Pelaku pembunuhan Sugiarto, yang diberondong dengan senjata api di Kelapa Gading, Jakarta Utara, masih belum menemukan titik terang. Dugaan pembunuh bayaran dominan dalam kasus itu.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Penembakan maut yang menewaskan Sugiarto (52) di Kelapa Gading, Jakarta Utara, masih belum menemukan titik terang. Pengusaha di bidang pelayaran itu tewas di tempat setelah diberondong empat kali tembakan dari arah belakang oleh orang tak dikenal. Publik pun kian menunggu dan bertanya-tanya, apa motif dari pelaku yang nekat menghabisi nyawa korban dengan senjata api.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amariel khawatir penembakan yang menewaskan pengusaha di bidang pelayaran itu merupakan ulah pembunuh bayaran. Beberapa motif dominan dalam kasus pembunuh bayaran itu, antara lain, berlatar belakang hubungan asmara atau hal lain yang berkaitan dengan uang.
”Saya khawatir itu pembunuhan bayaran. Ada beberapa motif dominan dalam pembunuhan bayaran, yaitu asmara yang porak-poranda atau untuk memperoleh uang. Misalnya, untuk persaingan usaha atau perebutan warisan,” kata Reza, Minggu (16/8/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Motif yang berkaitan dengan persaingan usaha ini juga sedang diselidiki Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara. Korban merupakan pengusaha yang memiliki banyak relasi dan kolega.
”Semua kemungkinan terkait dengan motif yang mungkin terjadi pada peristiwa tersebut sedang didalami dan kami evaluasi. Korban juga pengusaha yang tentu punya relasi, kawan, mungkin juga punya orang-orang yang tidak suka dengannya,” kata Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi.
Sugiarto tewas di tempat setelah ditembak orang tak dikenal di rumah toko Royal Gading Square, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (13/8/2020) sekitar pukul 12.45. Ia dibunuh saat sedang berjalan kaki ke rumahnya untuk makan siang. Waktu itu, korban baru menempuh jarak sekitar 50 meter.
Dari rekaman kamera pemantau dan keterangan saksi yang dikumpulkan polisi, pelaku penembakan diduga berjumlah dua orang. Salah satu pelaku berperan menembak korban dan pelaku lain menunggu di jalan depan luar ruko dengan sepeda motor. Seusai menghabisi nyawa korban, kedua pelaku pun kabur.
Kasus 2003
Dari catatan Kompas, kasus pembunuhan menggunakan senjata api yang berlatar belakang bisnis bukan persoalan baru. Pada 2003, Direktur Utama PT Aneka Sakti Bakti Budi Harto Angsono (45) dan seorang pengawalnya, Sersan Kepala Infanteri Edy Siyep (32) dari satuan Gultor—dulu Detasemen 81 Antiteror—Komando Pasukan Khusus, tewas ditembak orang tak dikenal. Peristiwa itu terjadi di halaman parkir Gedung Sasana Krida, Gelanggang Olahraga Pluit, Jalan Jembatan Tiga Nomor 1, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, 19 Juli 2003, sekira pukul 05.30.
Penembakan atas Budi Harto Angsono yang tinggal di Apartemen Saylendra, Mega Kuningan Lantai 22, ini merupakan kasus kedua yang menimpa jajaran direksi PT Aneka Sakti Bakti. Sebelumnya, Direktur Keuangan Teja Kusuma (44) ditembak di dalam mobilnya saat antre di lampu pengatur lalu lintas Jalan Angkasa-Jalan Gunung Sahari, Kemayoran, Jakarta Pusat (Kompas, 7/6/2003). Dalam penembakan terdahulu, Teja Kusuma selamat meski mengalami luka parah (Kompas, 20/7/2003).
Kasus itu kemudian diselidiki polisi dan dalam perjalannya diketahui kalau otak pembunuhan bernama Gunawan Santosa alias Acin (40). Ia merupakan dalang pembunuhan terhadap Budi Harto Angsono yang merupakan mantan mertuanya sendiri.
Gunawan pada saat ditangkap mengatakan, ia tega membunuh mantan mertuanya karena sakit hati lantaran diperlakukan tidak adil. Gunawan sendiri, menurut orang dekat korban, adalah mantan menantu Budi Harto yang juga pernah bekerja di PT Aneka Sakti Bakti. Namun, pada 1996 atau 1997, ia dikeluarkan dari perusahaan itu karena tidak mampu mempertanggungjawabkan uang perusahaan sebanyak Rp 40 miliar (Kompas, 22/7/2003).
Pembunuhan terhadap Budi Harto pun menyeret sejumlah anggota TNI AL. Jenderal Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI mengakui telah menangkap empat prajurit TNI AL terkait dengan pembunuhan Dirut PT Aneka Sakti Bakti Budi Harto. Perbuatan empat prajurit itu tidak bisa ditoleransi.
”Negara ini sudah mengeluarkan uang untuk mendidik mereka bukan untuk membekingi orang. Mereka dididik, dilatih, dengan uang rakyat untuk membela bangsa. Jadi, hal ini memang sangat disesalkan,” kata Endriartono (Kompas, 12/8/2003).
Seret pimpinan KPK
Kasus penembakan yang menyasar direktur perusahan juga pernah terjadi di Kota Tangerang, 14 Maret 2009. Saat itu, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin, tewas ditembak sepulang bermain golf di Lapangan Golf Modernland, Kota Tangerang.
Nasrudin dibunuh saat duduk di kursi kiri belakang mobil BMW abu-abu, dekat Danau Modernland, Tangerang. Korban ditembak dua kali. Peluru mengenai jendela mobil, lalu tembus ke pelipis kiri korban. Pelakunya diduga berjumlah dua pria berjaket coklat dengan sepeda motor (Kompas, 17/3/2009).
Kasus itu dalam perjalanannya kemudian menyeret mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Jilid 2, periode 2007-2009, Antasari Azhar. Ia dalam sebuah persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 Oktober 2009 didakwa ikut menganjurkan pembunuhan terhadap Nasrudin pada 14 Maret 2009 bersama Sigit Haryo Wibisono, Wiliardi Wizar, dan Jerry Hermawan Lo, (Kompas, 30/10/2009).
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam putusannya pada 11 Februari 2010, memvonis Antasari Azhar dengan pidana 18 tahun penjara. Sementara pengusaha Sigid Haryo dan Hermawan Lo masing-masing dihukum 15 dan 5 tahun penjara serta mantan Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Wiliardi Wizar dipidana 12 tahun penjara. Keempat terdakwa itu dinyatakan terbukti terlibat dalam pembunuhan terhadap Nasrudin (Kompas, 12/2/2010).
Mengapa senjata api?
Reza menambahkan, alasan pelaku menghabisi nyawa korban—terkait penembakan di Kelapa Gading—dengan senjata api bertujuan untuk menghapus memori saksi mata yang melihat pelaku saat membunuh korban. Saksi yang berada di sekitar lokasi pun secara spontan akan menghindar saat melihat senjata.
”Saat berhadapan dengan senjata dan atau situasi maut, atensi manusia adalah menghindari bahaya, baik secara fisik maupun psikis. Menghindar secara psikis termasuk pupusnya memori tentang peristiwa dan wajah orang-orang di lokasi bahaya itu,” ujar Reza.
Polisi pun kini tengah bekerja intensif dalam membuka tabir penembakan maut itu. Dari hasil investigasi ilmiah yang sudah berjalan, termasuk dengan meminta keterangan para saksi, polisi memublikasikan sketsa wajah terduga pelaku.
Dalam sketsa, eksekutor penembak Sugiarto digambarkan memakai topi dan masker, bertubuh agak kurus, berkulit bersih, tinggi sekitar 160 sentimeter, dan usia lebih kurang 35 tahun. Adapun rekan yang mengemudikan sepeda motor untuk membantu pelarian eksekutor bertubuh gemuk, rambut ikal, kulit hitam, tinggi sekitar 170 cm, dan umur kemungkinan 45 tahun.
Sementara itu, dari hasil hasil visum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, proyektil yang ditembakkan pelaku tidak ada yang bersarang di tubuh korban. Semua proyektil tembus sehingga pelaku diduga menembak korban dari jarak 5 hingga 10 meter.
Publik pun kian menunggu kerja polisi mengungkap kasus ini. Sebab, pembunuhan dengan senjata api merupakan persoalan serius. Di Indonesia, kepemilikan senjata api diawasi ketat oleh Polri.