Perkembangan Kasus Covid-19 seperti Gali Lubang, Tutup Lubang
Melonjaknya kasus positif Covid-19 di DKI, disebut teori memencet balon karena kasus terus bermunculan, tetapi tidak diketahui penyebabnya. Tindak lanjut penanganan masih reaktif, belum ada pencegahan secara signifikan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan penyebaran virus korona baru di DKI Jakarta seperti teori memencet balon. Ditekan di satu tempat, kemudian muncul di wilayah lain. Hingga Rabu (29/7/2020), semua kelurahan di Jakarta sudah memiliki kasus positif di atas sepuluh kasus dan dipetakan sebagai zona merah.
”Disebut teori memencet balon karena kasus terus bermunculan, tetapi tidak diketahui penyebabnya. Tindak lanjut penanganan masih reaktif, belum ada pencegahan secara signifikan,” kata dosen dan peneliti di Program Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang.
Ia menjabarkan teori memencet balon seperti menekan penyebaran Covid-19 di wilayah permukiman padat, tetapi kemudian muncul kluster baru di pasar tradisional. Ketika kluster pasar ditekan, muncul kasus baru di wilayah perkantoran. Demikian seterusnya. Belum ada metode yang bisa mengepung penyebaran virus dan mendesaknya agar terus berkurang.
Program Perencanaan Kota dan Real Estat Untar dan lembaga penelitian di bawahnya Center of Metropolitan Studies (Centropolis) memetakan perkembangan peta Covid-19 di Jakarta dengan publikasi terakhir pada 24 Juli. Mereka tengah menggarap pemetaan untuk diterbitkan pada 30 Juli. Tampak bahwa konsentrasi Covid-19 melingkar di kelurahan-kelurahan di pusat kota Jakarta.
Terdapat 14 kelurahan zona hitam, yaitu yang kasus positifnya di atas 100. Beberapa di antaranya Tomang, Kramat, Petamburan, dan Pademangan Barat. Adapun Kelurahan Tanah Tinggi dan Jembatan Besi merupakan dua wilayah dengan lonjakan kasus tertinggi dalam periode 25 Maret hingga 24 Juli.
Tanah Tinggi pada 25 Maret hanya mempunyai satu kasus positif. Pada April bertambah menjadi 5 kasus, kemudian menjadi 12 kasus per 24 Mei dan 24 kasus di pada 12 Juni. Akan tetapi, pada 24 Juni ada lonjakan menjadi 61 kasus dan kini tercatat 96 kasus.
Demikian pula dengan Jembatan Besi yang menurut Centropolis memiliki 95 kasus positif. Lonjakan terjadi per 12 Juni dari jumlah kasus 25 menjadi 49. Kemudian pada 24 Juni menjadi 66 kasus positif dan per 12 Juli jumlahnya 89 kasus.
”Kami belum menemukan pola ataupun mendengar ada penjelasan dari pemerintah pusat dan daerah alasan wilayah-wilayah tertentu jumlah kasusnya lebih tinggi atau cepat naiknya,” ujar Suryono.
Otoritas pusat
Antopolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Fadjar Thufail memaparkan, kenaikan kasus ini mengkhawatirkan, tetapi sekaligus wajar mengingat budaya Indonesia yang guyub dan memang masih sangat bergantung pada figur otoritas. Masyarakat Indonesia, sekalipun di Jakarta, belum bisa individualistis dan tahan tinggal di rumah berlama-lama seperti di Eropa. Berkumpul seperti arisan, nongkrong, hingga beribadah bersama sudah mendarah daging.
”Di masa darurat seperti ini, ketergantungan masyarakat pada figur otoritas menjadi keuntungan. Perlu ketegasan dari pusat, tidak hanya level gubernur dan bupati atau wali kota,” tuturnya.
Di masa darurat seperti ini, ketergantungan masyarakat pada figur otoritas menjadi keuntungan. Perlu ketegasan dari pusat, tidak hanya level gubernur dan bupati atau wali kota. (Fadjar Thufail)
Selain akan dikeluarkannya instruksi presiden mengenai denda, juga diperlukan ketegasan aturan untuk menutup kantor-kantor yang tidak memiliki satuan tugas (satgas) penangan Covid-19 yang terintegrasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Memberi sanksi administratif, sosial, ataupun pidana bagi pemerintah daerah yang abai memenuhi tes kesehatan sesuai arahan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, juga memberikan kewenangan bagi polisi dan TNI mendisiplinkan warga agar tidak berkerumun dengan cara-cara yang persuasif hingga koersif.
”Kalau sepenuhnya diserahkan kepada daerah, nanti sporadis penangannya. Misalnya, Jakarta sudah membuat berbagai aturan, melakukan tes, dan mendenda pelanggar keamanan. Namun, hal serupa tidak dilakukan di Depok, Bekasi, dan Tangerang sementara pergerakan orang terus berjalan. Jika ada aturan nasional, Pemerintah Provinsi Jakarta bisa menggugat daerah lain apabila abai,” ujar Fadjar.
Sementara itu, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jakarta Fify Mulyani mengumumkan ada penambahan 584 kasus positif baru sehingga jumlahnya menjadi 20.470 kasus. Terdapat 12.613 orang sembuh dan 820 orang meninggal.
WHO mengeluarkan standar aman persentase kasus positif adalah 5 persen, sedangkan Jakarta memiliki standar persentase 6,6 persen. Jumlah ini di bawah persentase kasus positif nasional, yakni 13,9 persen. ”Perlindungan pertama tetap bermasker, menjaga jarak, dan jika bisa tinggal di rumah,” kata Fify.