Ombudsman dan Pengamat Pertanyakan Kebijakan Ganjil Genap
Kebijakan Pemprov DKI menerapkan kembali ganjil genap dipertanyakan. Dikhawatirkan kebijakan itu memicu kluster baru, kluster angkutan umum yang sampai saat kini masih sangat terjaga berkat penerapan protokol ketat.
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
Hari ini, Selasa (4/8/2020), memasuki hari kedua penerapan aturan ganjil genap nomor kendaraan bermotor pribadi di Jakarta. Sejumlah pihak, seperti Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya dan pengamat tata kota mempertanyakan penerapan kebijakan ganjil genap pada masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi kali ini. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta untuk tidak gegabah menerapkan kebijakan sebelum betul-betul bisa memastikan dan menjamin keamanan dan kesehatan angkutan umum utama dan pengumpan.
Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, Senin (3/8/2020), mempertanyakan penerapan kebijakan itu. ”Pemberlakuan ganjil genap di tengah kenaikan angka Covid-19 yang terus naik di Jakarta merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan tidak memiliki perspektif yang utuh tentang kebencanaan,” ujarnya.
Jika penerapan kebijakan karena kemacetan lalu lintas dan kepadatan kendaraan di Jakarta, lanjut Teguh, seharusnya harus dicari akar permasalahannya. Ombudsman Jakarta Raya menengarai tingginya angka pelaju dari wilayah penyangga Jakarta yang menyebabkan kemacetan di jam-jam sibuk dan penumpukan penumpang di transportasi publik khususnya Commuter Line disebabkan oleh ketidakpatuhan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD juga perusahaan swasta dalam membatasi jumlah pegawainya yang harus masuk bekerja.
”Kami memperkirakan dengan total penggabungan angka pelaju pengguna commuter line, kendaraan pribadi roda empat dan roda dua, jumlah warga yang berangkat dan pulang dari tempat kerjanya di atas angka 75 persen,” terang Teguh lagi.
Dengan begitu, kata Teguh, yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat ke dan pulang kerja dari Jakarta. ”Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari Instansi Pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta yang bekerja di Jakarta,” ujarnya.
Yayat Supriatna, pengamat perkotaan, juga menyatakan hal serupa. Melongok pada kebijakan ganjil genap yang diterapkan saat kondisi normal tanpa pandemi, ganjil genap menjadi kebijakan push and pull untuk mendorong orang naik angkutan umum daripada menggunakan kendaraan pribadi.
Kemudian sekarang, saat ada pandemi Covid-19, Yayat mempertanyakan, apakah ganjil genap menjadi faktor push and pull kepada kantor-kantor untuk memperlakukan 50 persen WFH dan WFO? Sebab dinyatakan, ganjil genap diterapkan untuk membatasi mobilitas orang.
”Dalam kondisi pandemi begini, orang agak parno atau ketakutan untuk naik angkutan umum khususnya bagi kelas menengah ke atas. Kelas menengah ke atas lebih rasional, lebih matang dan lebih takut sebetulnya. Jadi, mereka selalu lebih memilih naik kendaraan pribadi sebagai pilihan,” jelas Yayat.
Baik Teguh maupun Yayat sepakat, seharusnya ada upaya menyinergikan lebih dahulu antara hulu dan hilirnya. ”Kalau ini tidak dilakukan, tidak akan berhasil,” kata Yayat.
Dari aspek hulu, jelas Yayat, adalah kegiatan perkantoran. Yang menjadi pertanyaan, apakah disnakertrans punya daftar kantor di 25 koridor ganjil genap? Apakah kantor di ruas jalan itu sudah memberlakukan WFO dan WFH? Aturannya dibuka dulu. Apakah disnakertrans sudah dapat laporan dari para pengelola gedung perkantoran bahwa 50 persen perkantoran di gedung-gedung yang mereka kelola itu sudah menjalankan WFH.
”Kalau tidak ada data kita akan sulit. Karena sebetulnya pada koridor jalan jalan ganjil genap itu bisa ditebak berapa banyak kantor dan berapa banyak kegiatan yang muncul. Sehingga dengan data itu, akan ketahuan, apakah kebijakan ini efektif atau tidak,” kata Yayat.
Teguh melanjutkan, untuk itu memang juga harusnya dilakukan pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan yang melanggar kebijakan 50 persen perkantoran itu. Kalau bicara jumlah pengawas disnakertrans yang hanya 58 orang, sedangkan perkantoran dan industri ada lebih 78.000, memang tidak seimbang.
”Di sini 5.000 ASN yang ditugaskan Sekdaprov DKI Jakarta untuk mengawal upaya menekan persebaran virus korona bisa dilibatkan. Ini menjadi cara lain pada saat regulasi yang mengatur pembatasan baru selevel pergub, yaitu Pergub 51 Tahun 2020,” kata Teguh.
Sebab, baik Teguh ataupun Yayat menyatakan, jika pengaturan di hulu tidak dilakukan, itu akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik. Pada saat sampai hari ini operator transportasi masih membatasi kapasitas penumpang dalam gerbong atau bus, antrean calon penumpang di halte atau di stasiun akan panjang.
Teguh ataupun Yayat menyatakan, jika pengaturan di hulu tidak dilakukan, itu akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi ke transportasi publik. Antrean dan kepadatan penumpang bisa terjadi.
Atau, para karyawan kelas menengah ke atas itu akan ”nebeng” atau numpang ke kendaraan pribadi temannya. Sehingga itu makin tak terdeteksi peralihannya.
Teguh melanjutkan, jika limpahan dari pengguna kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat sangat tinggi, kemungkinan yang bisa dilakukan PT KCI hanya dua. Satu, membiarkan penumpang mengular di antrean atau dua, membuka gerbong-gerbong mereka untuk mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan physical distancing.
”Ujung-ujungnya, persebaran virus terjadi. Dari perumahan ke pasar ke perkantoran ke angkutan umum,” kata Yayat menambahkan.
Untuk itu, Ombudsman RI Jakarta Raya menyoroti dua hal, yaitu perlunya pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan swasta yang membandel terhadap ketentuan pembatasan jumlah karyawan yang boleh masuk hanya 50 persen. Serta, waktu sif kerja yang diberlakukan selama ini terlalu pendek.
Sesuai dengan SK 1477/2020, yaitu sif pertama pukul 07.00–16.00 dan sif kedua pukul 09.00–18.00. ”Sif tersebut terlalu pendek dan itu yang menyebabkan para pelaju tetap berangkat kerja di jam yang sama dengan saat belum ada pembagian sif,” kata Teguh P Nugroho.
Ombudsman Jakarta Raya mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan kajian terhadap kebijakan tersebut. ”Hal yang sangat mungkin adalah memberi rentang waktu sif yang lebih panjang dengan jumlah jam kerja yang lebih pendek, misalnya sif pertama mulai pukul 07.00 dan pulang pukul 14.00, sementara sif kedua mulai pukul 11.00 dan pulang pukul 18.00. Kekurangan jam kerja bisa di kompensasi ke hari kerja, menjadi 6 hari kerja agar jumlah jam kerja satu minggu tetap terpenuhi,” kata Teguh.
Sementara Yayat melihat, dengan kebijakan itu seharusnya Dinas Perhubungan DKI Jakarta lebih dahulu memastikan bahwa jaminan keselamatan dan keamanan menggunakan angkutan umum itu merata. Selama ini, yang dinilai mampu menjaga protokol kesehatan barulah angkutan umum trunk line atau angkutan umum utama, seperti MRT Jakarta, Transjakarta, dan KRL.
Padahal, penumpang untuk menuju stasiun atau halte, sebelumnya menggunakan angkutan umum feeder atau pengumpan. Di antaranya angkot atau jalan kaki atau angkutan lainya.
”Karena itu, harus ada standar bahwa baik angkutan pengumpan ataupun angkutan utama bisa sama-sama menerapkan standar yang sama dalam hal protokol kesehatan. Apakah angkot yang masuk Jaklingko bisa? Dinas Perhubungan DKI harus bisa memastikan itu,” kata Yayat.
Untuk itu, terkait kebijakan ganjil genap itu, Ombudsman RI Jakarta Raya akan memanggil Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk meminta keterangan. Juga untuk memastikan proses penerapan kebijakan itu.
Sementara Yayat menyarankan untuk dilihat dulu dalam tiga hari sosialisasi ini, apabila pendekatan ganjil genap dilakukan sebagai skenario menekan agar ada rem untuk kegiatan perkantoran, mesti dilihat sebetulnya dalam 2-3 hari ini.
”Apakah volume kendaraan berkurang drastis atau tidak? Kemacetan tambah atau tidak? Penumpang angkutan umum naik atau tidak? Indikator-indikator itu dulu yang kita lihat. Karena transportasi hanya pendukung kegiatan. Kalau kegiatan ada, ada transportasi,” jelasnya.
Berangkat dari sana, mesti ada evaluasi detail mengenai penerapan kebijakan yang berbasis volume kendaraan itu.