Di balik kisah duka kecelakaan pesawat SJ-182 PK-CLC, ada para petugas yang berusaha selalu siaga melayani warga. Mereka menjalankan tugas sepenuh hati dan tidak ingin keluarga korban terus berada dalam perasaan duka.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fathimah (31) tampak sibuk mendampingi Nurul (40) yang tidak kuasa menahan tangis di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto, Kramatjati, Jakarta Timur. Senin (11/1/2021) sore itu, Fathimah berpikir keras bagaimana cara menenangkan Nurul yang bersedih akibat kepergian sang adik kandung.
Fathimah lalu memindahkan Nurul dari ingar bingar kerumunan orang. Dia mencoba menenangkan Nurul dengan memberi minuman. Selama situasi itu, tangisan Nurul agak mereda dan mulai merespons saat diajak bicara.
Fathimah yang menjadi pendamping sosial bagi keluarga korban kecelakaan pesawat SJ-182 PK-CLC baru bisa sedikit tenang saat itu. Dirinya merasa lega karena dapat turut mengurangi duka yang dialami pihak keluarga.
”Banyak keluarga yang berduka dalam kondisi sekarang ini. Saya hanya berusaha menenangkan dan lebih banyak mendengar. Saya pikir mereka lebih perlu didengar daripada terus-menerus ditanya,” kata Fathimah di posko antemortem rumah sakit, Senin sore.
Fathimah adalah satu dari belasan psikolog pendamping yang bertugas menemani keluarga korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air. Mereka bertugas memberi semangat di tengah kondisi keluarga yang berduka.
Kehadiran pendamping psikolog menjadi penting lantaran banyak keluarga yang sulit melepas duka kehilangan. Nurul, misalnya, merasa sangat kehilangan saat melihat nama adiknya, Arneta Fauzia (40), ada di dalam manifes pesawat. Nurul terus menangis saat menunggu di posko antemortem rumah sakit.
Danny (38), Koordinator Pendampingan Psikologis dari Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto, mengerahkan segenap tim untuk mendampingi keluarga korban sepanjang Senin (11/1). Mereka berusaha lebih aktif mendengar apa saja yang dibutuhkan pihak keluarga selama di rumah sakit.
”Kami berusaha lebih banyak mendengar saat para keluarga berduka. Kami tidak banyak mengintervensi kedukaan mereka, tetapi kami berusaha menyiapkan mereka saat menerima kabar kehilangan orang tercinta,” ujar Danny.
Tidak hanya psikolog pendamping, seluruh petugas dari berbagai bidang berusaha melayani warga semaksimal mungkin. Petugas identifikasi jenazah, misalnya, turut mengupayakan agar pelacakan identitas korban berlangsung cepat.
Ada 306 petugas Disaster Victim Identification (DVI) yang bekerja secara gabungan sejak Sabtu (9/1). Kendati begitu, baru satu jenazah yang teridentifikasi hingga Senin.
Kepala Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) Polri Brigadir Jenderal (Pol) Hudi Suryanto mengatakan, kerja tim identifikasi tidak mudah mengingat sebagian jasad korban kini berupa bagian-bagian tubuh. Tim mesti lebih teliti mengamati bagian mana saja yang bisa diidentifikasi, semisal rekam sidik jari yang ada pada tangan.
”Dalam kecelakaan seperti ini, tidak ada bagian jasad yang masih utuh sehingga hal tersebut menjadi kesulitan tersendiri bagi tim. Tim DVI secara keseluruhan juga mengupayakan identifikasi dari cara-cara lain, seperti dari sampel DNA atau barang-barang yang dipakai korban. Proses ini tidak bisa sebentar dan butuh kerja sama seluruh pihak,” ungkap Hudi.
Kepala Bidang Disaster Victim Identification (DVI) Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri Komisaris Besar Ahmad Fauzi menegaskan, seluruh petugas pasti mengupayakan yang terbaik untuk para keluarga korban. Tim DVI terutama ingin memastikan agar informasi terkait identifikasi jenazah bisa segera tersampaikan.
”Yang jelas, kami semua mengupayakan yang terbaik. Proses identifikasi juga mengalami banyak kendala, tetapi bukan berarti tidak mungkin dituntaskan,” ujarnya.