Jual-beli emas dengan sistem ”pre-order” plus iming-iming harga yang lebih murah mesti diwaspadai. Aktivitas itu kemungkinan berjalan dalam skema ponzi yang bisa berakhir dengan macetnya penyaluran emas ke konsumen.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jual-beli emas dengan sistem pre-order atau pemesanan, ditambah dengan iming-iming harga yang lebih murah, mesti diwaspadai. Sebab, aktivitas itu kemungkinan berjalan dalam skema ponzi yang kemudian bisa berakhir dengan macetnya penyaluran emas kepada konsumen setelah uang dibayarkan.
Kondisi tersebut salah satunya dialami pengecer emas berinisial MI (29). ”Pelajarannya, jika ingin membeli emas, sebaiknya membeli langsung secara tunai. Ada uang ada barang, bukan uang dahulu, barang kemudian,” ucapnya saat dihubungi pada Senin (19/10/2020).
MI terlibat dalam bisnis emas dengan sistem pemesanan dan mendapatkan emas dari pengecer lain dengan harga miring. Ia lantas mengetahui bahwa ternyata ia terjebak dalam jual-beli emas berskema ponzi.
Jual-beli dengan skema ponzi adalah bisnis dengan imbalan keuntungan besar bagi pengecer atau harga barang jauh lebih murah bagi konsumen, tetapi mensyaratkan pemesan harus ada terus-menerus. Jika jumlah barang yang dipesan berkurang atau bahkan tidak ada pemesan lagi, penyaluran barang kepada pengecer dan konsumen macet.
MI memberikan ilustrasi. Anggap saja harga normal emas Rp 1 juta per gram. Kepada para pemesan gelombang pertama, penjual menawarkan dengan harga Rp 500.000 per gram, dengan syarat pembeli menunggu satu bulan.
Setelah dua minggu, penjual membuka gelombang pemesanan lagi dengan harga serupa. Pesanan-pesanan masuk lagi beserta uangnya. Uang dari gelombang kedua digunakan untuk menutup kekurangan uang guna mendapatkan emas bagi pemesan gelombang pertama, mengingat harga emas selisih Rp 500.000 per gram. Sementara itu, agar emas tersedia bagi pemesan gelombang kedua, pemesanan gelombang ketiga dibuka. Begitu seterusnya.
”Ini lingkaran setan,” ujar MI.
Ia bercerita, pada awal 2019, teman istrinya menawarkan emas dengan harga murah lewat pemesanan. Mereka pun mencoba membeli 5 gram terlebih dahulu, dan sebulan kemudian emas benar-benar sampai ke tangan keduanya. Karena itu, mereka percaya itu transaksi yang tepercaya meski harga emas tergolong miring.
Teman istri MI menyampaikan, mereka bisa menawarkan kembali kepada konsumen lain dengan margin Rp 20.000-Rp 30.000 per gram. Ia dan istri pun mencoba berbisnis dengan menawarkan kepada kenalan-kenalan. Banyak yang tertarik.
”Awal-awal lancar, sekali dua kali masih oke. Nah, pas terakhir di bulan April (2020), macet,” kata MI.
Ketika itu, ada 28 pembeli emas yang memesan kepada MI dan sudah memberikan uang. Ditambah dengan uang pribadinya (karena MI juga ikut membeli emas), ia menyetor total Rp 1,2 miliar kepada pengecer berinisial NW (28). Namun, penyaluran emas bagi NW pun macet. Padahal, NW kabarnya sudah menyetor Rp 5 miliar. Penyuplai emas bagi NW berinisial RPS (31). MI curiga masih ada aktor yang bermain di atas RPS.
MI bingung karena konsumen-konsumennya menuntut pertanggungjawaban. Ia mengerti sebab banyak di antara konsumennya yang juga mengecer emas seperti dirinya, yang juga ditagih oleh konsumen masing-masing. Namun, ia pun kesulitan untuk mendapatkan emas atau pengembalian uang dari NW.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada MI dan konsumen lain, NW melaporkan RPS kepada polisi dengan dugaan tindak pidana pencucian uang. Namun, MI juga berusaha menunjukkan dirinya bertanggung jawab kepada konsumen-konsumennya dengan cara mencicil pengembalian uang.
Sejauh ini, ia sudah mengeluarkan Rp 100 jutaan dari kocek pribadi. Ia tengah merintis usaha penatu (laundry) agar pemasukan bisa untuk segera menuntaskan cicilan pengembalian uang.
Valuta asing
Saat dikonfirmasi, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Helmy Santika mengatakan, proses pemeriksaan saksi dan tersangka RPS sudah selesai. Barang bukti juga sudah disita.
Dari hasil pemeriksaan, modus operandi tersangka RPS ialah melakukan aktivitas jual-beli logam mulia dan valuta asing (valas) dengan cara pre-order. Dalam waktu 14 hari setelah pembayaran, barang diserahkan kepada pelanggan. Pembayaran dilakukan dengan sistem transfer ke rekening RPS dan suaminya, S, melalui Bank BCA dan Mandiri.
Tersangka RPS, yang merupakan ibu rumah tangga, menjual logam mulia lebih murah kepada para korbannya sehingga menarik minat banyak orang. Ia juga menawarkan valas dengan harga yang lebih rendah dari harga pasaran. Tersangka membeli logam mulia secara daring dan di toko emas.
Total kerugian yang dilaporkan oleh para korban RPS mencapai Rp 271.592.602.000. Hasil kejahatan dipergunakan oleh tersangka untuk biaya hidup, belanja properti, dan kendaraan yang sudah disita oleh penyidik.
”Berkas sudah selesai dan siap dilimpahkan ke jaksa penuntut umum,” kata Helmy.