengawasan dan penegakan kedisiplinan secara formal oleh aparat penegak hukum serta satuan polisi pamong praja. Ia juga mempertanyakan konsep ”rem darurat” yang sempat digembar-gemborkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”Dalam sepekan terakhir, penambahan kasus sudah dikategorikan mencemaskan oleh pakar-pakar kesehatan. Apakah ’rem darurat’ ini bisa diberlakukan atau hanya sebatas wacana? Ketegasan pemerintah mengambil tindakan juga dibutuhkan,” kata Adi.
Dalam sepekan terakhir penambahan kasus sudah dikategorikan mencemaskan oleh pakar-pakar kesehatan. Apakah ”rem darurat” ini bisa diberlakukan atau hanya sebatas wacana? Ketegasan pemerintah mengambil tindakan juga dibutuhkan.
Dalam pengumuman harian perkembangan Covid-19, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jakarta Fify Mulyani mengatakan, per 20 Juli ada pertambahan 361 kasus baru. Total ada 16.712 kasus dengan rincian 10.598 orang sembuh dan 749 orang meninggal dunia.
Jumlah tes reaksi rantai polimerase (PCR) yang dilakukan adalah 30.300 tes per 1 juta penduduk. Permasalahannya, tingkat hasil positif dari tes itu ialah 5,5 persen. Angka ini di atas batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen.
Dorong DPRD produktif di masa reses
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI-P, Wa Ode Herlina, mengusulkan agar para legislator diizinkan mengambil masa reses. Selama reses, para anggota DPRD bisa fokus di wilayah masing-masing untuk menyosialisasikan kembali kesadaran menerapkan protokol keamanan Covid-19.
”Masyarakat harus tahu bahwa pelonggaran dimaksud untuk kegiatan ekonomi, bukan protokolnya. Semua orang tetap wajib mencuci tangan dengan sabun, bermasker, dan menjaga jarak fisik. Definisi dan batas pelonggaran ini yang harus disosialisasikan secara gencar,” paparnya.
Ia menerangkan, sosialisasi ketika reses bisa dilakukan tanpa perlu mengumpulkan massa. Caranya dengan menyinergikan semua ketua rukun warga (RW), tokoh masyarakat, puskesmas terdekat, dan tokoh agama. Hal ini bisa melalui media sosial dan aplikasi percakapan, poin terpenting adalah komunikasi dan koordinasi tidak boleh kendur.
Herlina, yang juga anggota Satuan Tugas Covid-19 DPRD Jakarta, mengakui bahwa di lingkungan parlemen ataupun pemerintahan, perilaku longgar sangat kentara. Para pegawai negeri sipil tampak sudah bergerombol, masker tidak dipakai dengan benar, dan kantin ataupun kafetaria tidak lagi menandai kursi-kursinya. Warga yang datang ke kantor pemerintahan melihat jika PNS sudah santai, masyarakat sudah tidak perlu waspada.
”Memang butuh penyegaran kembali di semua unit kerja, permukiman, dan tempat-tempat publik. Menegur mereka yang tidak bermasker, memastikan wastafel-wastafel bekerja di berbagai titik, dan menghidupkan kembali kordinasi,” katanya.