Kreativitas Mahasiswa Indonesia di Australia Bertahan Hidup
Banyak mahasiswa Indonesia di Australia yang tetap bertahan di sana meski harus berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian dari mereka kehilangan pekerjaan paruh waktunya. Mereka berharap virus korona segera hilang.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 telah membuat banyak pelajar internasional yang sekolah di Australia kehilangan pekerjaan paruh waktu. Mahasiswa Indonesia yang berada di ”Negara Kanguru” terpaksa menjalani kuliah virtual sambil putar otak mengatur pengeluaran. Beberapa pelajar hidup dengan mengandalkan tabungan, bekerja serabutan, hingga membuka usaha catering.
Dampak pandemi dirasakan oleh Nandra Mulianandika (33), mahasiswa Jurusan Commercial Cookery di Canterbury Business College, Australia. Sebelum ada pandemi virus korona baru, Nandra bekerja paruh waktu sebagai chef pada tiga tempat sekaligus, yaitu di restoran, pub, dan hotel. Begitu Pemerintah Australia memutuskan lockdown, industri pariwisata dan hiburan berhenti bergeliat. Nandra terpaksa dirumahkan karena tempatnya bekerja tutup.
Tidak ada pekerjaan, artinya tidak ada pemasukan. ”Padahal, aku butuh uang untuk membayar biaya kuliah, menyewa penginapan, dan membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Beberapa akomodasi memberikan diskon untuk penghuni, tetapi tempatku menginap tidak memberikan diskon. Tanpa pekerjaan, hidup susah karena semua serba mahal,” ujarnya.
Setelah dua pekan menganggur, Nandra kepikiran membuka usaha catering Dapur Anak Sekolah. Kebetulan ia menyukai dunia kuliner dan bercita-cita membuka bisnis di bidang makanan. Untuk menjalankan bisnis ini, ia mengajak temannya, Jilly Audryn Stefanie (30), mahasiswa Evolution Hospitality Institute, Australia, yang juga kehilangan pekerjaan akibat pandemi.
Agar bisnis berjalan, Jilly yang berkuliah di Jurusan Commercial Cookery bertugas berbelanja dan memasak. Sementara Nandra memasak dan mendistribusikan makanan. Berbagai jenis menu masakan Indonesia dijual secara daring untuk komunitas Indonesia yang ada di Australia. Saat menjalankan bisnis catering ini, mereka banyak mendapatkan pengalaman baik suka maupun duka.
”Ada pengalaman lucu ketika sedang memasak ikan bakar, polisi Australia datang ke rumah. Mereka mengira saya sedang membuat pesta BBQ dan meminta pesta dibubarkan. Setelah dijelaskan bahwa saya sedang memasak, akhirnya mereka mengerti. Sekarang, kalau masak ikan tidak dibakar, tetapi menggunakan oven untuk menghindari masalah,” kata Nandra.
Jam kerja berkurang
Dampak pandemi juga dirasakan oleh Muhamad Harmaen (30), pelajar di Kenvale College Commercial Cookery. Untuk membayar kuliah dan biaya hidup sehari-hari, pemuda ini bekerja sebagai catering assistant di International House, University of New South Wales.
Dalam kondisi normal, pemuda yang biasa dipanggil Ian itu sibuk melayani 700 mahasiswa. Kini, jumlah mahasiswa internasional menyusut menjadi 80 orang. Dengan kondisi ini, banyak pekerja yang dirumahkan atau dipangkas jam kerjanya. Ian mengalami pengurangan jam kerja dari 10-12 jam menjadi hanya 3-4 jam per minggu.
Dengan kondisi itu, penghasilan Ian berkurang drastis. Padahal, sama seperti Nandra dan Jilly, Ian yang menempuh pendidikan dengan bayar sendiri harus mengumpulkan uang untuk kuliah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ian dan banyak mahasiswa lain kemudian harus hidup berhemat agar tabungannya tidak terkuras untuk biaya hidup.
Ketika virus korona baru mulai mewabah di berbagai belahan dunia, terdapat lebih dari 500.000 pelajar internasioanl yang sedang menempuh pendidikan di Australia. Pemerintah Australia telah menganjurkan pemegang ”temporary visa”, termasuk pelajar internasional, untuk kembali ke negara asal jika mereka tidak dapat mencukupi biaya hidup. Tetapi, sebagian pelajar Indonesia memutuskan bertahan. Di Australia, mereka hidup ala kadarnya.
Longina Narastika (30) dan Rachmat Aditya Hutama (27), pelajar di Le’Culinaire Hospitality Institute, sempat mempertimbangkan kembali ke Indonesia karena kehidupan di Australia penuh ketidakpastian. Namun, mereka mengurungkan niat itu karena aturan masuk-keluar Australia semakin ketat. ”Kalau aku kembali ke negara asal, tidak ada kepastian apakah aku bisa kembali lagi ke Australia. Akhirnya, keinginan kembali ke Indonesia aku batalkan hingga situasi lebih kondusif,” kata Aditya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Longina dan Aditya bekerja paruh waktu di Departemen Kesehatan di Negara Bagian New South Wales. Pekerjaan mereka antara lain mengepak makanan dalam boks, kemudian mendistribusikan makanan itu pada sejumlah hotel bintang empat yang menjadi tempat karantina warga. Boks diantar setiap hari selama dua pekan di depan pintu kamar sehingga warga tidak perlu berpergian untuk beli makan.
Anjuran agar mahasiswa kembali ke negara asal pernah disampaikan oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Menurut Morrison, pada awal April lalu, pemerintahnya harus fokus pada kesehatan masyarakat Australia saja. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga meneruskan anjuran Perdana Menteri Australia agar mahasiswa Indonesia yang berada di Australia untuk kembali ke Tanah Air. Ia mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, akan memberatkan secara finansial jika mahasiswa Indonesia tetap berada di luar negeri.
Penerima beasiswa S-2 Australia Awards Scholarships, Fikriansyah (30), mengatakan, kehidupan mahasiswa Indonesia di Australia serba susah karena pelajar internasional tidak termasuk dalam prioritas kebijakan Pemerintah Australia.
”Kebijakan ini sempat membuat sebagian mahasiswa jengkel karena merasa tidak dianggap. Selama ini mahasiswa yang menghidupi kota,” kata pemuda yang kuliah di bidang kesehatan masyarakat Universitas Melbourne itu.
Begitu Covid-19 mulai mewabah di Australia, banyak universitas mengubah pola pendidikan dari tatap muka menjadi virtual. Meski kuliah daring bisa dilakukan di mana saja, nyatanya tidak semua mahasiswa bisa kembali ke negara asal. Terutama bagi penerima beasiswa, kembali ke negara asal bukan pilihan. ”Penerima beasiswa tidak bisa kembali ke negara asal karena begitu kami pulang, kontrak beasiswa kami berhenti,” ujar Fikri.
Selain itu, menurut Fikri, ia sudah cuti kerja selama setahun. Ia juga khawatir begitu kembali ke Indonesia akan menjadi pembawa virus untuk orang-orang di rumahnya. ”Untuk alasan egois, aku berpikir di Australia lebih aman karena fasilitas kesehatan terjamin,” katanya.
Selama masa karantina, Fikri menghabiskan waktu belajar di penginapan. Ia juga sering mengikuti kursus atau interaksi dengan teman secara virtual untuk membunuh kebosanan.
Mengantisipasi pandemi virus korona yang berlangsung berkepanjangan, Fikri membuat rutinitas harian dan tetap mencari kesibukan. Sesekali, ia keluar kamar untuk berbelanja atau olahraga di taman. Pemuda ini berharap virus korona baru dapat segera berlalu. Ia tak sabar untuk kembali belajar di kelas dan berinteraksi dengan pelajar internasional.