Mogoknya pedagang saging sapi berdampak pada kelangsungan aktivitas usaha pedagang kuliner di Kota Bekasi. Sebagian pedagang kuliner terpaksa berhenti berjualan karena tak mendapatkan bahan baku.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Ketersediaan daging sapi di sejumlah pasar di Kota Bekasi, Jawa Barat, langka setelah para pedagang daging mogok berjualan. Situasi ini mengakibatkan sejumlah pedagang kuliner yang mengandalkan bahan baku daging sapi sebagai salah satu menu utama terpaksa berhenti berjualan.
Dari pantauan di Pasar Kranji Baru, Jalan Patriot, Kecamatan Bekasi Barat, dan Pasar Baru, Kecamatan Bekasi Timur, pada Rabu (20/1/2021), tampak lapak pedagang daging sapi sepi. Tak ada aktivitas apa pun. Jika masih ada yang berjualan, itu pun dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan rekan pedagang yang lain.
Salah satunya, Rudi (34), pedagang daging sapi yang ditemui di Pasar Kranji, pada Rabu, siang. Ia mengatakan, terpaksa masih berjualan untuk menghabiskan stok daging yang belum terjual. Daging yang tersisa sekitar empat kilogram itu pun hanya dijual kepada para pelanggan tetapnya.
Kami tidak kuat lagi dengan tingginya biaya impor sapi hidup Australia. Padahal, Indonesia sudah selama 35 tahun menjadi negara nomor satu pembeli sapi hidup dari Australia. (Tubagus Mufti Bangkit Sanjaya)
”Saya ngumpet-ngumpet untuk layanin pelanggan doang. Pelanggan saya, seperti tukang bakso atau rumah makan, mereka kan, butuh stok untuk daging. Mereka butuh produk kami,” katanya.
Rudi menambahkan, para pedagang daging sapi terpaksa mogok berjualan lantaran sejak akhir Desember 2020, terutama menjelang perayaan Natal, harga daging sapi terus naik. Harga eceran daging sapi naik dari Rp 110.000 per kilogram menjadi Rp 120.000 per kilogram.
Dari harga Rp 120.000, pedagang kemudian menjual lagi ke pelanggannya dengan harga yang sama, yaitu Rp 120.000 per kilogram atau tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Hal ini terpaksa dilakukan para pedagang karena jika mereka menaikkan harga jual, otomatis barang dagangannya sepi pelanggan.
”Kalau kami tidak beli, bisa-bisa tidak dikasih lagi sama bos. Makanya sebenarnya pedagang kecil yang susah, dijual salah, enggak dijual juga salah. Begini sudah risiko jadi pedagang, tanggung jawab kami kepada pelanggan saja walaupun tidak ada keuntungan,” kata Rudi.
Sebelumnya, Sekretaris Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) DKI Jakarta Tubagus Mufti Bangkit Sanjaya mengatakan, pedagang daging di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi mogok berjualan per Selasa (19/1/2021). Aksi mogok itu dilakukan lantaran tingginya biaya impor sapi hidup Australia.
”Kami tidak kuat lagi dengan tingginya biaya impor sapi hidup Australia. Padahal, Indonesia sudah selama 35 tahun menjadi negara nomor satu pembeli sapi hidup dari Australia,” katanya.
Krisis harga sapi hidup impor ini berlangsung sejak Idul Fitri di pertengahan tahun 2020. Semakin ke pengujung tahun, kenaikan harga kian tidak terkendali. Data APDI Jakarta mengungkapkan, di pertengahan 2020 harga karkas Rp 80.000 per kilogram. Pada Desember 2020 rentang harganya menjadi Rp 92.000-Rp 96.000, belum ditambah biaya pemotongan dan pemisahan daging dari tulang. Harga eceran di pasar ialah Rp 120.000 per kilogram.
RPH sepi aktivitas
Aksi mogok pedagang daging itu juga berdampak pada aktivitas di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi. Sejak pedagang mogok, pada Selasa malam, tak ada aktivitas pemotongan sapi di RPH tersebut.
”Tadi malam (Selasa) kami tidak ada pemotongan hewan. Kami sudah siap-siap sampai dini hari, tetapi tidak ada kegiatan dan pemotongan,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah RPH Kota Bekasi M Subarkah.
Ia menambahkan, pada saat normal, terutama akhir pekan, jumlah sapi yang dipotong di RPH tersebut mencapai 18 ekor hingga 20 ekor. Dari jumlah itu, daging tersebut kemudian didistribusikan di sejumlah pasar tradisional di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, hingga ke DKI Jakarta.
Dampak lain dari mogoknya pedagang daging berjualan juga berdampak pada aktivitas usaha kuliner di Kota Bekasi. Sejumlah pedagang yang selama ini mengandalkan bahan baku daging sapi sebagai menu utama tak lagi berjualan.
Salah satunya, Deni (42), pedagang sop daging sapi dan sop iga sapi di Jalan Ir Juanda, Bekasi Timur. Ia mengatakan, sebelum pedagang daging mogok berjualan, ia sempat ditawar oleh pelanggan tetapnya untuk membeli daging dalam jumlah besar selama tiga hari ke depan.
”Kemarin ditawar beli banyak, sekitar enam kilogram sampai tujuh kilogram, tetapi uang tidak cukup. Hari ini saya habiskan stok tersisa, besok tidak bisa jualan lagi,” katanya.
Siapkan operasi pasar
Menanggapi kelangkaan daging di pasaran akibat pedagang daging mogok berjualan, Pemerintah Kota Bekasi berencana untuk menggelar operasi pasar di beberapa lokasi di wilayah Kota Bekasi. Operasi pasar itu, menurut rencana, dimulai pada Kamis (21/1/2021).
”Kami koordinasi dengan Satuan Tugas Pangan untuk mengatasi kelangkaan daging segar di pasar tradisional. Koordinasi juga dengan Bulog, PT Pertani Indonesia, dan Toko Tani Indonesia untuk melakukan operasi pasar daging murah di beberapa lokasi,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Perikanan, dan Pertanian Kota Bekasi Abdul Iman.
Di Kota Bekasi, kebutuhan daging per hari mencapai sekitar 16 ton. Meski demikian, operasi pasar untuk mengantisipasi kelangkaan daging sapi akan disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut.