Pandemi Covid-19 berkepanjangan membuat para orangtua dilanda penat yang kerap berujung stres. Mereka bersiasat agar kepenatan itu tidak memperkeruh suasana di rumah.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sudah tujuh bulan Kunaenah (52) hanya beraktivitas di sekitar rumah. Selama itu, ibu dua anak ini kerap dipusingkan dengan berbagai tugas yang menumpuk di rumah, mulai dari urusan rumah tangga hingga urusan pekerjaan di sekolah.
Sepanjang Kamis (15/10/2020), dia berkutat dengan persiapan aktivitas anaknya sejak pagi. Jadwal masak agak terlambat karena dia mesti menunggu pedagang sayur langganan ke rumah. Namun, dia mengusahakan anak-anaknya sudah makan dan mulai belajar pada pukul 07.00.
Selain mengurusi dua anak di rumah, dia juga harus mengurusi belasan siswa di sekolah pendidikan anak usia dini. Pembelajaran ala jarak jauh bukan hal yang mudah dilakukan untuk anak di bawah lima tahun, apalagi mereka belum terbiasa memegang gawai.
Karena keajekan rutinitas tersebut, tidak jarang Kunaenah merasa penat. Dalam situasi tertentu, warga Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini kadang merasa jadi lebih mudah marah kepada anak-anaknya. ”Saya kadang kalau lagi ribet, enggak ada yang bantuin kerja, jadi enggak terasa kalau merespons orang dengan nada tinggi. Anak sampai mengira saya lagi marah. Setelah beres rutinitas menjelang sore, rasanya juga seperti lemas sekali,” katanya kepada Kompas, Kamis (15/10/2020) siang.
Selain Kunaenah, ada Ery (44) yang juga merasakan penat di rumah selama pandemi. Rutinitas ibu dua anak ini memang lebih berkutat di rumah, tetapi belakangan dia merasa kegiatan makin repetitif. Situasi itu memancing kepenatan, bahkan cenderung membuat dia stres di rumah.
”Keluhan saya, sih, kalau anak lagi rewel banget, terus kita enggak bisa nyenangin dia dengan ngajak pergi begitu, jadinya bingung mesti bagaimana. Di rumah enggak banyak hal yang bisa dilakukan, pelariannya ke internet lagi, ponsel lagi,” kata warga Jelambar, Jakarta Barat, itu.
Dalam kondisi tertentu, penat yang dirasakan Ery dan Kunaenah bisa memuncak. Ery, misalnya, sempat kesal dengan suami karena situasi yang serba terbatas di rumah, termasuk persoalan keuangan. Kondisi yang tidak mengenakkan suasana hati mendorongnya gampang lelah dan cenderung berdiam di kamar.
Kepenatan yang dialami sebagian orangtua mungkin bukan hal biasa. Selama pandemi dikenal istilah parental burnout atau kelelahan orangtua. Kelelahan yang dimaksud berkenaan dengan kondisi psikologis para orangtua selama pembatasan sosial di rumah.
Leana Wen, ahli kesehatan masyarakat dari George Washington University, Washington, Amerika Serikat (AS), menyatakan, situasi kelelahan ini menjadi fenomena baru selama pandemi. Di AS, situasi ini seakan sepele, tetapi menimbulkan gejala yang samar, seperti pusing kepala, depresi, bahkan kecenderungan orang untuk mabuk minuman. Dalam laporan The New York Times, dia mengatakan, fenomena kelelahan orangtua perlahan kini menjadi bagian dari isu kesehatan publik.
Psikiater Danardi Sosrosumihardjo menuturkan, isu kelelahan secara psikologis termasuk dalam masalah kesehatan mental. Situasi pandemi yang serba tidak pasti jelas membuat seseorang juga lelah secara mental. Kondisi kelelahan mental tersebut pun tidak dapat dianggap remeh.
Survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selama April-Mei 2020 terhadap lebih dari 20.000 keluarga di Indonesia menunjukkan, 95 persen keluarga mengalami stres akibat pandemi. Salah satu faktor pemicunya adalah pembatasan sosial yang dilakukan hampir selama tujuh bulan terakhir.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) juga melakukan swaperiksa kesehatan jiwa pada 5.661 responden di 31 provinsi antara 4 April dan 7 Oktober 2020. Hasilnya, 68 persen responden mengalami masalah kejiwaan atau psikologis. Dari jumlah tersebut, 67,4 persen mengalami gangguan cemas, 67,3 persen depresi, dan 74,2 persen mengalami trauma psikologis.
”Paling banyak yang mengalami masalah psikologis tersebut adalah penduduk usia dewasa muda kurang dari 30 tahun,” kata Ketua Umum PDSKJI Diah Setia Utami dalam webinar menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) di Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri PDSKJI Khamelia Malik memperkirakan, prevalensi gangguan cemas responden selama pandemi mencapai 39 persen. Sementara prevalensi responden yang depresi sebanyak 51 persen. Prediksi ini valid di daerah dengan cakupan responden cukup tinggi, seperti provinsi-provinsi di Jawa.
”Sebelum pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kecemasan masyarakat sudah ada. Namun, semakin panjangnya pelaksanaan PSBB, dari ketat, transisi, hingga ketat lagi, kecemasan itu justru meningkat,” katanya. Di tengah ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, kecemasan itu diperkirakan terus naik.
Berhadapan dengan penat
Dengan situasi itu, para orangtua berusaha menghindari kepenatan dengan berbagai cara. Ery, misalnya, memasang kolam karet untuk anak-anaknya di rumah. Hal itu dilakukan demi menyenangkan anak dan mencari variasi kegiatan lain.
Sementara itu, Kunaenah membatasi penggunaan ponsel. Dia juga memperbanyak waktu berkumpul dengan suami dan anak-anak di rumah. ”Kurang-kurangi megang ponsel seusai kerja, biar enggak terlalu sumpek,” ucapnya.
Danardi mengatakan, kelelahan jiwa selama pandemi bisa dihadapi dengan berbagai cara. Salah satunya dengan bercerita kepada saudara dekat, saling berbagi kegelisahan. Tidak ada salahnya pula apabila mengambil sesi konseling dengan psikiater profesional.
Spesialis kedokteran jiwa dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Alvinia Hayulani, menyarankan, untuk mengurangi penyebab stres, lakukan relaksasi fisik dan manajemen aktivitas, tetap berkomunikasi, serta berkonsultasi kepada profesional. Cara mengurangi stresor adalah dengan membatasi atau mengurangi penggunaan media sosial untuk mengakses segala informasi tentang Covid-19. Sebab, media sosial dapat memicu masalah kesehatan jiwa lewat informasi yang bertebaran.
”Sebaiknya dapatkan berita yang akurat dan tepercaya dari sumber resmi atau jurnal. Jangan mudah percaya, saring informasi yang masuk, dan jangan telan bulat-bulat karena memengaruhi emosi,” kata Alvinia.