Kluster Rumah Tangga Pertama di Kota Bogor, Ayah dan Anak Meninggal
Kasus penularan dari luar, yaitu dari perjalanan pergi-pulang Kediri-Bogor, menjangkiti semua keluarga dan menyebabkan setidaknya dua orang meninggal. Ini menjadi kluster rumah tangga pertama di Kota Bogor.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Imported case atau kasus penularan dari luar kembali bertambah di Kota Bogor, Jawa Barat, setelah satu keluarga terkonfirmasi positif Covid-19. Kasus penularan dari luar ini menjadi kasus kluster rumah tangga pertama di Kota Bogor. Pemkot Bogor mengupayakan pengendalian penularan Covid-19 dengan menyiagakan tim Deteksi Aktif Covid-19 di tingkat kelurahan melalui RW siaga.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Cobid-19 Dedie A Rachim mengatakan, satu keluarga di wilayah Pasir Mulya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, terkonfirmasi positif Covid-19, merupakan kasus penularan dari luar. Temuan kasus terkonfirmasi positif ini semakin menambah kasus penularan dari luar di kota Bogor.
”Satu keluarga tersebut terpapar dari ayahnya yang memiliki riwayat dari luar kota perjalanan ke Kediri, Jawa Timur, yang juga zona merah pada 27 Juni-5 Juli. Ia ikut pengajian di sana, pulang menularkan 5 anggota keluarga lainnya. Ia (ayah) dan anaknya meninggal,” kata Dedie saat di konfirmasi, Senin (27/7/2020).
Dedie mengatakan, temuan kasus penularan dari luar menjadi perhatian karena penularan terbawa ke dalam rumah tangga dan masuk kluster baru. Selain itu, Dedie berharap bagi warga Kota Bogor untuk terbuka kepada petugas medis jika pernah masuk zona merah, punya riwayat perjalanan ke luar daerah, pernah kontak erat dengan kasus positif, atau pernah menjalani tes usap dan dinyatakan positif.
Sebelum meninggal, kata Dedie, ayah tersebut sakit dan berobat ke dokter praktik swasta. Setelah itu, dia dirawat di dua rumah sakit di Kota Bogor, kemudian dirawat di rumah sakit Jakarta. Ia meninggal dunia dengan status probable (belum dilakukan tes usap) dan dimakamkan dengan prosedur Covid-19.
Dari penelusuran tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, lanjut Dedie, ayah tersebut dirawat oleh anak dan istrinya. Anak dari almarhum kontak erat selama menunggu almarhum di rumah sakit. Anak tersebut merasa sakit sejak 10 Juli lalu ikut tes usap di Jakarta, 16 Juli dirawat di rumah sakit.
”Sang anak tidak mengaku ada riwayat kontak dengan kasus probable dan tidak mengaku sudah di tes usap. Ia dirawat di ruangan biasa, bukan ruang isolasi. Saat diketahui hasil tes usap positif, dirujuk ke rumah sakit di Kabupaten Bogor dan meninggal dunia,” tutur Dedie.
Sang anak tidak mengaku ada riwayat kontak dengan kasus probable dan tidak mengaku sudah di tes usap. Ia dirawat di ruangan biasa, bukan ruang isolasi. Saat diketahui hasil tes usap positif, dirujuk ke rumah sakit di Kabupaten Bogor dan meninggal dunia.
Dari temuan kasus tersebut, kata Dedie, tim Dinas Kesehatan Kota Bogor bersama tim deteksi aktif Covid-19 melakukan pelacakan di rumah dan di rumah sakit tempat dua almarhum meninggal. Semua yang pernah kontak dengan dua orang tersebut menjalani tes usap. Jumlah kontak erat yang dilacak ada 97 orang dan menjalani tes usap. Secara keseluruhan ada delapan orang terkonfirmasi positif.
”Hasilnya, dari orang serumah ada lima orang yang terkonfirmasi positif, yaitu istri, anak, menantu, dan dua cucunya. Sisanya warga Kabupaten Bogor. Semua yang positif diisolasi. Upaya pelacakan terus dilakukan,” kata Dedie.
Dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Bogor, Senin (27/7/2020), melalui tim lacak deteksi aktif menunjukan kasus terkonfirmasi positif 256 orang, sekitar 98 kasus atau 43,7 persen di antaranya merupakan kasus dari luar, baik yang sering menggunakan moda transportasi massal antarkota maupun domisili warga Bogor yang bekerja atau melakukaan perjalanan keluar daerah.
Wali Kota Bogor Bima Arya Prasetyo mengimbau warga Bogor untuk hati-hati ketika berpergian dan sebaiknya melapor kepada RT dan RW ketika kembali dari bertugas agar bisa diawasi serta disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Selain itu, kata Bima, untuk mencegah agar kasus penularan dari luar tak semakin meluas, peran tim deteksi aktif (detektif) di setiap kelurahan akan semakin ditingkatkan. Tim Detektif Covid-19 ini langsung dikoordinasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, khususnya pada divisi pencegahan dan penanganan. Orang-orang di detektif merupakan kumpulan warga dari kecamatan, polsek, koramil, babinsa, bhabinkamtibmas, puskesmas, dan dari RW.
”Jadi, unit lacak dan unit pantau dari tim Detektif Covid-19 inilah yang menjadi garda terdepan dalam mendeteksi dan menangani Covid-19. Ini bentuk upaya pengawasan protokol kesehatan di tingkat kecamatan hingga RW,” ujar Bima.
Awasi protokol kesehatan
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunus Miko Wahyono mengatakan, perpanjangan masa PSBB atau penerapan masa PSBB di Jabodetabek sangat kontradiktif dalam upaya menekan penularan virus Covid-19.
”Penerapan PSBB itu tidak ada istilah transisi, apalagi pelonggaran. Jika ada pelonggaran, itu artinya bukan PSBB. Ini kekeliruan dari pemerintah yang menyebabkan warga bingung dan bosan sehingga abai terhadap kepatuhan protokol kesehatan,” katanya.
Penerapan PSBB itu tidak ada istilah transisi, apalagi pelonggaran. Jika ada pelonggaran, itu artinya bukan PSBB. Ini kekeliruan dari pemerintah yang menyebabkan warga bingung dan bosan sehingga abai terhadap kepatuhan protokol kesehatan.
Menurut Tri, keran ekonomi memang penting dibuka, tetapi pengawasan protokol kesehatan juga harus ketat dilakukan. Pengawasan ketat terutama di wilayah zona merah yang selama ini masih luput. Warga merasa perlu kembali beraktivitas karena faktor ekonomi, padahal daerahnya masuk zona merah. Akhirnya, kondisi itu berpotensi menularkan virus, apalagi jika tidak ada tes kesehatan oleh pemerintah. Ini salah satu yang menyebabkan lonjakan kasus positif di Jabodetabek.
Tri menilai, konsekuensi pelonggaran pembatasan sosial harus dibarengi dengan pengawasan ketat, tetapi di lapangan tidak dilakukan. ”Tidak bisa sekadar dari kesadaran masyarakat. Ini tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah abai melindungi warga,” katanya.
Tidak hanya itu, keabaian dan kesalahan pemerintah juga pada pengawasan protokol kesehatan yang hanya sebatas penggunaan masker. Protokol kesehatan, seperti jaga jarak, kerumunan massa, dan fasilitas cuci tangan tidak diperhatikan dan tidak diawasi.