Masjid Cut Meutia di Jakarta tak cuma mengumandangkan puja-puji bagi Sang Pencipta selama bulan Ramadhan ini. Selama dua malam pada Jumat (17/5/2019) dan Sabtu, terdengar ingar-bingar dan kemilau lampu panggung musik populer bernuansa jazz dari pelatarannya. Jangan terlalu terhanyut, karena acara ini berlangsung di pekarangan rumah ibadah.
Shalat tarawih pada Jumat malam di Masjid Cut Meutia itu sudah selesai. Namun, kendaraan yang terparkir di ruas Jalan Cut Meutia di daerah elit Menteng, Jakarta Pusat, itu masih banyak. Mobil terparkir sampai dua lajur. Orang-orang juga berbondong-bondong mau masuk ke pelatarannya. Mereka mengantre hingga empat baris. Panjang antreannya mungkin sekitar 50 meter. Tampak panjang, tapi tetap tertib.
Jarum jam belum melampaui angka 9 ketika samar-samar terdengar suara berat khas Sujiwo Tejo dari latar masjid. Seniman banyak bisa itu tidak sedang mengaji. Dia memainkan wayang, juga meniup saksofon. Ya, Sujiwo Tejo adalah penampil pertama di perhelatan Ramadhan Jazz Festival, yang hingga tahun ini telah berlangsung sebanyak sembilan kali itu.
Acara inilah yang jadi tujuan muda-mudi yang rela mengantre tadi. Sujiwo Tejo adalah salah satu penampilnya. Tapi melihat masih panjangnya antrean, jelas bukan Sujiwolah primadona festival ini. Banyak orang yang melewatkan penampilannya, tapi tak banyak yang menyesali keterlambatan mereka.
Sudah menjadi kebiasaan kami untuk memerhatikan ekspresi para penonton bilamana meliput sebuah festival musik. Pilihan gaya berpakaian adalah salah satu bentuk ekspresi itu. Bukan kebetulan, panitia memajang saran berpakaian di akun Instagram mereka sehari sebelum festival berlangsung.
Unggahan itu menampilkan gambar cowok bercelana panjang dan berkemeja lengan panjang. Sementara yang cewek pakai luaran panjang, juga berkerudung. Keterangan fotonya tertulis dalam bahasa Inggris, yang kalau diterjemahkan kira-kira berbunyi, “Ikuti panduan berpakaian kami. Jangan lupa mengenakan pakaian nyaman yang menutupi tubuh.”
Pesan itu cukup jelas. Maaf, teramat jelas. Pakaian memang berfungsi menutupi tubuh. Sedangkan “nyaman” itu relatif, setiap orang punya batasan sendiri. Untuk hawa lembab seperti Jakarta, pakai kemeja lengan panjang, apalagi berada di tengah kerumunan manusia, bisa membuat badan cepat keringetan.
Maka, tak terlalu banyak pengunjung pria yang “mematuhi” imbauan berkemeja lengan panjang itu. Memang hampir tidak ada pengunjung pria yang pakai celana pendek, apalagi di atas lutut. Ini pemandangan yang cukup langka di acara festival musik. Namun, celana panjang memang baik menghalau angin malam. Sementara pengunjung perempuan banyak juga yang memakai kerudung.
Selain mengunggah gambar imbauan berpakaian, penyelenggara juga memasang gambar yang berisi larangan. Isinya adalah larangan untuk mengonsumsi narkoba, merokok, makan dan minum, bersenjata (gambarnya pisau, bukan pistol), membentangkan poster, membawa “lensa (kamera) profesional”, laser, dan botol maupun kaleng minuman. Satu larangan lain, yang tak lazim di acara musik, adalah “no physical touch”, alias dilarang sentuhan fisik!
Larangan yang disebut terakhir itu sebenarnya membingungkan. Mungkin yang dimaksud adalah bersentuhan fisik dengan lawan jenis. Tapi tak ada pemisahan area bagi masing-masing jenis kelamin. Lagi pula, pengunjungnya sangat ramai. Mustahil untuk tidak bersentuhan fisik, sengaja maupun tidak.
Romantis
Aturan itu sepertinya agak membuat canggung. Penyanyi kawakan Andre Hehanusa, yang main di hari kedua, mungkin keceplosan waktu berujar kepada penonton, “Ayo, yang mau berpegangan tangan, silakan. Sedikit aja sentuhannya, ya…,” pinta Andre di sela-sela lagu romantis “Kuta Bali”. Lantunan lirik romantis di lagu itu memang melenakan.
Sebagian besar artis yang tampil menguarkan nuansa romantis seperti Andre. Di hari pertama, ada duo Ayudia Bing Slamet dan Muhammad Pradana Budiarto yang bergabung dalam nama Dengarkan Dia. Mereka adalah pasangan di panggung dan luar panggung. Romantisme mereka terpancar dalam lagu yang mereka bawakan, salah satunya berjudul “Bersenyawa”. Begini petikan bagian refrain-nya: “Kita tumbuh dan bersenyawa/mendekap dan mendekat dalam jiwa/sampai tua//”. Siaaaappp!
Masih belum cukup romantis? Penampil berikutnya, Rizky Febian, menggenapi kesyahduan itu. Salah satu rayuannya malam itu adalah, “Mungkin suatu saat nanti/kau dan aku bersama/berdua kita jalin kasih/dalam satu ikatan cinta//” dalam lagu “Indah pada Waktunya”. Lagu paling terkenalnya, “Kesempurnaan Cinta” jadi penutup penampilannya. Rizky dapat sambutan meriah: tepukan dan jejeritan.
Glenn Fredly jadi penutup di malam pertama, yang sebenarnya sudah pagi. Dia naik panggung sekitar jam 01.00. Lagu pertamanya adalah “Semua karena Cinta” yang pernah dipopulerkan Joy Tobing. Dia melanjutkan dengan “Like Never Before”. Semakin mendekati pagi, Glenn mengenalkan lagu barunya “Orang Biasa”. Di sini, Glenn mengenalkan cinta dalam bentuk lain, yaitu penghormatan kepada orang-orang biasa yang bekerja penuh ketulusan.
Nuansa cinta memang kuat terpancar dari lagu-lagu yang dibawakan para penampil. Selain yang sudah disebutkan, artis lainnya di perhelatan tahun ini adalah Saxx in the City, Ecoutez, Tosca, Element Reunion, Chiki Fawzi, HiVi!, Barsena Bestandhi bareng Olivia Pardede, dan solois asal AS, Jeremy Passion. Lagu-lagu mereka selaras dengan tema festival “love unites all”, atau “cinta mempersatukan kita”.
Ketua Remaja Islam Masjid Cut Meutia (Ricma), Muhammad Husein menjelaskan tema itu penting bagi bangsa Indonesia, terutama di hari-hari ini. “Pikiran dan pilihan kita boleh berbeda-beda. Tapi jangan sampai perbedaan ini membuat kita terpecah belah. Acara malam ini hendak menyatukan Indonesia demi tujuan bersama,” kata Husein yang tampil necis itu. Ramadhan Jazz Festival ke-9 itu dikerjakan bersama antara Ricma dan Warta Jazz.
Penyelenggara mengajak pengunjung untuk mencurahkan cinta kepada sesama lewat wujud donasi. Sebenarnya kurang tepat juga disebut “mengajak”, sebab setiap penonton wajib membeli tiket. Nah, tiket itu merupakan donasi, yang kali ini diserahkan kepada Yayasan Difabel Action Indonesia.
Dengan misi sedemikian, sepertinya tak terlalu penting lagi menyoal warna musik pop yang dominan di acara berlabel jazz ini. Lagu-lagu reliji pun tak banyak dibawakan. Tak apalah. Yang penting penonton, dan panitia—yang berjubelan di bibir panggung—senang. Cinta bertalu-talu di bulan puasa dari Masjid Cut Meutia.(HEI)