Pelonggaran PSBB di Jakarta Berisiko Meningkatkan Penularan Covid-19
Keputusan kembali ke PSBB transisi dinilai tidak tepat karena dikhawatirkan akan menimbulkan lonjakan tinggi kasus positif Covid-19, terutama setelah peristiwa demonstrasi Rancangan Undang-undang Cipta Kerja.
Oleh
AGUIDO ADRI/STEFANUS ATO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah pengetatan selama satu bulan untuk menekan lonjakan kasus Covid-19, Provinsi DKI Jakarta kembali ke pembatasan sosial berskala besar transisi. Pelonggaran PSBB harus diperkuat dengan peningkatan tes, pelacakan, dan isolasi mengingat setiap pelonggaran selalu berpotensi meningkatkan risiko penularan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali ke PSBB transisi. Keputusan itu didasarkan pada laporan kasus harian, kasus kematian harian, tren kasus aktif, dan tingkat keterisian rumah sakit yang melandai selama tujuh hari terakhir. Sebelumnya, PSBB di DKI Jakarta diperketat satu bulan karena terjadi peningkatan kasus yang tak terkendali.
”Setelah stabil, kami mulai mengurangi rem tersebut secara perlahan, secara bertahap. Kami perlu tegaskan bahwa kedisiplinan harus tetap tinggi sehingga mata rantai penularan tetap terkendali dan kita tidak harus melakukan emergency brake kembali,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Minggu (11/10/2020), di Jakarta.
Selama periode 26 September sampai 9 Oktober 2020, masih ada tren peningkatan kasus positif Covid-19, yaitu sebesar 22 persen dan kasus aktif meningkat 4 persen. Namun, tren penularan itu cenderung melandai dibandingkan pada periode 29 Agustus sampai 11 September dan periode 12 September sampai 25 September.
Pada periode 29 Agustus sampai 11 September, jumlah kasus positif melonjak tinggi dengan peningkatan 37 persen dan kasus aktif mencapai 64 persen. Adapun pada periode 12 September sampai 25 September, peningkatan kasus juga masih terjadi, yaitu mencapai 32 persen kasus positif dan 9 persen penambahan kasus aktif.
Kurang efektif
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, PSBB ketat di DKI Jakarta selama satu bulan berhasil menekan penularan Covid-19. Meski demikian, PSBB ketat yang diterapkan di Jakarta selama satu bulan dinilai kurang efektif.
”Selama pengetatan, ada peningkatan penduduk yang tinggal di rumah walaupun tidak efektif. Kalau bisa ketat seperti dulu, bisa sampai 60 persen. Untungnya dibarengi dengan kegiatan testing, pelacakan kasus, dan isolasi,” tutur Pandu.
Pelonggaran PSBB juga kian diperlukan karena mulai ada kejenuhan dari warga selama masa PSBB ketat. PSBB Jakarta juga tidak efektif karena banyaknya kegiatan warga di luar pengetatan yang dibiarkan saja.
”Terjadi pengesahan undang-undang kontroversial (RUU Cipta Kerja) yang mengundang demonstrasi. Jadi, kalau diperpanjang terus, seperti tidak ada efeknya nanti,” kata Pandu.
Pelonggaran PSBB dalam situasi yang tidak ideal harus dibarengi dengan peningkatan surveilans berupa testing, pelacakan, dan isolasi. Masyarakat dan pelaku usaha juga diminta ikut berkontribusi mematuhi protokol kesehatan.
”Upaya pelonggaran itu akan terjadi potensial peningkatan risiko penularan. Jadi, harus cepat diidentifikasi agar tidak terjadi penularan lagi. Penduduk juga harus benar-benar patuh pada 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Kalau tidak, nanti suatu ketika bisa terjadi pengetatan lagi,” katanya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai, keputusan kembali ke PSBB transisi dinilai tidak tepat karena penularan masih berisiko tinggi.
”Memang ada tren melandai, tetapi masih ada risiko tinggi. Data yang disampaikan Pemprov DKI itu sementara, belum meyakinkan. Seharusnya bersabar dulu mengeluarkan aturan PSBB, jangan kembali ke PSBB transisi. Kebijakan pengetatan masih dibutuhkan,” kata Trubus.
Menurut Trubus, keputusan PSBB transisi akan semakin menyulitkan Pemprov DKI Jakarta untuk menekan angka kasus positif terutama dalam hal pengawasan ketat protokol kesehatan di perkantoran, tempat usaha, lingkungan sosial, dan keluarga.
”Sekali lagi yang saya soroti ialah implementasi aturan yang harus terlaksana jika PSBB transisi berjalan. Memang masih ada kebijakan 50 persen pengunjung, tetapi apakah ada yang menjamin taat aturan? Bagaimana nanti pengawasannya?” kata Trubus.
Pemprov DKI Jakarta, kata Trubus, akan semakin sulit menekan angka kasus positif dan penularan Covid-19 sehubungan dengan demonstrasi menentang Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Massa yang berkumpul dalam jumlah besar dan saling kontak dikhawatirkan menimbulkan kluster baru.
”Makanya, jangan PSBB transisi dulu. Seharusnya, dari perstiwa demonstrasi dengan massa yang banyak itu, PSBB semakin ketat. Pemprov DKI atau pemerintah pusat seharusnya tracing dan tes usap massal setelah aksi demonstrasi besar. Setelah itu baru memikirkan kebijakan PSBB transisi,” tutur Trubus, melanjutkan.
Waspadai kluster perkantoran
Pandu menambahkan, di masa PSBB transisi, Pemprov DKI Jakarta juga diminta untuk mengawasi secara ketat penerapan protokol kesehatan di kawasan perkantoran. Sebab, salah satu penyumbang kasus terbanyak di DKI Jakarta berasal dari kluster perkantoran atau tempat kerja.
”Sekarang kapasitas maksimal di kantor itu 50 persen, harus dipatuhi betul. Pada waktu PSBB transisi pertama, itu ketentuannya juga sama, tetapi banyak yang melanggar. Akibatnya, penularannya mengkluster,” kata Pandu.
Ruangan kerja atau perkantoran di Jakarta dinilai rata-rata tidak ideal karena tertutup dan memiliki pendingin ruangan yang belum memenuhi standar untuk mencegah penularan virus. Oleh karena itu, ruang-ruang kerja di Ibu Kota untuk sementara sebaiknya hanya dipasang kipas angin.
Sekarang kapasitas maksimal di kantor itu 50 persen, harus dipatuhi betul. Pada waktu PSBB transisi pertama, itu ketentuannya juga sama, tetapi banyak yang melanggar. Akibatnya, penularannya mengkluster.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang menyambut baik diberlakukannya PSBB Transisi.
”Setidaknya ekonomi Jakarta mulai bergairah kembali sekalipun masih dalam batasan jumlah 50 persen. Berbagai sektor usaha jasa, seperti hotel, restoran, kafe, dan rumah makan, dapat beroperasi kembali. Rasa optimisme pengusaha kembali muncul dengan diberlakukannya kembali PSBB transisi, tentu dengan harapan agar jangan lagi kembali ke PSBB yang diperketat,” tutur Sarman.
Sarman melanjutkan, dari keputusan tersebut, para pengusaha tetap harus menjalankan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin agar angka penyebaran virus Covid-19 terkendali dan semakin menurun sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih longgar lagi.
”Dalam masa PSBB transisi ini, kami juga berharap agar pemerintah jangan lengah untuk mengawasi, sosialisasi, serta menindak secara tegas, termasuk melalukan sidak berkala. Bagi kami, pengusaha, PSBB transisi ini menjadi pertaruhan agar angka penyebaran Covid-19 tidak semakin naik, tetapi semakin menurun dan terkendali,” kata Sarman.
Selain itu, menurut Sarman, cash flow pengusaha sudah semakin mengkawatirkan, kewajiban bulanan tidak lagi seimbang dengan pemasukan yang ada. Jika PSBB diperketat terlalu berkepanjangan, tidak menutup kemungkinan akan banyak pengusaha yang gulung tikar dan angka pengangguran semakin bertambah.
”Kami, pelaku usaha, berharap agar momentum Natal dan Tahun Baru dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya beli atau konsumsi rumah tangga sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi di kuartal IV-2020 ke arah pertumbuhan yang positif, tentu dengan kebijakan yang sudah longgar dan normal,” kata Sarman, mengakhiri.