Sedihnya, Pengalaman Kami Ternyata Belum Menjadi Pelajaran bagi Orang Sekitar
Meskipun keluarganya sudah dinyatakan pulih dari Covid-19 dan bisa berkumpul kembali, Yuni masih sering pucat dan lemas akibat ketakutan ketika mendengar ada orang yang berdeham, apalagi batuk.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Kecenderungan masyarakat bersikap apatis setelah hampir enam bulan pandemi Covid-19 berjalan membuat para penyintas penyakit ini geram. Pengalaman mereka berjibaku melawan penyakit akibat penularan virus korona jenis baru ini rupanya tidak menjadi pelajaran bagi orang lain. Justru, orang-orang di lingkungan sekitar malah menjadikan mereka contoh seolah Covid-19 tidak memiliki risiko yang mematikan.
”Covid-19 merenggut nyawa ibu mertua saya. Selama lebih dari satu bulan saya dan istri harus menjalani isolasi di tempat terpisah. Anak-anak terpaksa kami ungsikan. Benar-benar pengalaman buruk bagi keluarga,” kata Kamaludin (39), warga Sawangan, Depok, Jawa Barat, ketika dihubungi pada hari Rabu (12/8/2020).
Kamaludin merupakan ketua satuan tugas pencegahan Covid-19 di kompleks permukimannya. Pada April, terungkap bahwa ia, istri, dan mertua terinfeksi virus korona baru. Berawal ketika mertua mengalami sesak napas hebat dan saat diperiksa ke rumah sakit dokter meminta memeriksa ia sekeluarga. Hasilnya ialah Kamaludin beserta istrinya, Yuni, dan mertua positif Covid-19.
Nyawa mertua tidak tertolong karena suplai oksigen ke paru-parunya tidak mencukupi, tetapi Kamaludin dan Yuni masih bisa diselamatkan. Kamaludin diisolasi di sebuah rumah sakit, sementara Yuni memilih di rumah sendirian. Anak-anak mereka kirim untuk tinggal bersama kerabat. Selama satu bulan lebih keluarga itu terpisah.
Menurut Kamaludin, tidak diketahui siapa yang tertular Covid-19 terlebih dulu karena sejak tiga pekan sebelum mertua masuk rumah sakit, ia dan Yuni sudah bekerja dari rumah. Kamaludin mengaku gejala yang ia alami ialah batuk-batuk dan mudah kelelahan, Yuni malah tidak menunjukkan gejala. Akan tetapi, ia mengalami trauma.
Duka akibat kehilangan ibu, harus berpisah dari suami dan anak-anak, dan kesepian karena sendirian di rumah membuat Yuni depresi. Bahkan, ketika keluarga itu sudah dinyatakan pulih dan berkumpul kembali, kini Yuni masih sering pucat dan lemas akibat ketakutan ketika mendengar ada orang yang berdeham, apalagi batuk. Hingga kini ia masih menjalani terapi untuk menyembuhkan psikisnya.
Sampai sekarang Yuni masih sering pucat dan lemas akibat ketakutan tertular lagi ketika mendengar ada orang yang berdeham, apalagi batuk.
Pasangan ini terus mengampanyekan pentingnya bermasker dan menjaga jarak fisik di kompleks mereka. Namun, mereka mengaku saat ini upaya itu semakin sulit dilakukan. Di kompleks itu ada perang dingin di antara dua kubu. Kubu pertama mayoritas terdiri dari warga berusia di bawah 50 tahun dan berpendidikan yang terus waspada dengan penyebaran Covid-19. Mereka umumnya hanya keluar rumah apabila ada keperluan mendesak.
Kubu kedua ialah warga yang meremehkan pandemi. Mereka menolak mengenakan masker dan menganggap bahwa Covid-19 sudah berlalu. Kamaludin selaku ketua satuan tugas terus mengingatkan mereka, tetapi warga malah balik mengatakan tidak apa-apa karena melihat Kamaludin dan istrinya bisa sembuh.
”Saya dan istri bingung sekali. Bagaimana cara meyakinkan tetangga? Kami sudah mengatakan kesembuhan itu karena keberuntungan, ibu mertua saya tidak mendapat keberuntungan itu. Jangan mengambil risiko yang membahayakan kesehatan kita semua. Tapi, oleh tetangga malah dibilang sudah takdir,” keluhnya.
Beban keluarga
Bagi Bagus dan Angga (bukan nama sebenarnya), kenyataan bahwa mereka merupakan pasien positif Covid-19 untuk kategori orang tanpa gejala (OTG) tidak hanya membuat diri terkejut, juga menjadi beban mental, emosi, dan energi bagi keluarga masing-masing. Keduanya adalah pegawai di dua perusahaan swasta yang berbeda dan berusia di pertengahan 20-an dengan kondisi fisik bugar. Pekerjaan Bagus dan Angga sama-sama mengharuskan mereka untuk bepergian ke banyak tempat.
”Apalagi adanya jargon new normal membuat kantor saya kembali beroperasi seperti biasa. Alasannya, toh, mayoritas karyawan berada di lapangan, bukan di gedung kantor,” tutur Angga.
Ia mengaku, kesibukan bersosialisasi untuk pekerjaan terkadang membuat ia lupa bermasker. Apalagi, beberapa orang yang ia temui merasa tersinggung diajak berbicara jika Angga mengenakan masker.
Pada awal Agustus, lembaga yang sering didatangi Angga untuk urusan pekerjaan mengungkapkan salah satu karyawannya positif Covid-19. Mereka meminta orang-orang dari kantor mitra yang sering datang ke tempat itu agar mengikuti tes usap tenggorokan. Tak disangka Angga juga positif, padahal ia sama sekali tidak batuk, pilek, dan demam.
”Mental saya langsung down ketika hasil pemeriksaan keluar. Saya langsung menelepon istri dan meminta agar ia, ayah, dan adik juga segera dites,” katanya. Beruntung ketiga anggota keluarga itu negatif Covid-19.
Angga memilih mengisolasi diri di rumah. Ayah segera diungsikan ke rumah saudara. Istri ”diusir” dari kamar dan harus tidur di ruangan lain. Selama 14 hari Angga hanya berada di kamar. Makanan dan minuman diantarkan ke depan pintu.
Demikian juga pengalaman Bagus yang tertular Covid-19 ketika sedang bekerja di lapangan. Kebetulan, ia masih tinggal bersama orangtua sehingga mereka juga difasilitasi tes usap oleh salah satu lembaga yang kerap didatangi Bagus untuk bekerja. Ia lega karena kedua orangtua terbukti negatif.
”Saya mengurung diri di kamar sampai sekarang karena masih ada satu minggu lagi sampai dokter mengambil sampel baru. Selama ini juga saya ketakutan kalau-kalau dua minggu ini tidak sengaja menularkan ke orangtua, apalagi mereka sudah lansia,” ujarnya.
Angga dan Bagus menuturkan tidak memberi tahu tetangga bahwa mereka tengah menjalani isolasi mandiri. Mereka takut keluarga akan distigma. Saat ini saja semua anggota keluarga sudah stres karena cemas atas perkembangan kesehatan mereka berdua.
”Keluarga besar tahu saya positif Covid-19. Mereka semua mengirim doa dan dukungan, tapi di saat yang sama saya menjadi beban pikiran saudara-saudara lainnya. Mereka juga mengkhawatirkan kesehatan orangtua karena walaupun tampak sabar dan ikhlas, ayah dan ibu saya deg-degan setengah mati,” kata Bagus.
Tidak berubah
Angga mengaku kapok dengan pengalaman sebagai penyintas karena dampaknya tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga orang-orang yang ia sayangi. Akan tetapi, ia kesal di kantornya maupun di tempat-tempat yang biasa ia datangi untuk pekerjaan tidak ada perubahan sikap. Poster-poster yang menyuruh agar pengunjung senantiasa bermasker dan menjaga jarak memang ada, tetapi penerapannya tidak ada.
”Bahkan, lembaga yang karyawannya positif Covid-19 itu pun sampai saat ini tidak menegur orang yang lalai memakai masker. Menjaga jarak fisik juga belum terjadi. Saya harus berinisiatif memisahkan diri dari kerumunan dan tetap bermasker walaupun diledekin banyak orang,” ucapnya.
Bahkan, lembaga yang karyawannya positif Covid-19 itu pun sampai saat ini tidak menegur orang yang lalai memakai masker. Menjaga jarak fisik juga belum terjadi. Saya harus berinisiatif memisahkan diri dari kerumunan dan tetap bermasker walaupun diledekin banyak orang.
Guru Besar Kedokteran Keluarga dan Komunitas Universitas Gadjah Mada Hari Kusnanto menjabarkan fenomena apatisme ini terjadi karena masyarakat tidak lagi mengindahkan fakta, data, dan penjelasan oleh pakar yang jelas kredibilitasnya. Unggahan di media sosial, terutama oleh pendengung, artis, dan para pemengaruh (influencer) lebih dipercayai warganet. Apalagi pemerintah pusat dan daerah beserta politisi partai politik belum satu suara dalam melawan virus korona baru, (Kompas, 12 Agustus 2020).