Ketidakefektifan pembelajaran jarak jauh jadi alasan utama publik ingin sekolah tatap muka lagi. Namun, publik juga ragu sekolah bisa dibuka mengingat kasus positif masih tinggi dan disiplin protokol kesehatan rendah.
Oleh
MB. DEWI PANCAWATI (LITBANG KOMPAS)
·4 menit baca
Dunia pendidikan menghadapi pilihan yang sulit. Di satu sisi krisis pembelajaran akan terjadi jika pembelajaran jarak jauh dengan berbagai kendalanya semakin lama dijalankan. Namun, di sisi lain, kesehatan dan keselamatan anak didik, pendidik, dan tenaga kependidikan terancam jika kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka diberlakukan kembali.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, pertengahan November lalu, menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19. SKB empat menteri tersebut menimbulkan respons beragam dan masih menjadi polemik di masyarakat.
Hasil jajak pendapat Kompas, akhir November lalu, merekam suara publik terkait dengan sekolah tatap muka di tahun 2021. Mayoritas responden (85,5 persen) menyetujui jika sekolah memberlakukan kembali pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran mendatang.
Krisis pembelajaran
Beberapa alasan diungkapkan oleh responden yang mendukung pembukaan sekolah kembali. Alasan yang menonjol diungkapkan oleh separuh lebih responden adalah ketidakefektifan PJJ dalam bentuk daring atau luring serta kekhawatiran menurunnya kualitas pendidikan.
Sementara lebih dari seperempat responden mengeluhkan PJJ sudah berjalan terlalu lama. Hal tersebut mengakibatkan siswa menjadi jenuh, malas, bahkan terdemotivasi untuk belajar.
Persoalan tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial menjadi salah satu prinsip dan pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi. Jika PJJ tidak efektif, krisis pembelajaran akan semakin parah. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah dalam mengijinkan sekolah membuka kembali KBM tatap muka dengan persyaratan yang ketat.
Ketentuan untuk membuka aktivitas belajar mengajar tatap muka cukup ketat. Meski pemerintah daerah dan satuan pendidikan sudah siap, jika tidak mendapat persetujuan komite sekolah/perwakilan orangtua, KBM tatap muka tidak bisa dipaksakan untuk dijalankan. Sekolah tidak bisa memaksa dan orangtua bisa menolak jika merasa belum nyaman anaknya masuk sekolah.
Ancaman penularan
Di sisi lain, masih ada sekitar 14 persen responden yang secara tegas menyatakan tidak setuju dengan pembukaan sekolah tahun depan. Alasan utama yang diungkapkan oleh hampir 60 persen responden adalah masih tingginya kasus positif Covid-19. Kekhawatiran ini wajar mengingat sekolah juga berpotensi menjadi kluster penularan Covid-19.
Persentase kasus positif (positivity rate) Indonesia pada November tercatat masih tinggi, di atas 10 persen. Berdasarkan ketentuan WHO untuk pelaksanaan kegiatan masyarakat, angkanya harus kurang dari 5 persen dalam dua pekan berturut-turut. Catatan laman covid19.go.id juga menyebutkan, sampai 15 November, sebanyak 11,25 persen anak usia 0-18 tahun terkonfirmasi positif Covid-19.
Kekhawatiran orangtua akan kenaikan kasus Covid-19 juga diikuti oleh kecemasan terhadap kedisiplinan anak dalam menerapkan protokol kesehatan. Sebanyak 18,2 persen responden masih meragukan kedisiplinan anak-anak dalam menjalankan 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak). Kerinduan bertemu dengan guru dan teman-teman setelah berbulan-bulan belajar dari rumah bisa membuat anak-anak lupa dengan 3M tersebut.
Di samping itu, 9 persen responden juga masih meragukan kesiapan sekolah dan guru dalam menjalankan protokol kesehatan. Sarana kesehatan dan kebersihan di sekolah juga dinilai belum memadai. Berbagai alasan tersebut menjadi pertimbangan responden belum rela melepas anaknya jika sekolah dibuka kembali awal tahun depan.
Survei Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Kemendikbud di 34 provinsi menunjukkan, dari 27.046 guru dan tenaga kependidikan, 76 persen masih khawatir dan ragu untuk kembali ke sekolah selama masa pandemi. Dalam survei yang dilakukan pada 18 Agustus-5 September itu juga ditemukan mayoritas guru mengkhawatirkan potensi terjadinya penularan korona. Alasan lainnya, kondisi belajar yang tidak nyaman dan tidak efektif.
Solusi pembelajaran
Dilema pembukaan sekolah tatap muka tahun depan melahirkan beberapa usulan terkait kebijakan aktivitas belajar mengajar. Separuh lebih responden mencetuskan ide untuk tetap belajar tatap muka dengan syarat protokol kesehatan ketat.
Hampir 20 persen menyarankan untuk membuka sekolah hanya di zona hijau dan kuning. Di sisi lain, ada ide yang lebih aman untuk menjalankan cara campuran antara pembelajaran tatap muka dan daring yang dicetuskan 15 persen responden.
Dari berbagai usulan solusi tersebut, pembukaan sekolah memang harus mempertimbangkan banyak faktor. Pemerintah daerah jangan terburu-buru memutuskan pembelajaran tatap muka. Bagaimanapun prinsip kesehatan serta keselamatan guru dan siswa menjadi yang utama.